Tambah Jaring Raup
Pajak
Sigit Priadi Pramudito (sumber: Kemenkeu) |
Sejak menjadi Dirjen Pajak
Februari silam, Sigit Priadi Pramudito telah merancang cara-cara
mencapai target Rp1.493 triliun. Saat diwawancara, Sigit tak sungkan
membeberkan percakapannya dengan Presiden. Sebagai pimpinan DJP,
Sigit juga mengeluhkan demotivasi anak-anak buahya. Alasannya
sederhana, demotivasi.
Pegawai bergaji Rp. 100
juta ini, memaparkan strategi jitu mencapai target pajak dan cara
menindak oknum DJP yang nakal. Berikut petikan wawancara dengan sang
Dirjen pertengahan Maret lalu di ruang kerjanya:
Saat ini, posisi PNS
yang paling sulit adalah Dirjen Pajak?
Yang paling sulit itu
target. Ketika Pak Jokowi memanggil semua eselon II, beliau punya
hitungan pendapatan pajak Rp. 1.200 triliun. Terus dia minta Rp.600
triliun, bisa masuk tahun ini. Kita godok dalam rapat di Jogja. Kita
menghitung potensi dan aturan-aturan yang mendukung. Berdasarkan
pertimbangan itu, akhirnya ketemulah angka Rp 400 triliun. Kemudian
masuk ke APBN-P, jadi nambahnya Rp. 395 triliun. Tahun 2014 kemarin
tercapai Rp 900 triliun, tambah Rp 395 triliun, menjadi Rp 1295
triliun.
Berarti Rp 395
triliun itu memang hasil negosiasi?
Maksimal kita mampu
segitu. Dengan catatan ada 5 penguatan, yaitu penguatan SDM,
penguatan IT, penguatan organisasi, penguatan anggaran dan penguatan
proses bisnis. Contoh, satu AR (Account Representative)
mengawal 1.000 WP (wajib pajak), kan nggak mungkin. Paling kuat dia
bisa mengawasi 500 WP. 500 lagi mau diapain? Ya nggak diapain,
soalnya tangannya nggak sampai. Kalau WP nggak ditunggui, mereka akan
ngundur-ngundur. Siapa sih yang suka bayar pajak?
Persis seperti di
kelautan. Setiap tahun laut kita bisa menghasilkan ribuan ton ikan.
Anggaplah 10.000 ton setahun. Kalau kita mau nambah dua kali lipat
bahkan tidak terhingga, gampangkan. Tinggal tambah jaring saja. Jadi
alat tangkap kita yang kurang. Potensi, kalau kata Pak Jokowi Rp.
1.200 triliun. Kalau saya malah bilang Rp. 3000 triliun malah.
Artinya masih banyak yang belum tergali.
Memang minimnya
kantor jadi alasan mendasar selama ini meningkatkan penerimaan pajak?
Sekarang penduduk kita 240
juta dan yang seharusnya ber-NPWP dari hitungan kita, sektiar 46 juta
penduduk. Tapi yang sudah ber-NPWP kurang lebih 24 juta. Jadi, masih
ada 22 juta lagi yang belum ber-NPWP. Kenapa? Jaringnya aja yang
kurang.
Sudah ada berapa
penambahan kantor baru sampai sekarang?
Sudah disetujui 10 kantor,
tambah 2 Kanwil di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, di Grogol.
Mudah-mudahan Juli operasional.
Selain kantor, SDM
juga minta ditambah berapa?
WP sekitar 26 juta
penduduk dan pegawai hanya 32 ribu. Untuk kapasitas pelaksana,
kapasitas AR dan kapasitas fungsional pemeriksa, kita butuh tambahan
26 ribu orang. Dengan jumlah wajib pajak sekarang 26 juta. Orang
pirbadi sekitar 24 juta. Perusahaan sektiar 2 jutaan.
Bagaimana rincian
penambahan karyawan pajak?
Setiap tahun nambah 4.000
dan kita tingkatkan melalui kapasitas pelatihan. Kita punya namanya
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Itu kapasitasnya
setahun 12 ribu orang. Mereka bisa bikin itu, khusus untuk pajak
sektiar 4.000 di beberapa balai seluruh indonesia.
Alhamdullilah Kementerian
Aparatur Sipil Negara sudah izinin nambah 10 ribu. Nggak masalah itu
dalam dua tahun dapat. Mintanya kita 26 ribu. Tapi, dalam beberapa
tahap. Nah sekarang kita sudah nambah 4 ribu lagi. Nanti kita didik
dulu selama sebulan dua bulan untuk jadi AR atau fungsional
pemeriksa.
Soal pegawai pajak
yang demotivasi?
Kalau dulu mau lembur
gimana. Makanya perlu vitamin. Dengan adanya kenaikan itu,
mudah-mudahan semangat. Dan kita lihat juga mereka senang walaupun
duitnya belum masuk. Sudah mau kerja lebih keras lagi.
Berapa sih take home
pay pegawai pajak sekarang?
Level AR itu kurang lebih,
Rp 8 juta sampai Rp. 9 juta golongan 3A. Itu remunerasi. Kalau gaji
sekitar 2 hingga 3 jutaan. Ditambah dengan tunjangan kegiatan
tambahan. Tapi masih PHP (Pemberi Harapan Palsu). Belum turun.
Walaupun sudah dianggarkan di APBN-P 2015.
Yang buat nggak
termotivasi juga, karena dulu-dulunya, take home pay nggak
naik-naik. Padahal janjinya 2007 hingga 2008, sampai 2014 belum
naik-naik. Sementara beban kerja naik terus. Target kan nggak pernah
turun.
Berapa target WP
yang harus dijaring seorang pegawai golongan 3A?
Tergantung wajib pajak
yang dia tangani. Contohnya, saya dulu sebagai Kakanwil di LTO (Large
Tax Office/kantor pajak besar), target saya Rp. 350 triliun.
Misalnya sekarang ada Kakanwil Banten, Rp 20 triliun. Kan beda. Jadi
tergantung wilayah dan wajib pajaknya di LTO. Umumnya, satu AR itu
bisa sampai 20 triliun targetnya.
Kapan pemerintah
merealisasikan remunerasi?
Bulan ini (Maret) keluar.
Mudah-mudahan per satu April sudah mulailah. Dapat gaji baru, kan
senang mereka. Nanti dirapel juga. Apalagi kita nambahnya Rp 395
triliun. Kalau kita kerja seperti tahun lalu, kita hanya dapat 140
triliun tambahannya. Jadi masih kurang Rp 255 triliun. Kita punya
cara lain untuk mencapainya.
Cara seperti apa?
Dengan menggunakan bantuan
data. Jadi nanti kita bekerjsama untuk data ini dengan beberapa
institusi, lembaga dan kementerian. Data tersebut, kita kawinkan
dengan SPT (Surat Pemberitahuan). Ketahuanlah nanti, bahwa wajib
pajak ini setorannya kurang.
Institusi atau
kementerian mana saja?
Ya semua. Dari PPATK, BI,
BPN, OJK. Jadi kita harapakan data itu sudah dapat dalam dua bulan
ini. Kerjasama kita lakukan. Kerjasama data ini tidak dengan MoU
sekarang. Langsung diinstruksikan oleh presiden. Beliau yang langsung
tunjuk agar lembaga terkait menyiapkan data ke pajak.
Aliran dana bisa
dilihat dong nanti?
Yang boleh kita minta
hanya data transaksi pembelian. Misalnya kartu kredit. Kita bisa
lihat nilai pembeliannya. Lalu kita cek, sudah bayar pajak atau
belum. Jadi nanti belanjanya saja kita kumpulin. Minimal penghasilan
dia sama dengan belanjanya. Kalau tabungan kita nggak bisa buka. Yang
penting pembelian untuk belanja kita tahu.
Efektifkah
pendekatan kualitatif seperti ini?
Harus, kalau nggak
bagaimana kita bisa menilai apalagi kita nggak punya data. Minimal
kita bisa hitung dari pendekatan biaya. Selain itu, kita juga punya
cara lain dengan aplikasi AGREGAT. Kita sudah uji coba di Jakarta
Barat, bikinan teman-teman sendiri. Semua data bisa dikawinkan.
Sistem kerja
aplikasi ini gimana pula?
Sekarang, AR lebih gampang
kerjanya. Di-run aplikasi AGREGAT lalu data wajib pajak
di-input. Nanti akan keluar nama yang belum lapor. Surat
himbauan juga bisa keluar. Jadi AR tinggal kirimin surat itu saja.
Bagaimana penindakan
dengan praktek Gijzeling (penyanderaan) pengemplang pajak?
Dari soft sampai
hard, kita sudah lakukan. Tetapi di Permenkeu (Peraturan
Menteri Keuangan), kalau mereka mau melunasi utang pajak, entah yang
tahun berapa, kita akan hapuskan sanksinya. Jadi tahun ini hanya
pembinaan.
Misalnya, dari tahun 2010,
kamu kurang nih bayarnya. Terus ditunjukan SPT-nya. Kalau nggak kita
berikan SKP (Surat Ketetapan Pajak). Kalau kena SKP kan bisa ditagih
sampai Gijzeling. Berani nggak mereka Gijzeling? Begitu masuk penjara
langsung bayar dia. Kalau data kan nggak bisa dibantah, misalnya beli
mobil tapi belum dilaporkan dan kita punya buktinya. Dia harus
menunjukan SPT nya dan harus bayar lagi. Kalau nggak kita SKP sampai
Gijzeling. Kan sudah ada contohnya.
Berefek nggak?
Luar biasa efeknya.
Dibanding tahun lalu sudah naik. Kalau tahun lalu utang pajak dibayar
Rp 600-an miliar. Kalau sekarang, Rp 1,8 triliun. Intinya, pembayar
pajak itu ingin sama dong. Jangan beda-beda. Jadi nggak boleh ada
tebang pilih.
Masih banyak pengemplang
pajak yang belum tersentuh hukum. Apalagi melibatkan orang-orang
besar. Bagaimana penyelesaiannya?
Yang paling kuat itu data
pembanding. Kalau nggak punya data pembanding kita punya data
analisa. Bahwa perusahaan ini bayarnya nggak benar. Apalagi
perusahaan gede-gede sering juga merekayasa laporan keuangan. Itu
kita sudah punya caranya bagaimana mengkoreksi itu.
Misalnya, perusahaan yang
jual ke luar negeri, perputaran uangnya di luar negeri. Dan pajaknya
kita nggak bisa tarik. Kita bisa mengkoreksi dengan transfer
pricing namanya.
Berapa persen
peluang penerimaan pajak bisa tercapai?
Ini kan teoritis. Jadi
kita hitung teoritis. Bisa kurang, bisa lebih. Saya juga ditanya sama
pak presiden. Gimana? Terus saya jawab, saya pengennya maksimal. Tapi
ini bisa kurang bisa lebih. Terus ditanya lagi, berapa simpangannya?
Ya biasalah, 20% kurang, 10% lebih.
Berarti nggak
realistis dong target pajak?
Kalau di laut, jumlah ikan
tidak terbatas. Kalau kita punya jaring yang cukup, semua bisa kita
ambil. Kalau kita mau dua kali lipat, kita tambah jaringnya dua kali
lipat. Ini juga sama, kita lihat potensinya luar biasa. Apalagi masih
ada 22 juta, wajib pajak yang belum tersentuh. Itu kan potensi,
tinggal kita kejar mereka.
Yang kedua, tax ratio
kita, 12%. kalau kita tambah 400, menjadi 14%. Cuma tambah 2%.
Sementara negara lain, sudah 16% ke atas. Artinya potensinya sudah
ada, cuma kita saja yang kurang jeli menggali, kurang tenaga untuk
mendekati dan kurang tangan untuk ngambil. Itu saja kesimpulannya.
Cara kita juga kurang bagus mengejar mereka. Makanya cara kita
sekarang berbeda.
Stigma terhadap
pegawai pajak, apakah menghambat kerja?
Itulah salah satu
penghambat kita. Makanya tahun ini kita sebut, tahun kebangkitan DJP.
Kita bosan dihujat terus, dianggap kayak Gayus. Capek juga kita
dianggap sebagai pegawai koruptif. Makanya tahun ini kita anggap
sebagai tahun pembuktian. Teman-teman rindu dong dapat DJP yang
bersih dan berwibawa.
Masa keluar kantor
ditanya, kerja dimana? Departemen keuangan. Nggak berani bilang
pajak. Apalagi zaman Gayus. Wah, kalau ada yang ngaku kerja di
pajak, langsung dicap temannya Gayus. Itu sakit sekali kita.
Bagaimana pengawasan
DJP sendiri terhadap penyimpangan internal?
Makanya kita sudah ketemu
dengan BIN, kejaksaan, kepolisian, KPK. Kalau ada kasus atau orang
yang nakal, tolong dilokalisir, jangan institusi yang dirusak. Pajak
kan buat kita semua, buat kesejahteraan masyarakat.
Ini kan oknum, jadi kita
baca sebagai oknum. Jangan dianggap seolah-olah semua orang pajak itu
begitu. Padahal coba hitung, dari Gayus hingga hari ini, berapa orang
sih? Diulang bolak-balik Gayus. Itu lagi, itu lagi. Seolah-olah ada
yang nambah. Hasim lagi yang dipakai, Gayus lagi. Bosan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.