Di
ujung era SBY, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), gencar
mengkampanyekan, program Blue Carbon, melalui restorasi ekosistem
pesisir yaitu mangrove dan padang lamun. Berdasarkan data KKP,
Indonesia memiliki ekosistem mangrove 3,1 juta hektar atau 23 % dari
mangrove dunia dan padang lamun terbesar di dunia, yaitu 30 juta
hektar. Ekosistem ini diharapkan dapat mengurangi 25% emisi karbon
secara global dan juga memberikan manfaat langsung pada masyarakat
nelayan melalui kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Berdasarkan
hasil analisis global yang pertama diterbitkan tentang karbon yang
tersimpan di padang lamun melaporkan bahwa ekosistem lamun dapat
menyimpan hingga 830 ton karbon per meter kubik per hektar, lima kali
lebih banyak karbon jika dibandingkan kemampuan penyimpanan hutan
hujan tropis. Mantan menteri KKP, Sharif pernah menyebutkan bahwa hal
ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi
dampak perubahan iklim tidak hanya untuk ekosistem pesisir dan laut
tetapi juga untuk lingkunganterestrial/daratan.
Konvensi
negosiasi perubahan iklim ke-20 yang berlangsung di Lima, Peru, yang
dilaksanakan 12 Desember 2014, tidak menghasilkan apa-apa untuk
menyelamatkan penduduk dunia dari ancaman bencana. Acara yang
dihadiri delegasi Pemerintah Indonesia tersebut, belum menemukan kata
sepakat soal program blue carbon. Pasalnya, pada program yang
didukung oleh IUCN dan IOC-UNESCO, berindikasi sarat unsur dagang.
Hasil
data dan kajian dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menunjukkan bahwa laju restorasi atau
konservasi ekosistem pesisir, khususnya mangrove, tidak dapat
mengimbangi laju emisi yang diproduksi oleh negara-negara maju.
Ditambah lagi inisiatif Karbon Biru merupakan wahana
mentransformasikan ekosistem pesisir dan laut menjadi barang
dagangan.
sumber: http://www.mangrove.at
Adapun
alasannya, pertama, kalkulasi
karbon yang dikampanyekan itu mengabaikan peran dan keberadaan
masyarakat pesisir dalam melestarikan dan memanfaatkan "mangrove"
(bakau) sebagai bahan utama membuat makanan, minuman, obat-obatan,
dan kosmetik di hutan bakau seluas 3,2 juta hektare atau 22 persen
dari seluruh ekosistem sejenis di dunia.
Kedua,
menurut LSM tersebut, dikatakan bahwa salah satu penyebab perubahan
iklim adalah rusaknya bakau akibat pengelolaan yang buruk, padahal
fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaku perusakan hutan mangrove
adalah buah kolaborasi antara oknum pemerintah dan pengusaha.
Misalnya, seperti reklamasi pantai untuk pembangunan hotel, apartemen
dan kawasan rekreasi berbayar, tambak budidaya, dan perluasan kebun
kelapa sawit. Menurut data Ocean and Coastal Policy Program Duke
University, Amerika Serikat, menghancurkan 1 hektare (ha) hutan
mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 ha hutan tropis
Ketiga,
Ketiga, Inisiatif
Karbon Biru dinilai tidak mampu mengubah perilaku perusahaan dalam
pengelolaan emisi karbonnya, sebaliknya hanya menjadi sarana tukar
guling karbon ("carbon offset"). Di
Tanah Air, proyek tukar guling karbon ini berlangsung sejak tahun
2011 melalui investasi yang dinamai Livelihoods
Fund. Program
ini didanai oleh Danone, Schneider Electric, Credit Agricole, Hermès
International, Voyageurs du Monde, La Poste Group, CDC Climat and
SAP-Germany. Program ini berlangsung selama 20 tahun dan investor
(pelaku industri) akan menerima kredit karbon dari mangrove yang
ditanam oleh masyarakat pesisir di negara berkembang. Dengan jalan
ini, mereka mengklaim telah berkontribusi dalam mengurangi emisi
karbon dunia.
Inisiatif
Karbon Biru membuka peluang bagi elite pemerintah
untuk menggadaikan dan
menerima keuntungan atas nama perubahan iklim. Sementara karena
kerentanannya, ekosistem pesisir akan terus rusak akibat pembangunan
yang bias daratan dan dampak perubahan iklim. Pada akhirnya,
masyarakat pesisir di negara berkembang tetap menjadi korban karbon
Di
sisi lain, bulan kemarin (November), pasca kunjungan ke Cilacap,
menko kemaritiman berenncana akan menjual oksigen ke dunia
internasional. Menurutnya, Mangrove Indonesia harus dilestarikan
karena dapat mengurangi emisi CO2. Pak menko ini juga menambahkan
kalau buah mangrove dapat digunakan sebagai bahan baku makanan yang
memiliki nilai gizi tinggi.
Nah,
bagaimana perkembangan implementasi program blue carbon di Indonesia?
Bagaimana statusnya pasca pertemuan di Peru? Apakah tetap dilanjutkan
atau tidak? Lalu bagaimana tentang adanya praktik carbon offset
(tukar guling karbon)? Apakah rencana program penjualan oksigen yang
direncanakan oleh kementerian kemaritiman akan berjalan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.