Di
bawah lampu temaram, pengunjung Bar Hotel Harris Tebet, Jakarta
Selatan malam itu (Selasa, 27/08/2014) tampak lengang. Hanya ada
sepasang pria dan wanita, sedang asyik bergurau sambil menunggu
pesanan. Ruangan yang lebih layak disebut tempat bersantai itu memang
tidak seperti bar-bar pada umumnya. Lebih sederhana dan lebih mirip
seperti restoran. Letaknya pun tidak strategis karena berada di pojok
kanan dari ruang lobi hotel.
Di
dalamnya, ada beberapa sofa hitam dan tempat duduk memanjang. Ada
juga ornamen bajaj dan beberapa ban yang dibentuk menjadi bangku. Di
samping pintu masuk, ada dua wanita dan seorang pria bartender sedang
meracik minuman dan makanan di balik meja bar.
Di
samping meja telah berdiri Budi Siswanto, Humas KONI Jaya. Laki-laki
inilah yang membantu untuk mempertemukan saya dengan Winny, tersangka
kasus pengadaan pesawat ATR. Tak jauh dari meja bartender, sebuah
televisi layar datar tergantung di dinding ruangan. Di bawahnya kami
duduk sambil menunggu mantan direktur bank DKI itu datang.
Winny (mantan Ketua Umum Koni Jakarta) |
Selang
15 menit, Winny Erwindia datang didampingi sekretarisnya, Mega. Sambil
menenteng tas berwarna merah, mereka menghampiri kami. Rambut Winny
khas, berwarna emas dan bergelombang. Di kedua telinganya, ada
tindikan anting berbentuk bola kecil berwarna merah. Sementara, dari
balik blazer hitam berlogo koni yang dikenankannya, masih tetap
terlihat kera kemeja merah yang digunakannya.
Gelang
yang melingkar di pergelangan tangan kanannya juga berwarna merah.
Tak ketinggalan cincin batu akik yang menghiasi jari manisnya pun
berwarna merah. Ternyata, warna favorit perempuan kelahiran Tegal,
11 Januari 1951, adalah merah. Setelah
duduk, Winny mulai menyapa saya.
Awalnya
percakapan hanya sebatas dinamika internal KONI DKI Jakarta.
Seperti,program-program KONI DKI Jakarta hingga rencana delegasi
kontingen yang akan dikirim ke Incheon, Korea Selatan untuk mengikuti
Asian games. Setelah itu, Winny menceritakan alasan rushaffle
dan perampingan pengurus KONI DKI Jakarta, yang terjadi awal Juli
lalu. Setelah itu, barulah saya mengkonfirmasi seputar pengadaan
pesawat ATR.
Dengan
suara lembut dan mendok, mantan Presiden Direktur Bank Bumi Putera
itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya. Raut wajahnya tenang.
Sesekali bibir Winny yang berlipstik merah, menyembur senyum.
Beberapa kali penjelasannya terhenti, mencoba mengingat-ingat tentang
peristiwa beberapa tahun silam. Kerut di wajahnya menegaskan usianya
yang sudah 63 tahun.
Wawancara
dengan Winny terasa akrab. Jarak saya dan dirinya tak sampai satu
meter, sehingga meskipun suaranya pelan, namun penjelasannya masih
terdengar jelas. Kadang-kadang dia selalu menyisipkan kalimat “begini
hen” ketika hendak memulai menjawab pertanyaan dari saya. Begitulah
suasana wawancara malam itu.
Jika
mengingat itu, upaya mengejar Winny berhari-hari serasa tunai. Mulai
dari dibohongi seorang pengacara, beradu mulut dengan sekretaris,
sedikit trik mengelebuhi staf KONI, sampai berupaya meyakinkan
pegawai Humas. Rentetan peristiwa yang harus dilalui untuk bertemu
seorang Winny Erwindia Hassan.
***
Ceritanya
dimulai dari penugasan Kamis sore 21 Agustus 2014. Seperti
penugasan-penugasan lainnya, saya langsung pelajari konstruksi kasus
yang sedang dialami oleh Winny. Seperti mewawancarai tersangka pidana
sebelum-sebelumnya, baik di luar maupun di dalam penjara, hal yang
dipantangkan adalah pandangan stigma kepada tersangka. Apalagi sampai
menjustifikasi.
Setelah
itu, saya langsung mencari tahu identitas kuasa hukumnya, seperti
alamat kantor dan nomor kontak pribadi. Ini dapat diperoleh dari
hasil riset dan jaringan beberapa wartawan lain. Permasalahan muncul
saat kuasa hukum tidak terlalu popular seperti kuasa hukum Winny,
yaitu Benny Suprihartadi. Sehingga sulit mencari identitas dan nomor
kontaknya. Karena urung menemukan nomor teleponnya, pewarta saya
mencari nomor telepon kantor pengacara Solicitor, karena Benny
menjalin kerjasama dengan kantor pengacara tersebut.
Setelah
nomor kantor didapat, saya langsung menghubungi nomor tersebut. Pihak
kantor tersebut memberi nomor telepon pribadi Benny. Tanpa menunggu
lama, saya menghubungi Benny dan membuat janji wawancara dengannya.
Benny langsung mengiyakan. “Besok siang di kantor ya,” katanya
kepada saya. Benny menjanjikan bertemu di kantornya, yang berlokasi
persis di samping Tugu Proklamasi, Jakarta pusat, jam 1 siang.
Besoknya
(Jumat, 22 Agustus 2014) saya mendatangi kantor tersebut. Sempat
menunggu selama satu jam, Benny datang mengenakan baju koko berwarna
putih. Saat wawancara, Benny ditemani oleh beberapa rekannya yang
juga pengacara. Ada pengacara yang menambahkan penjelasan Benny saat
diwawancara. Sekitar satu setengah jam, wawancara selesai.
Selanjutnya,
saya meminta kepada Benny, agar bisa mempertemukan saya dengan Winny.
Saat itu tak ada tanda-tanda, Benny akan menolak permintaan saya.
Dengan senang hati, dia berjanji akan mempertemukan saya dengan Winny
pada Minggu siang. Setelah itu, saya meninggalkan kantor Solicitor
tersebut.
Minggu
pagi, saya mencoba berkomunikasi dengan Benny melalui seluler tentang
rencana bertemu dengan Winny. Hanya saja, Benny tidak mengangkat
telepon. SMS pun tidak dibalas. Selang dua jam, saya kembali
menghubunginya, tetap saja tidak diangkat dan sms tidak
dibalas-balas. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang.
Karena
belum ada kepastian, saya mencoba menelponya. Selulernya aktif, namun
Benny tidak mengangkatnya. Lagi-lagi juga sms tidak dibalas. Sampai
jam tiga sore, sekali lagi saya mencoba menagih janjinya. Tetap
telepon dan SMS yang dilayang kepadanya, tidak ditanggapi. Sebelum
adzan maghrib saya masih berharap, hari itu bisa bertemu dengan
Winny. Saat dihubungi lagi, teleponnya masih aktif itu, tetapi tidak
diangkat.
Besoknya,
Senin pagi, saya dapat sms dari Benny menyuruh saya datang jam 11
siang ke kantor Solicitor. Saat itu, sms Benny seperti setetes air di
tengah gurun Sahara. Siangnya, saya bergegas menuju kantor Solicitor.
Ketika sampai, Benny tidak kelihatan. Setelah menunggu satu jam,
orang yang ditunggu tak kunjung muncul.
Saya
mencoba menelponnya, tetapi tidak diangkat. SMS pun tidak dibalas.
Setelah saya menunggu sampai jam satu siang, Benny tidak datang.
Lalu, saya menghubunginya kembali dan tidak diangkat. Bahkan telepon
resepsionis kantor tersebut juga tidak diangkatnya. SMS pun tidak
terbalas.
Selang
setengah jam, telepon kantor tersebut berbunyi. Benny berpesan
melalui resepsionis, agar saya datang lagi jam 5 sore hari itu juga
ke kantor tersebut karena Benny sedang ada rapat. Jam lima saya
kembali datang ke kantonya. Ternyata lagi-lagi Benny tidak kelihatan.
Telepon dan sms lagi-lagi tidak dapat tanggapan. Hingga Senin sore,
janji Benny hanya angin lalu.
Saya
mencoba menghubungi selulernya menggunakan telepon kantor Solicitor.
Walaupun selulernya aktif, namun tidak diangkat. Lalu salah satu
rekannya di kantor tersebut memberitahu, agar mencoba menemuinya di
mesjid Cut Meutia, Menteng, karena dia sering sholat Maghrib di sana.
Jam setengah tujuh malam, saya ke sana. Ternyata Benny tidak berada
di sana. Malam itu serasa seperti peristiwa gedung WTC runtuh.
Setiba
di kantor, saya masih berupaya mencari tahu nomor telepon Humas KONI
DKI Jakarta. Tetapi yang ada adalah nomor seluler Humas KONI Pusat.
Walaupun sempat ragu, akhirnya Humas KONI Pusat tersebut memberikan
nomor kontak Humas KONI DKI Jakarta. Dengan strategi komunikasi, dia
mengirimkan nomor seluler Humas KONI DKI Jakarta, Budi SIswanto.
Sesegera
mungkin, saya menelpon Budi. Seperti staf atau ajudan pada umumnya,
seringkali memperumit wartawan untuk bertemu dengan pimpinannya. Budi
menyarankan kepada saya agar menghubungi Mega, sekretaris Winny. Saat
dihubungi, Mega kurang korperatif. Dia mengatakan, bahwa Winny tidak
bisa diwawancara. Akhirnya besok paginya, Selasa, saya kembali
menghubungi Budi.
Dalam
komunikasi tersebut, Budi akan mengupayakan pertemuan dengan Winny.
Kendati demikian, dia tidak bisa menjamin akan mempertemukan saya
dengan Winny. Semacam tanggapan retorika belaka. Karena tidak ingin
ditipu kedua kalinya, sekitar jam dua siang, saya meluncur ke kantor
KONI DKI Jakarta yang berlokasi di Jalan Tanah Abang I, persis di
samping Museum Taman Prasasti.
Ketika
masuk, saya ditegur oleh salah seorang staf KONI DKI. “Mau kemana
mas?” kata pria bertubuh besar yang mengenakan kaos berkera.
Tentunya, saya tidak mengatakan kalau ingin bertemu dengan Winny.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Budi,” kata saya. Pria tersebut
menunjuk ke arah lantai 2. Kebetulan laki-laki tersebut hendak ke
lantai 2 juga. Jadi kami jalan berbarengan menaiki tangga.
Ketika
sampai di lantai dua, saya kembali bertanya kepadanya, ”kalau
ruangan Bu Winny di bawah ya?”Agar tidak terkesan datang ke kantor
tersebut untuk pertama kalinya, perlu menggunakan pertanyaan yang
tepat. “Iya, itu dia baru datang tadi,” balasnya. Perlahan,
pewarta saya ancang-ancang mundur, lalu kembali turun ke lantai satu
dan langsung menuju ruangan Winny.
Ruangannya
tidak terkunci. Dari luar terdengar suara bolak-balik kertas. Di
dalam ruangan tersebut, dia tampak sendiri. Ketika akan masuk,
seorang perempuan bertubuh gemuk dan berambut panjang, langsung
menghardik pewarta saya. Perempuan tersebut adalah Mega, sekretaris
Winny. Dia menanyakan identitas dan keperluan saya.
Lalu,
dia masuk untuk berkordinasi dengan Winny. Tak berapa lama Mega
keluar. Saya yang sedang berdiri di samping pintu ruangan Winny,
berharap bisa mewawancarainya saat itu. Tetapi Mega mengatakan bahwa
Winny tidak mau diwawancara. Saya tetap menunggu di depan ruangan
Winny sampai perempuan tersebut keluar. Mega berang dan memaksa saya
keluar.
Seperti
sudah kepalang tanggung, saya mencoba berdiplomasi dengan Mega sekali
lagi. Tetapi tetap saja Mega tidak mengizinkan saya masuk ke dalam
ruangannya. “Ibu mau rapat,” katanya. Tiba-tiba, seorang
laki-laki menyodorkan selulernya yang sedang berdering ke saya. “Ada
telepon dari pak Budi ,” kata laki-laki itu.
Karena
saat itu Budi sedang tidak ada di kantor, sehingga dia ingin
berbicara dengan saya lewat seluler. Sebelumnya memang, dia sempat
menghubungi, ketika saya mencoba masuk ke ruangan Winny. Namun saya
tidak menjawab teleponnya. Oleh karena itu, dia menelpon salah satu
staf KONI DKI, dan staf tersebut meneruskannya ke saya.
Dalam
komunkiasi tersebut, dia meminta agar saya meninggalkan kantor KONI
DKI Jakarta. “Aduh bang, bisa bahaya kita. Masa abang mau maksa
masuk ke ruangan Bu Winny,” katanya dengan nada senduh. Karena dia
bertanggung jawab kepada setiap media dan publikasi, dia berjanji
akan mempertemukan saya dengan Winny malam itu jam delapan. Sementara
untuk lokasi pertemuan, dia akan beritahu sebelum adzan maghrib.
Akhirnya
dengan terpaksa, saya meninggalkan KONI Jaya sore itu. Untungnya,
tidak seperti Benny, pengacara Winny, Budi konsisten dengan janjinya.
Sebelum maghrib dia memberitahu lokasi wawancara. Seperti menanti
hujan di kemarau panjang, akhirnya saya bisa wawancara dengan Winny.
Awalnya sempat ragu, sehingga tidak mengajak juru photo ke sana.
Apalagi dengan status Winny sebagai tersangka, sulit rasanya bisa
memfotonya.
Jam
delapan malam, sesuai janji, saya ke Hotel Harris Tebet. Langsung
menuju ke Bar hotel tersebut. Di tempat itu, akhirnya saya dapat
mewawancara tersangka pengadaan pesawat ATR tersebut. Kini, pasca
pemberitaan wawancara saya dengan Winny, nahkoda KONI DKI itu dibui
di rutan pondok bambu. Sempat berstatus DPO (buron), sebelum akhirnya
kejaksaan menjemput Winny di bandara Cengkareng Jumat lalu. Di
usianya yang senja, Winny malah merasakan pesakitan di balik jeruji
tahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.