Ilustrasi NataliaTrukhina (kiri), Binaragawan perempuan asal Rusia sumber foto: www.girlswithmuscle.com |
Perkumpulan mahasiswa UOS merilis kebijakan bahasa yang lebih inklusif gender yang berlaku dalam bidang komunikasi, masyarakat dan pemilu di Inggris. Tujuannya agar kata ganti gender lebih netral dan tidak terjadi mis-gender.
“Individuals whose gender identities are not known should not be described as ‘men’ or ‘women’, and inclusive terms such as ‘person’ should be used instead,” seperti dikutip dari dailymail (2/01).
Nah, di Indonesia, permasalahan kata ganti laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah clear. Baik pria maupun wanita, kedua-duanya menggunakan kata ganti “dia”. Tetapi, yang menjadi masalah, meskipun kata ganti “dia” bersifat tunggal, kekerasan simbolik pada perempuan masih saja merajalela.
Menurut sosilog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), kekerasan yang dimaksud bukanlah kekerasan fisik. Bourdieu menjelaskan, kekerasan simbolik merupakan sebuah model dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadap kelompok/ras/suku/ gender tertentu (Bourdieu: 1995).
Pandangan mengenai perempuan di Indonesia adalah kaum lemah, pengunggah air mata, gender termarjinalkan dan subordinat. Budaya di Indonesia masih tabu dengan adanya pemimpin perempuan. Beberapa pekerjaan yang dikerjakan laki-laki juga, tidak dipersyaratkan bagi perempuan, misalnya di bidang oil & gas.
Perempuan memang kerap mendapatkan diskriminasi gender. Simbol-simbol tersebut bahkan termanifestasi dalam regulasi, seperti KUHP pasal pemerkosaan, yang dari dulu sampai sekarang polanya adalah korban perempuan dan pelaku adalah laki-laki. Di Jakarta bahkan ada gerbong kereta listrik (KRL) khusus buat perempuan.
“Ah, dia cuma perempuan kok…... Ah, dia perempuan, mana bisa melakukan itu… perempuan mah, bisanya cuma nangis…” begitulah selentingan yang menyimbolkan diskriminasi gender.
Nah, apakah laki-laki dan perempuan itu beda??
Menurut Simone De Beavoir dalam bukunya The Second Sex menyebutkan, perempuan bukan dilahirkan tetapi terbentuk melalui proses sosial dan psikologi, yang membentuknya menjadi perempuan sesungguhnya (Turner: 2012).
Wacana-wacana membentuk sosok perempuan: gemulai, tubuh ramping, seksi, harus dilindungi, dan jadi “konsumsi” laki-laki. Sehingga muncul celetukan, bahwa perselingkuhan hanya dilakukan perempuan. Dan perempuan selalu senang pada kebohongan laki-laki.
Kekerasan simbolik pada perempuan Indonesia memang cukup kronis dan berlangsung tanpa disadari. Sehingga, meskipun kata ganti “dia” tidak dibedakan untuk laki-laki dan perempuan, tetapi diskriminasi gender sangat terasa.
Maka dari itu, rasanya kita masih sulit untuk menjauhi mis-gender di Indonesia. Apalagi sampai menyamakan toilet umum (tidak ada pembedaan men dan women atau male dan female) laki-laki dan perempuan. Karena sampai saat ini, pelaku kekerasan simbolik dan korban kekerasan simbolik masih beranggapan: kekerasan itu membawa nikmat.
Salam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.