Disparitas
antara Si Kaya dan Si Miskin semakin lebar. Sistem kebijakan ekonomi
Neo-liberalisme yang diterapkan SBY dalam 1 dekade pemerintahannya, menimbulkan
status sosial masyarakat yang timpang. Muncul celetukan “kota besar jadi tempat
orang terkaya sekaligus orang termiskin”.
Jika tidak
segera diatasi, negara jadi tidak kondusif. Lebih lanjut, akan lahir
pemberontak akibat kecemburuan sosial. Apakah presiden baru sudah memiliki
strategi mengatasi kesenjangan ini? Atau tetap meneruskan sistem
Neo-liberalisme yang semakin memperlebar disparitas status sosial masyarakat?
Beberapa
ruas jalan di sekitar markas KPU pusat, tampak lengang. Demi menghindari keos,
pihak aparat telah mengkondisikan area KPU. Penjagaan berlapis-lapis. Kawat
berduri dan mobil water canon
bersiaga di pos. Bahkan beberapa sniper telah berjaga di atas gedung-gedung
sekitaran KPU. Pengamanan extra ordinary
dilakukan demi pengawalan hasil pilpres 2014.
KPU
resmi mengumumkan bahwa pasangan no urut 2, Jokowi-JK memenangkan pertaruhan
pilpres dengan total suara 70.997.833 (53,15%) sedangkan pasangan no urut 1,
Prabowo-Hatta hanya mendulang 62.576.444 (46,85%). Atas hasil ini, Jokowi-JK
akan segera masuk istana merdeka dan membawa arak-arakan negara ini 5 tahun ke
depan.
Secara
pengalaman, Jokowi masih hijau. Banyak khalayak khawatir, Jokowi belum memahami
konstelasi dan kondisi nasional dan internasional. Ada kecenderungan, Jokowi
akan dikontrol oleh oknum-oknum tertentu. Akibatnya oposisi akan memainkan isu
tersebut dengan leluasa. Jokowi dan SBY mempunyai donatur kampanye yang mirip.
Kuat dugaan Jokowi 11-12 dengan SBY.
Tantangan
pertama, terutama sekaligus paling susah adalah menyelesaikan kesenjangan
sosial yang melanda Indonesia dewasa ini. Kebijakan ekonomi yang diterapkan
selama ini telah gagal mengangkat kesejahteraan masyarakat kecil. Maka itu, sebagai
presiden ke depan, keberanian Jokowi berpihak ke wong cilik akan diuji.
Mengingat banyak
kaum kapital yang membiayai kampanyenya sejak pilgub DKI dan pilpres, saya agak
ragu, masalah ketimpangan sosil bisa tuntas.
Ok, it’s my
perception.
Sekarang kita lihat data world bank, menyebutkan bahwa pada tahun 2002, tingkat
konsumsi dari 10% keluarga paling kaya adalah 6,6 kali lebih besar dari tingkat
konsumsi 10% keluarga termiskin. Pada tahun 2013, tepatnya pada rezim SBY,
kelompok terkaya mengkonsumsi 10 kali lebih besar dibandingkan kelompok
termiskin.
Gambaran
tersebut memang wajar karena kebijakan ekonomi rezim SBY menciptakan
orang-orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil timbul jurang
yang semakin dalam antara si kaya dan si miskin. Jadi, sudah tidak aneh, di
satu sisi ada keluarga di Indonesia yang makan siangnya saja bisa ke Singapura
atau ke Malaysia, sementara di sisi lain, ada keluarga, makan satu kali sehari
saja sudah bersyukur.
Ndiame
Diop, ekonom utama bank dunia untuk Indonesia berujuar bahwa ketimpangan yang
semakin para akan membawa risiko bagi kohesi sosial. Dampaknya, negara rentan
propaganda. Jokowi harus jelih melihat isu ini agar tidak menjadi boomerang yang
bisa melengserkannya lebih cepat dari kursi kepresidenannya. Presiden ke-7 ini harus
bisa mensinkronkan kepentingan wong cilik dan kaum kapital.
Ndiame
Diop menanganjurkan agar presiden yang baru segera memperbaiki infrastruktur di
pedesaan, perluasan akses pendidikan yang berkualitas dan merata, dan serius
memerangi ketidaksetaraan. Selain itu, menurut hemat penulis, presiden harus
menghindari blusukan yang tidak efektif. Kalau blusukan tanpa tindak lanjut,
hanya akan menimbulkan anti klimaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.