Perseteruan KIH dan KMP
rehat sejenak. Kedua kubu mensepakati adanya revisi UU Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Isinya, DPR RI menghapus pasal
74 dan 98 tentang wewenang komisi-komisi menggunakan hak interpelasi,
angket dan menyatakan pendapat.
Revisi ini sebenanrya
muncul karena adanya penambahan penawaran KIH. Para ketua umum partai
politik dari KIH, menengarai bahwa ada pasal yang akan melemahkan
sistem presidensil yaitu pasal 73, 74 dan 98. Maka pimpinan parpol
sepakat perlu adanya revisi UU MD3.
Lalu usulan tersebut
dibicarakan oleh juru runding. Hasilnya, KMP dan KIH sepakat menambah
21 kursi pimpinan DPR untuk diberikan kepada KIH. Pemekaran pimpinan
DPR ini tidak mencabut 21 kursi pimpinan DPR dari KMP. Melainkan DPR
perlu menambah 21 kursi.
Akibat pemekaran pimpinan
komisi dari 4 –satu ketua dan tiga wakil ketua – menjadi 5, DPR
perlu merevisi UU MD3 tentang jumlah pimpinan komisi. Celah inilah
yang dilihat oleh KIH untuk mengusulkan perubahan pasal-pasal
lainnya, selain pasal yang menyangkut pimpinan komisi.
Akhirnya, kedua kubu
sepakat merevisi pasal-pasal tentang pimpinan komisi, pasal 74 dan 98
melalui jalur legislasi. DPR meyakini revisi UU MD3 dapat selesai
sebelum 5 Desember atau sebelum masa reses. Setelah KIH menyerahkan
nama-nama anggota DPR yang akan diplot ke AKD, DPR RI melalui Badan
Legislasi akan segera membahas perubahan UU MD3.
Selanjutnya, Kemenkumham
RI dan DPR akan membahas perubahan UU tersebut tentang prolegnas.
Lalu, Kemenkumham berkordinasi dengan presiden dan kementerian
terkait. Setelah rapat kerja kembali dilakukan, barulah dibawa ke
sidang paripurna. “Kalau
normal, menurut saya seluruh proses legislasi itu sampai januari,”
kata Arif Wibowo, Politis PDIP di Jakarta.
Hal
senada diutarakan oleh Refly Harun. Menurutnya, merevisi UU MD3
melalui jalur legislasi tidak efektif dan efesien. Refly menuturkan
bahwa ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk merubah UU MD3,
yaitu melalui legislasi review, eksekutif review dan judicial review.
Saat
ini, DPR RI telah setuju merevisi UU MD3 melalui legislatif review.
Refly mengatakan bahwa revisi ini memang bermasalah sejak awal
pembentukannya. Pasal 74 dan 98, lanjutnya, bukan saja mengancam
kerja-kerja pejabat negara dengan wewenang hak interpelasi, angket
dan menyatakan pendapat. Lebih jauh, cakupan kedua pasal ini bisa
mengancam warga sipil. “Jadi DPR itu bukannya perwakilan tapi dewan
pengancam rakyat,” katanya sembari tertawa.
Dari
ketiga strategi tadi, Refly menyarankan agar UU MD3 seharusnya
direvisi melalui jalur judicial review sehingga bisa lebih cepat.
Peluang diterimanya pun lebih besar, jika uji materi diajukan oleh
fraksi dari Nasional Demokrat. Karena pada proses pembuatannya,
Nasdem tidak ikut membahas. “Melalui MK saja (revisinya). Ngapain
ke baleg lagi,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.