Banyak Dukun Palsu di MA
Tahun 2016 rupanya menjadi tantangan berat bagi Ketua Mahkamah Agung RI, Muhammad Hatta Ali. Berturut-turut, KPK mentangkap-tangan (OTT) pegawai dan hakim di lembaga peradilan. Setidaknya, sudah 4 kali KPK melakukan OTT hingga pertengahan tahun ini. Sudah saatnya Hatta Ali melakukan reformasi peradilan nasional untuk menjaga trust masyarakat kepada hukum Indonesia. Meski diterpa sakal, Hakim yang sudah memimpin Mahkamah Agung selama 4 tahun itu, meyakinkan bahwa tidak ada turbelensi kinerja di internal MA.
Saya - Muhammad Hatta Ali (tengah) - Bang TA Fografer: Eva Agriana Ali |
Medio Juni, saya dan beberapa redaktur berkunjung ke ruang kerja Hatta Ali di lantai dua Gedung Utama Mahkamah Agung. Lingkungan Gedung MA memang secure. Apalagi mau ketemu dengan pucuk pimpinan. Selain dikawal oleh pihak Humas MA, kita juga dicek sama sekuriti. Meskipun nggak se-secure di Istana Presiden dan Wakil Presiden. Pakaiannya saja diatur. Hehehe..
Sebenarnya
saya sudah beberapa kali masuk ke Gedung MA, bertemu dan wawancara dengan beberapa hakim. Jadi sudah tidak kaget dengan penjagaan di Gedung MA.
Ketika bertemu Hatta, pria 66 tahun itu tampak sehat. Berbaju batik lengan panjang, Hatta menyambut kami. Pria hobi balap sepeda motor ini, menanggapi semua tudingan yang menyebut ada mafia peradilan. “Mafia itu kan dilakukan oleh sekolompok yang berupa sindikat dan terorganisir. Kalau di sini tidak ada mafia yang terorganisir,” ujarnya lantang.
Selama dua jam lebih, kami melakukan wawancara santai dengan Hatta Ali. “Tanya apa saja, sampai isya juga nggak apa-apa,” katanya sambil tertawa. Wawancara berlangsung hangat dan diselingi lelucon serta beberapa pernyataan off the record. Memang, jika tidak ada tamu dari China datang menemui Hatta Ali, kemungkinan wawancara bisa sampai berbuka puasa.
Berikut petikan wawancara dengan Hatta Ali:
Berkali-kali, pegawai dan hakim ditangkap. Bagaimana tanggapan Anda?
Masalah pengawasan, Mahkamah Agung sudah sangat ketat. Buktinya, kita sudah mengeluarkan berbagai regulasi baik yang berbentuk SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) maupun berbentuk PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) dalam rangka memperketat pengawasan. Kedua, di setiap pengadilan tingkat banding, dari empat lingkungan badan peradilan juga diwajibkan melakukan pengawasan pengadilan-pengadilan tingkat pertama di wilayah hukumnya. Bahkan mereka juga mendapat anggaran pengawasan. Pengawasan demikian ketatnya, terus muncul oknum segelintir orang seperti ini, tentu di luar prediksi kami.
Tapi oknumnya dari internal?
Kalau kita bicara oknum, saya kira di institusi lembaga manapun semua ada. Namanya kita menjaga manusia, tidak sama dengan menjaga benda mati. Misalnya, orang yang ada di dalam penjara pun, berusaha untuk melarikan diri. Padahal begitu ketatnya itu. Apalagi dalam keadaan bebas. Kalau benda mati, masukkan ke gedung, kunci, nggak akan keluar. Oleh karena itu, bagaimana supaya manusia ini tidak melakukan kesalahan, ini tentu banyak unsur yang harus mendukung. Terutama sistemnya, mental orangnya juga. Bukan mental melakukan pelanggaran. Lalu, budaya hukum dari masyarakat kita juga.
Memang budaya hukum di masyarakat bagaimana?
Budaya hukum masyarakat kita itu, saya melihat masih banyak orang berpekara, bukan untuk memperoleh keadilan tapi untuk memperoleh kemenangan. Kalau bicara tentang memperoleh kemenangan, segala cara dihalalkan. Demikian juga dengan pengacaranya, jangan mengiming-imingi hakim atau petugas pengadilan. Ini kan manusia biasa dan bisa tergoda. Mungkin dia jujur, tapi pada saat itu anaknya sedang sekolah dan membutuhkan biaya besar, kebetulan ada yang mengiming-imingi, yah mungkin luntur imannya.
Tapi apapun alasannya, nggak dibenarkan?
Yang jelas apapun alasanya, tidak dibenarkan menerima sesuatu dari pihak yang berperkara. Apapun alasannya. Oleh karena itu mulai dari pengacara, pencari keadilan itu sendiri, jangan berusaha untuk mencari kemenangan. Serahkan dan percayakan sepenuhnya kepada hakim. Hakim, kalau nggak ada yang datang, nggak mungkin berusaha mencari orangnya. Pasti saya yakinkan itu. Kalau ada hakim nyari orang yang berperkara, harga dirinya sebagai hakim berarti tidak ada. Dan tidak berbakat dan tidak layak jadi hakim.
Kalau masih ada pejabat peradilan yang menyimpang, berarti emang sistem pengawasannya yang longgar?
Sistem pengawasan sudah ketat, tetapi karena kejadian itu, ada juga yang terjadi di Mahkamah Agung, maka kami menambah pengetatan pengawasan lagi, yaitu bentuk Satgas, Satuan Tugas yang memantau dan mengamati apa yang terjadi di Mahkamah Agung. Mulai dari tamu yang datang, sampai kepada penyelesaian-penyelesaian perkara. (Satgas) Sudah tiga bulan yang lalu dari Badan Pengawasan.
Adanya oknum di MA yang melakukan praktik korupsi, menunjukkan ada permainan perkara di MA?
Saya kira, kalau permainan perkara untuk hal-hal yang sifatnya memang signifikan bisa mempengaruhi (perkara), itu saya tidak temukan. Yang saya temukan adalah permaianan spekulatif-spekulatif. Contoh, seperti Andri (Mantan Kasubdit Perdata MA, Andri Tristianto Sutrisna). You kan dengarkan itu percakapan Andri dengan ibu Ida (Kosidah). Tolong hakimnya ini, hakimnya yang ini. Padahal bukan dia (Kosidah) yang menentukan majelis hakim.
Lantas, siapa yang menentukan hakim?
Semua perkara yang masuk, muaranya ke Ketua Mahkamah Agung dulu. Lalu, oleh Ketua Mahkamah Agung, saya sendiri mendelegasikan kepada ketua-ketua kamar. Saya delegasikan sesuai dengan jenis perkara. Kalau perkara pidana, saya salurkan ke ketua kamar pidana, kalau perkara perdata, militer, agama dan TUN, juga sama seperti itu. Nanti yang menentukan majelis hakimnya, adalah ketua kamar. Siapa-siapa hakim yang ditunjuk. Jadi, nggak mungkin ada pegawai yang menentukan hakim. Nggak mungkin. Saya lihat itu permainan spekulasi. Bisa saja, si Ida ini berbohong kepada Andri. Saya bisa menentukan. Bisa saja Andri ini berbicara di samping orang yang minta tolong, supaya menunjukkan ada unsur pembantuannya. Bisa saja. Yang jelas itu semua adalah permainan spekulasi.
Tapi, Andri juga bisa menunda pengiriman salinan putusan kasasi kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur agar tidak dieksekusi?
Sebenarnya putusan sudah dipublis. Tinggal menunggu salinan. Padahal salinan itu sudah siap. Begitu timbul kasus itu, besoknya memang sudah dikirim. Berarti saya melihat Andri ini tidak ada pengaruhnya untuk menahan salinan. Dia hanya spekulasi. Saya buktikan itu. Saya minta dicek perkaranya. Langsung sudah dikirim. Memang sudah waktunya dikirim.
Kok ngirimnya lama, bukannya batas 3 bulan sudah sampai?
Memang salinan itu harusnya tiga bulan, tapi dalam praktiknya kita minta di dalam SK (Surat Keputusan) KMA (Ketua Mahkamah Agung) Nomor 214 tahun 2014, mulai berkas masuk di bagian umum sampai dikirim ke pengadilan pengaju, termasuk persidangan dan sebagianya, paling 250 hari atau sekitar 8 bulan. Tetapi putusannya sendiri tiga bulan. Proses surat masuk bagian umum, diperiksa di bagian Pratalak (Pranata dan Tatalaksana). Pratalak kalau ada syarat yang kurang, kirim ke pengadilan pengaju, supaya terpenuhi. Baru masuk ke kepaniteraan dan akan diberi nomor register. Baru masuk ke Ketua MA. Ketua tinggal mengarahkan, jenis perkara untuk diteruskan ke kamar-kamar. Nanti ketua kamar yang menentukan majelis. Kecuali, kalau perkara itu pada tingkat kasasi di sidang oleh ketua kamar. Maka hakim PK, saya yang menetapkan hakimnya. Biasanya saya tetapkan wakil ketua.
Ada prosedur khusus penetapan Wakil Ketua atau Ketua MA untuk mimpin sidang?
Kalau ketua kamar yang menentukan, pasti yang menyidangkan bawahannya. Saya takutnya, jadi berat untuk membatalkan putusan ketua kamarnya. Ketua kamar yang putus kasasi tadi. PK-nya berat untuk membatalkan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kesan-kesan psikologis seperti itu, sehingga saya yang harus menunjuk, wakil atau saya sendiri. Itu ada ketentuannya.
Setelah vonis, putusan lari kemana biasanya?
Di sini mutus mungkin sampai puluhan per hari, tidak ada saya tahu. Saya baru tahu ketika ada di media. Oh putus lagi ini. Saya baru tahu. Karena hakim itu tidak pernah melapor kepada saya.
Bisa sajakan panitera berkomunikasi dengan ketua kamar atau hakim untuk menentukan majelis?
Ini mungkin sama dengan dukun. Orang datang ke dukun, tolong obati, yah mari kita sama-sama berdoa. Mudah-mudahan berhasil. Kalau dia sehat syukur-syukur duitnya masuk ke kantongnya (dukun). Tapi kalau dia tidak sehat, kan nggak mungkin minta kembali uangnya. Sama dengan dukun itu. Ada orang yang ngasih duit terima. Mau apa? Supaya sembuh. Yah diterima. Nanti kita doakan. Doanya tidak manjur, nggak mungkin dia minta duit kembali. Saya yakin You nggak pernah minta uang kembali ke dokter walaupun tidak sembuh. Jadi ini mungkin seperti itu. Tetapi kalau sistemnya sendiri, tidak mungkin. Tapi kami, meskipun diserang begitu, kami tidak goyang. Biasa saja. Kami tidak ada terpengaruh, kerja tetap jalan. Biasa-biasa kalau bagi kami. Tidak ada turbelensi di Mahkamah Agung, karena ini bukan pesawat.
Tetap saja, karena terjadi di MA, akibatnya merusak institusi?
Kalau kami memang salah, pantaslah dikritik, wajar saja. Tetapi, kalau seperti ini masalahnya, secara logika masa nggak tahu. Kan nggak mungkin pegawai bisa menentukan hakim agung. Mana ada yang mau hakim agungnya ditunjuk sama pegawai.
Kalau Sekretaris MA, Nurhadi yang menentukan hakim, bisa tidak?
Kalau Sekma (Sekretaris Mahkamah Agung) nggak ada kaitan dengan perkara. Tidak ngurus sama sekali. Sekma itu hanya ngurus, bagaimana dia sebagai supporting unit untuk menyiapkan sarana dan prasarana melancarkan persidangan. Membangun kantor pengadilan, membangun gedung MA baru yang di tengah itu. Tapi, bagaimana mekanisme perkara masuk, siapa (hakim agung) yang menetapkan, buta dia. Ditanya dia ndak ngerti.
Bagaimana hasil pemeriksaan Sekretaris MA, Nurhadi?
Sudah kita periksa. Tetapi pada waktu itu dia mengatakan dirinya tidak bersalah. Dia menyangkal. Nah, kalau dia sudah bilang begitu, masa kita mau pentungin dia supaya ngaku salah. Karena sudah diproses hukum, silahkan KPK. Kita nunggu hasilnya. Polisi saja tidak berani pentungin orang. Apalagi kita. Masa kita pentungin orang supaya ngaku salah. Jangan memaksakan. Akibat OTT pak Edy, sudah banyak kita lakukan perbaikan. Kita tidak pernah mentorelil orang yang bersalah.
Ketika dua kali dipanggil untuk RDP dengan DPR RI, Nurhadi mangkir terus?
Dia nggak datang karena sudah izin ke saya. Bukan nggak ada tanpa alasan. Kebetulan dia sedang mengetes calon-calon eselon II dan agenda itu sudah lama diprogram. Kemudian melibatkan juga instansi lain, yaitu dari Kementerian PAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan perguruan-perguruan tinggi. Kalau ini ditinggalkan, kan tidak enak. Sedangkan untuk di DPR RI kan ada KABUA (Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah), bisa saja didelegasikan. Karena KABUA itu urusannya sama dengan SEKMA. Kan wajar-wajar saja.
Tapi tidak diakui oleh DPR sebagai bentuk delegasi, malah pegawai MA diusir?
Itu kebijakan dari DPR RI. Sebenarnya, kalau dia terima pun, KABUA ini sudah siap juga. Dan tahu karena memang KABUA itu sama dengan urusan SEKMA.
Muhammad Hatta Ali (tengah) sumber: PN Magelang |
Dugaan kasus korupsi menyerempet SEKMA, apakah mempengaruhi kinerjanya di MA?
Dugaan korupsi yang membawa-bawa SEKMA, tidak mempengaruhi dalam bidang perkara, karena sama sekali tidak ada kaitan. Sedangkan korupsi yang dituduhkan di dalam perkara, kami tidak tahu, yang penting perkara, tetap kita sidangkan dan harus tetap berjalan lancar. Seandainya, katakanlah dia (Nurhadi) menyalahgunakan (wewenang), tapi semisalnya yah, itu pertanggungjawaban pribadi dia. Secara kelembagaan, tidak ada pengaruh.
Kalau Nurhadi tersangka, apa MA mendukung untuk memberi pembelaan dan bantuan hukum?
Sampai sekarang belum ada dibicarakan. Karena memang statusnya kan belum tersangka, belum apa-apa. Yah, kita lihat nanti saja. Mungkin juga dia pilih sendri (bantuan hukumnya).
Hubungan Anda dengan Nurhadi secara personal dan kelembagaan?
Biasa saja, namanya hubungan organisasi, pasti ada. Nggak mungkin nggak ada. Sampai unit terkecil pun di Mahkamah Agung, saya tidak munkgin tanpa hubungan. Tetapi kalau dikatakan hubungan untuk melakukan pelanggaran, tidak akan pernah ada. Itu yang penting. Kalau hubungan, sama semua di Mahkamah Agung, ada hubungan. Sampai unit terkecil, saya punya hubungan. Sebab semua memberikan andil di dalam pelaksanaan tugas Mahkamah Agung. Yang namanya tukang sapu pun punya andil. Kalau tidak bersih, saya tidak masuk kantor. Tetapi kalau disebut ada hubungan dalam rangka melakukan pelanggaran, itu tidak mungkin. Itu tegas saya jawab.
Sebagai ketua MA, apakah Anda memantau hasil keputusan setiap perkara?
Kita itu beda dengan instansi penegak hukum lain, kejaksaan atau kepolisian. Independensi hakim betul-betul dijaga. Keluar berkas dari saya kepada ketua kamar, saya tidak bisa mengikuti lagi. Tabu bagi saya kalau menanyakan perkara.
Isteri Nurhadi, Tin Zuraida yang juga berkantor di MA, disebut-sebut sebagai best partner dalam dugaan kasus korupsi PN Jakpus. Apa Tin juga sudah diperiksa?
Kalau ibu Tin belum tahu yah. Tapi kan kuncinya SEKMA. Bu Tin ini kan kebetulan isterinya saja.
Nurhadi dan Tin satu institusi dan sering bersama. Diduga sering komunikasi untuk ngamankan perkara?
Yah bagus dong suami isteri sering bareng. Malah kalau nggak barengan dicurigai. Seorang suami isteri, harus sering bersama-sama (hahahaa). Tapi mereka kan beda tugas. Satu ada di sini, satu ada di Mega Mendung, Bogor. Anaknya berusaha juga. Kan nggak ada larangan anaknya berusaha walaupun bapaknya pejabat. Yang penting jangan bekerja di kepentingan orang tuanya. Kalau tidak boleh berusaha, itu melanggar HAM. Kita nggak boleh berpikir picik. KPK saja belum menentukan statusnya.
Tin belum pernah melaporkan LHKPN, sementara sudah didesak KPK sejak saban hari?
Itu tanggung jawab personal. LHKPN itu kan laporan pribadi mereka masing-masing. Yang penting kita sudah menyatakan dan menghimbau pejabat-pejabat yang memiliki kewajiban melaporkan, supaya segera melaporkan. Dan persentase pelaporan kita cukup tinggi, di badan Yudikatif dibanding yang lain. Tapi saya tidak ingat persentasinya. Tetapi cukup tinggi.
Sudah dihimbau, tapi tidak melapor. Sikap MA bagaimana?
Bisa saja orang tidak melapor karena sebelumnya menjabat di tempat yang tidak ada kewajiban untuk melapor. Karena tidak semua pegawai negara ada kewajiban melapor. Kalau saya tidak melapor, baru Anda bisa tanya. (hehehe)
Tapi, Tin Zuraida eselon 2 loh?
Sebelumnya kan eselon 3 kan. Jadi ada waktunya kewajiban melapor LHKPN.
Kenapa sebelum dipecat, Royani nggak diserahkan ke KPK?
KPK belum cari, kita sudah cari. Bahkan saya tanya panitera, tetangganya bilang sudah lama nggak pernah kelihatan sejak peristiwa itu. Pengawasan kita sudah melakukan pemeriksaan juga, memang tidak ketemu orangnya. Untuk menunjukkan kalau kita tidak melindungi, maka kita memperlakukan Undang-undang Aparatur Sipil Negara, yang mengatakan 46 hari tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka diberhetikan. Kita sudah berhentikan. Jadi kita tidak melindungi.
Apa sih tugas Royani di MA?
Saya sendiri tidak pernah melihat orangnya. Kalau menurut media, dia sebagai supir Nurhadi. Jadi saya tahu dari berita Anda. Kalau di bawah nggak ada istilah supir. Tentu staf. Sebab tidak ada penerimaan khusus supir. Saya tahunya supir dari Anda. Ini juga kita sudah melakukan pemeriksaan, baik stafnya Edi, Andri, dan yang memiliki hubungan pada kasus, kita sudah periksa.
Tentang pembatalan Justice Collaborator (JC) Abdul Khoir dari KPK?
Hakim yang menentukan Justice Collaborator dan Whistle Blower. Hakim melihat, Abdul Khoir ini pelaku utama. Dia yang mulai menyuap. Dia juga yang mempengaruhi supaya menyuap yang lain-lain. Kok dikatakan Justice Collaborator, darimana itu?
Bukannya pelaku utama itu, dari anggota DPR RI komisi V, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pengguna Anggaran (PA)?
Kan Khoir ini bosnya dari swasta. Dia menyuap. Kalau dia nggak menyuap, nggak mungkin kena itu pengguna anggaran. Makanya, masyarakat itu jangan mengiming-imingi pejabat publik dan hakim. Semua manusia biasa. Malah dinaikkan Khoir karena pelaku utama. Kok dia dikatakan JC?
KPK telah memperhatikan Surat Edaran MA (SEMA) No 4 tahun 2011 untuk menetapkan JC?
Tetap yang menilai hakim. Apakah ini masuk ke JC atau tidak. Kalau semua penyidik atau penuntut umum yang menetapkan, hakim harus terima saja, ndak usah ada hakim. Pakai mesin komputer saja. Dua kali dua, (hasilnya) empat. Justru hakim itu mempertimbangkan dan melihat fakta. Ini kan dia (Abdul Khoir) yang paling berperan. Sumbernya duit dari dia. Tidak mungkin pengguna anggaran terima kalau bukan duit dari dia. Walaupun dia menyuruh orang.
Info dari salah seorang penegak hukum, ini karena efek konflik antara jaksa dan hakim pasca putus-gugat praperadilan La Nyalla?
Hakim itu profesional. Hakim itu sudah dididik mandiri, independen sejak dia menajdi hakim. Puluhan tahun hakim itu dididik seperti itu. Tidak mungkin dia jebol lagi, sudah mendarahdaging. Kita tidak pernah ada kesan begitu. Berpikir seperti itu saja tidak, apalagi mau melaksanakan. Dan kadang tekanan pers juga bisa mempengaruhi putusan hakim. Makanya ketika persidangan, Anda tidak boleh mempengaruhi hakim, seolah-olah menjatuhkan vonis, sebelum vonis dijatuhkan hakim. Kalau di Eropa, tidak boleh memuat seperti itu. Wartawan di sini paling hebat di dunia. (hahaha). Kasus belum putus, wartawannya yang memvonis. Wartawan di Indoensia sudah terlalu hebat di atasnya hakim. (hahaha).
Any way, hubungan kekerabatan Anda dengan La Nyalla mempengaruhi putusan Praperadilan PN Surabaya?
Kita bukan lagi kekerabatan, keponakan langsung. Tapi, apa ada larangan orang berkeluarga? Itu sudah takdir kita berkeluarga. Masalah ada perkara pidana, itu tanggungjawab masing-masing. Makanya saya bilang, keponakan langsung. Saya nggak menghindari kalau dia (La Nyalla) anak kakak saya. Yang penting kita tidak mengurusi. Kita profesional. Apa yang terjadi itu, sampai bolak-balik, hakim memutus secara profesional. Hakim yang memimpin itu tidak pernah kita kasih jabatan, mestinya malah dia tidak suka saya. Tapi buktinya malah tidak karena dia profesional. Dan kode etik hakim, hakim itu tidak boleh diberi penghargaan. Dulu itu saya ingat, dewan pers mau memberikan penghargaan kepada Mahkamah Agung waktu di Palembang itu, waktu pak Harifin Tumpa, itu kita nggak boleh menerima. Kita nggak perlu diapresiasi orang. Karena itu tugas kita memutus perkara.
Disebut-sebut MA sebagai sarang mafia peradilan, tanggapan Anda?
Kita kembali kepada defenisi mafia. Mafia itu kan dilakukan oleh sekelompok orang yang berupa sindikat dan terorganisir. Kalau di sini tidak ada kelompok yang terorganisir. Selama ini hanya oknum. Oknum itu, sekarang saya jujur, besok belum tentu. Misalnya ada hakim jujur dan anaknya masih kecil. Ada tawaran (suap), saya tolak semua. Tapi ketika anaknya sudah SMA, mau masuk perguruan tinggi, harus membayar sekian. Dilihat tabungan, ternyata tidak mencukupi. Kebetulan ada tawaran, nah, ini yang bisa bikin goyang. Ada saatnya kita kritis dan kebutuhan mendesak. Memang, ada juga hakim lahirnya malam, melakukan-melakukan tetapi tidak ketahuan. Ada juga hakim, lahirnya siang terang benderang, baru sekali melakukan langsung ketangkap. Jadi itu oknum, bukan terorganisir dan sindikat.
Tanggapan tentang Uji Materi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pelarangan PK bagi Jaksa Penuntut Umum?
Kalau kita lihat di negara-negara lain, semakin menyederhanakan proses perkara. Bahkan di Belanda itu tidak mengenal PK, kecuali perkara-perkara tertentu yang sudah jelas-jelas dia harus PK supaya meluruskan hukumnya, itu yang bisa PK. Di Indonesia, perkara sejengkal tanah pun di-PK. Dan pengadilan tidak bisa menolak. Kalau terjadi seperti ini, sampai kiamat dunia pun, tidak akan habis perkara di Mahakamah Agung, tidak. Sepanjang itu juga kita jadinya membutuhkan Hakim Agung yang banyak. Kalau di luar, hakim agungnya sedikit karena perkara yang masuk terbatas, diseleksi. Yang jelas, semakin sederhana proses penyelesaian perkara, makin baik bagi pencari keadilan, untuk sesegera mungkin memperoleh kepastian hukum.
Banyak pihak yang mengkritik, transparansi di MA rendah?
Kita lihat-lihatlah, akibatnya lebih luas sangat merugikan tidak. Bukan semua yang kita tutupi. Lihat dampaknya pada kepentingan bangsa dan nasional. Kalau nggak luas dampaknya, bisa diangkat (diekspos). Contohnya, ada rahasia-rahasia negara yang dibocorkan di luar negeri. Prinsip ini nggak boleh. Ini merusak bangsa dan negara. Tapi kalau nggak menyangkut tentang kerahasian negara, silahkan. Karena organisasi itu penting untuk transparan.
Sudah lima tahun tidak rekrut Hakim, dampaknya seperti apa?
Memang, lima tahun ini kita tidak melakukan perekrutan calon hakim untuk pengadilan tingkat pertama. Ini konsekuensi daripada undang-undang yang menyatakan bahwa hakim itu adalah pejabat negara. Kedua, rekrutmennya dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial. Tetapi setelah uji materi di MK menyatakan cukup Mahkamah Agung saja. Dengan demikian, kami siap untuk melaksanakan dan sudah dikordinasikan dengan lembaga institusi terkait misalnya, Kementerian PAN-RB, Setneg, BKN dan sebagainya. Sekarang kita menunggu keputusan dari presiden. Sekarang ini kebutuhan hakim status keadaan darurat. Banyak pengadilan kelas II, sudah kekurangan hakim, apalagi banyak pengadilan-pengadilan baru akibat pemekaran daerah. Kurang lebih 86 yang ada pemekaran jadi butuh sekitar 86 pengadilan. Ini membutuhkan sangat banyak hakim. Itu saja, kalau 80 pengadilan dikalikan 10 hakim per satu pengadilan, sudah 800 hakim. Belum kekurangan-kekurangan yang ada sekarang ini. Jadi kami hitung ada kurang 1.500 hakim. Inilah kita minta sesegera mungkin, sebab ini sudah keadaan darurat, emergency untuk segera rekrutmen calon hakim.
Apa selama ini munculnya oknum hakim karena hakim kurang sejahtera sehingga sering tergoda?
Makanya undang-undang Jabatan Hakim, jangna dibatasi hanya dari segi usia, tetapi didorong juga dari kesejahteraanya, supaya sesuai dengan status pejabat negara. Kasihlah gaji sesuai dengan status pejabat negara. Konsekuensi status pejabat negara sudah ada platfonnya. Pejabat negara harus dijamin fasilitas perumahan, fasilitas kesehatan dan transportasinya. Itu konseukensinya dan dilaksanakan itu. Tapi, saya juga tidak bisa mengatakan, hakim kurang gaji, lalu saya mencari alasan pembenaran untuk melakukan penyimpangan.
Kalau Kita lihat di daerah-daerah, masih banyak hakim-hakim belum mendapatkan rumah dinas terpaksa ngontrak. Kendaraan pun terpaksa harus beli sendiri. Sebagai pejabat negara penuh, sebagaimana yang diinginkan undang-undang yah masih kurang. Tapi kalau dibandingkan dengan pegawai negeri biasa, lumayan. Sekarang tergantung dari sudut mana. Tapi kalau dari sudut undang-undang sekarang, sebagai pejabat negara, yah masih kurang.
Pro-kontrak keterlibatan KY dalam seleksi hakim?
KY nggak boleh ikut dalam rekurtemen. Kalau dia ikut berbahaya. Ada rasa utang budi dan sebagainya. Sama halnya dengan tahun 70an, itu masih ada campur tangan pemerintah di bawah kementerian kehakiman. Masalah adminsitratif, masalah finansial, di bawah kementerian masing-masing. Pengadilan Agama di bawah Kemenag, pengadilan umum di bawah kementerian kehakiman. Setelah reformasi tahun 98, lahirlah UU nomor 35 ini semua tarik dan dudukan pada proporsi yang benar. Itulah di bawah ke Mahakamah Agung. Sekarang ada pemikrian KY lagi menarik lagi. Nah, kita sudah maju puluhan tahun, masa mau mundur lagi. Jadi kalian yang mestinya ngomong, KY nggak bisa masuk teknis.
Bagaimana tanggapan Anda tentang penerapan hukum mati?
Sepanjang masih ada hukum positifnya, berarti masih boleh. Walaupun banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Oleh karena itu, menurut saya, sepanjang itu masih ada hukum positifnya, berarti masih boleh. Cuma hakim harus berhati-hati, jangan diobral hukuman mati. Karena kalau diobral, berarti kita berpikir hanya sekedar membalas dendam.
Tapi Anda pernah menjatuhkan hukuman mati ketika di PN Tangerang?
Itu karena sudah kebangetan. Produksi ekstasi dan pabriknya besar. Menghasilkan produksi 400 ribu tablet per harinya. Bayangin 400 ribu dibeli konsumen per hari. Kedua, ekstasinya golongan satu. Kemudian yang paling penting adalah dilakukan secara terorganisir. Kalau tidak dilakukan secara terorganisir, tidak boleh hukuman mati. Untuk tahu itu, kita lihat jaringan ke negara-negara lain.
Bahkan pada waktu itu, kita mendengarkan keterangan saksi polisi Kanada dan Amerika. Bahwa tablet ini sudah dijual sampai ke sana. Berarti sudah jaringan internasional. Dengan kebulatan tekad majelis, kita menjatuhkan hukuman mati pada Ang Kim Soei. Dan saya tidak ada beban apa-apa sampai sekarang karena penuh dengan keyakinan. Bahwa dia itu bersalah dan pantas dijatuhkan hukuman mati. Jadi saya tidak pernah terganggu. Tapi kalau saya ragu, terganggu terus saya.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor?
Boleh saja. Undang-undang 31 tahun 1999, ancaman pidana mati ada, bagi koruptor. Tapi jangan sembarang menerapkan karena di dalam pasal 2 ayat 2 mengatur, penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi, adalah orang yang melakukan korupsi pada saat negara dalam keadaan genting yang ditentukan oleh undang-undang. Kemudian negara mengalami musibah. Katakanlah di Aceh dulu tsunami. Kalau masih ada korupsi, itu bisa dihukum mati. Atau orang ini sudah bolak balik melakukan tindak pidana korupsi. Itulah yang bisa dijatuhkan hukuman mati. Jangan orang, satu kali korupsi, langsung hukuman mati. Seorang hakim nggak boleh emosi. Harus tenang dia berpikir.
Kalau di Indonesia, efek jera hukuman mati ini seberapa besar?
Kalau menurut survei yang kita lihat, semakin banyak hukuman mati toh juga tidak menghilangkan (pelanggaran pidana). Masih juga. Waktu saya di PN Tangerang ada belasan yang dihukum mati. Walaupun bukan saya semua hakimnya. Tapi masih ada kasus narkoba. Pokoknya, masalah narkoba jangan coba main-main.
Anggaran MA dipangkas Rp194 miliar?
Kalau kita lihat, ini memang kebijakan pemerintah untuk melakukan pemotongan anggaran setiap kementerian dan lembaga. Pengaruhnya pasti ada, tetapi kalau secara nasional keuangan kita lagi lesuh, kita mau bilang apa? Apa kita mau paksakan nggak mau dipotong? Kan nggak mungkin. Ini kebijakan nasional. Kita harus memperhitungkan kemampuan keuangan negara kita.
Strategi akibat pemotongan?
Nanti kita melihat mana program yang dikurangi, mana yang tidak. Kalaupun mau dikurangi anggarannya, ambil dari sisi ini, dan jangan ambil sisi prioritas, karena sangat dibutuhkan sesegera mungkin.
Biasanya kalau kunjungan MA, memakan banyak anggaran?
Malah lebih kecil sekarang dibandingkan program Rakernas dulu. Rakernas memerlukan biaya yang lebiih besar. Tapi kalau sekarang kita ke daerah, pesertanya pun terbatas, kemudian tidak memerlukan macam-macam. Sederhana saja. Hotelnya juga sederhana. Kita lakukan pembinaan dan dihadiri oleh semua Kepala PN-PN, mulai dari pengadilan kelas 2 yang kecil. Dihadiri oleh panitera, hakim-hakim yang berada di ibukota provinsi atau sekitarnya.
Kedua, supaya jangkauannya lebih luas. Kita ingin mengenali mereka lebih dekat. Karena setiap daerah, permasalahannya itu kan berbeda. Ketiga, kita memberikan kesempatan seluas-luasnya, untuk megnajukan pertanyaan. Sebab kalau sistem Rakernas, dengan padatnya waktu, tidak mungkin orang bisa bertanya seluas-luasnya. Ini kita berikan. Bahkan pembinaan dilakukan dari jam 8 pagi sampai jam 3 subuh. Karena saya sengaja memberi kesempatan seluas-luasnya untuk bertanya. Karena kalau kita batasi, khawatir dia merasa tidak enak. Kesan atasan dan bawahan kita hilangkan agar mereka mau bertanya.
Masyarakat mulai kehilangan trust kepada peradilan. Langkah apa yang dilakukan MA menyikapi ini?
Langkah yang kita tempu sudah sangat banyak. Ada yang namanya SK KMA nomor 096 mulai tahun 2006. Bahkan di situ dikatakan, ketua-ketua pengadilan tingkat banding atau tingkat pertama, kalau sudah melihat ada gejala-gejala bawahannya melakukan pelanggaran, maka diminta segera mengambil tindakan. Tindak! Mencopot jabatannya sementara, tidak diberikan pekerjaan, sambil melaporkan ke pusat.
Demikian pula pengadilan tingkat banding. Kalau ada misalnya ketua pengadilan, ada hakim yang nakal, tarik ke PT (Pengadilan Tinggi) sambil periksa, sambil melaporkan kepada pusat, untuk diambil suatu tindakan.
Sekarang, selain pengawasan internal, kita juga menerima laporan-laporan khusus dari masyarakat. Kita menerbitkan nomor HP (Handphone) tertentu supaya selain petugas internal Mahkamah Agung, pihak eksternal, orang luar, bisa melapor langsung ke Bawas. Dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan.
Sejak kapan diterapkan?
Kalau yang bersifat internal sudah lama. Kalau yang bersifat eksternal, setelah kejadian kasus Andri, kami buka. Supaya kami bisa lebih menampung laporan-laporan masyarakat, langsung ke nomor itu. Dan akan dijamin kerahasian identitasnya.
Laporan sudah banyak?
Yang eksternal masih belum tahu. Bisa ditanyakan ke Bawas, sudah berapa yang lapor.
Pembenahan seperti apa lagi yang sudah Anda lakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat?
Kalau dulu hakim tingkat pertama, tingkat banding memutuskan perkara 6 bulan paling lama, saya turunkan sekrang 5 bulan untuk tingkat pertama, 3 bulan untuk tingkat banding. Di Mahkamah Agung, yang dulunya 1 tahun, saya turunkan 3 bulan sudah harus putus. Sekarang kita akan menerapkan istilah ONE DAY Publish. Putus hari ini, harus dipublish langsung di website mahkamah agung. Tetapi hanya petikan tolak atau kabul. Karena nggak mungkin salinan siap dalam satu hari. Supaya pencari keadilan yang berperkara tahu. Kedua, untuk menghilangkan adanya interaksi antara pencari keadilan dengan aparat Mahkamah Agung. Karena semua interaksi itu rawan pengeluaran duit. Tidak ada makan siang gratis. Kalau sekarang tinggal cek website Mahkamah Agung. Masyarakat juga sudah ada layanan ini, jangan ditelpon lagi petugasnya. Kan namanya buang duit.
Apakah istilah hakim sebagai wakil Tuhan masih relevan jika melihat kondisi peradilan sekarang?
Kalau ada hakim yang korupsi, kita tegas pasti diberhentikan sementara. Kalau dia terbukti, diberhentikan tetap. Itu tidak ada tawar menawar. Soal hakim sebagai wakil Tuhan, yang bilang siapa? Tidak ada undang-undang yang mengatakan wakil Tuhan. Cuma, dia di dalam memutus, harus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Tapi undang-undang tidak pernah mengatakan hakim adalah wakil tuhan. Dan saya nggak mau sebagai hakim dikatakan wakil Tuhan. Karena saya menyadari penuh dengan dosa, kesalahan dan kekhilafan.
Kalau MA sebagai benteng peradilan terakhir?
Kalau itu masih relevan. Karena undang-undang menyatakan upaya terakhir dan pengadilan tertinggi adalah Mahkamah Agung. Kalau itu oke. Kalau wakil Tuhan, jangan.
Pencapaian Anda selama 4 tahun?
Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, setiap hakim memutus, pasti menambah musuh karena ada yang kalah. Kalau yang menang mungkin besyukur tapi kalau yang kalah pasti lain omongannya di luar. Munculah fitnah-fitnah. Dia kalah, lalu menduga ini ada suap ini. Padahal memang fakta hukumnya dia harus kalah. Kalau memang badan peradilan itu menjadi sorotan, saya tidak heran. Justru saya heran kalau tidak ada yang mengkoreksi. Semua masyarakat, apalagi pencari keadilan kalau sudah bersikap apatis, ini yang bahaya.
Dengan banyaknya kritikan ini, saya ambil positifnya, saya bersyukur ini tanda cinta dari orang bahwa tidak menghendaki badan peradilan itu berbuat salah sekecil apapun. Itu tanda cinta. Jadi ini saya optimis peradilan bisa lebih baik ke depan. Yang penting sistem jangan rusak. Kalau ada oknum, biar dia yang tanggungjawab. Yang bahaya, kalau sistem kita sudah rusak. Misalnya, kalau majelis ditentukan panitera, sekretaris, atau staf, yang mencoba mencampuri. Itu yang bahaya. Ini tidak boleh.
Tentang pencapaian, biar pencari keadilan yang menilai. Tapi saya sebenarnya belum puas.
Karena masih ada masyarakat yang berkeluh kesah. Kalau sudah tidak ada, baru saya puas. Jadi kita akan selalu mencari terobosan-terobosan supaya lebih baik. Memang untuk memuaskan semua orang nggak mungkin lembaga peradilan. Karena pasti ada yang menang dan kalah.
By: Hendry Roris Sianturi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.