Gbr. Gedung Senayan
“….Saudara
dipilih bukan di lotere. Meski kami tak kenal siapa saudara. Kami tak sudi
memilih para juara. Juara diam juara he eh juara hahaha.”
Entah
kenapa kalau sudah ngomongi pejabat senayan, lirik Iwan Fals di atas, jadi
sangat relevan. Sosok yang memiliki fans fanatik tak kurang 2 juta manusia ini,
ternyata telah menyadari laku tak etis para legislator sejak dulu. Sekarang,
tulah itu seakan tak pernah berhenti. Lihat saja, seperti tak tahu malu,
anggota DPR malah membuat UU prematur demi obsesi jadi manusia setengah dewa.
Masyarakat
telah mafhum atas kekonyolan dan kegagalan anggota dewan, menjadi corong
aspirasi rakyat. Perilaku anggota DPR yang sudah sangat telanjang, jadi ejekan
dan makian masyarakat. Berita-berita negatif lebih banyak ketimbang positif.
Perselingkuhan, korupsi, dan penggunaan narkotika, adalah berita yang sudah
tidak mengejutkan lagi. Gombal yang dulu pernah diumbar seperti angin lewat,
hanya fatamorgana.
Belum
hilang stigma masyarakat terhadap kinerja bobrok para pejabat senayan, muncul
lagi masalah baru. Revisi UU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) yang sudah
diketokpalukan 8 Juli 2014 di Gedung Pantat, ternyata cacat dan mengandung
kepentingan praktis. Wajar saja tidak semua fraksi mengamini kesepakatan UU
MD3. Beberapa partai bahkan mengambil sikap walk
out, seperti PDIP, PKB dan Hanura.
Berikut
ini pasal-pasal UU MD3 yang menjadi catatan sekaligus cacat menurut versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU
MD3:
1. Pasal 4 &
5, penambahan tugas MPR
Di
dalam UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD pasal 11 diatur bahwa tugas legislator adalah mengubah & menetapkan
UUD 1945, melantik presiden & wapres, memutuskan usul DPR berdasarkan
putusan MK untuk memberhentikan presiden dan/atau wapres, dan menetapkan
peraturan tata tertib & kode etik.
Sedangkan
di dalam UU MD3 pasal 4 & 5 ditambah lagi Susduk MPR yaitu memasyarakatkan
ketetapan MPR, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, mengkaji
sistem ketatanegaraan, UUD 1945 serta pelaksanaannya, dan menyerap aspirasi
masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945.
Penambahan
kewenangan akan berpotensi terjadinya penganggaran ganda dan pembengkakan
anggaran karena adanya penambahan aktivitas yang tidak efektif. Seharusnya
pejabat senayan bisa memberdayakan lembaga-lembaga seperti Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) atau Komisi Hukum Nasional (KHN) untuk melakukan pembinaan
dan pengembangan hukum nasional termasuk 4 pilar tersebut.
2. Pasal 80
huruf (j), ambiguitas program pembangunan daerah pemilihan (Dapil)
Dalam
pasal ini, DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan Dapil.
Substansinya, DPR ingin ada dana aspirasi untuk konstituen. Namun, penjelasan
pelaksanaan program ini masih tergolong bias. Dengan distorsi tujuan program, ke
depan pasal ini berindikasi akan membuka laku culas penggunaan anggaran. Kuat
dugaan akan terjadi penyimpangan anggaran di lapangan.
3. Pasal 84,
mekanisme pemilihan pimpinan DPR
Pasal
ini memang politis abis. Soalnya
ketua dan 4 wakil DPR akan dipilih oleh anggota berdasarkan suara terbanyak. Padahal
pasal 82 UU No 27/2009 sebelumnya, pimpinan DPR dari partai pemenang pileg. Memang,
ketua DPR adalah posisi prestisius, sehingga jadi incaran para fraksi. Hanya
saja dalam naskah akademik, tidak ada penjelasan yang komprehensif tentang
pengubahan sistem pemilihan pimpinan DPR yang baru ini.
Akibat
ketidakjelasan latar belakang pasal ini, banyak pengamat menganggap bahwa pasal
ini adalah upaya pihak oposisi pemerintah dan partai pemilu yang kalah, agar tetap
memiliki kekuatan. Sebenarnya, jika pemerintah, yakin dengan kinerja dan
dukungan rakyat, saya rasa, seorang presiden tidak perlu mengkhawtirkan masalah
siapa pimpinan DPR-nya, termasuk munculnya pasal 84 ini.
4. Pasal 224 ayat
(4), ancaman terhadap Anggota DPR yang kritis
Pasal
224 UU MD3 ayat (4) berpotensi
membatasi anggota DPR yang frontal dan kritis terhadap keputusan sepihak, baik
di rapat – rapat banggar, komisi atau di paripurna. Misalnya saja, ada anggota
DPR yang kritis terhadap program dan penganggaran APBN, karena dianggap
menghalangi dan tidak seritme, maka akan ‘diasingkan’ dan hak imunitasnya bisa hilang.
5. Pasal 224 UU
MD3 ayat (5), muncul Mahkamah Kehormatan
Selama
ini, Badan Kehormatan DPR saja tidak berfungsi dengan baik. Kini, dengan UU
MD3, muncul lagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memiliki tugas hingga
ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.
Jika
Badan Kehormatan DPR hanya sebatas pelanggaran kode etik, Mahkamah Kehormatan
meluas hingga pelanggaran pidana. Pada ayat (5), pemanggilan anggota dewan yang
diduga melakukan tindak pidana, harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD.
Tentunya, MKD berpotensi menghalang-halangi proses hukum terhadap anggota
dewan.
Imun
anggota dewan meningkat. Padahal akar permasalahan kecurangan khususnya soal
anggaran, pasti bermula dari gedung parlemen. Pembentukan MKD dinilai hanya
‘akal-akalan’ anggota dewan. Dengan adanya pasal 224 ayat (5), tidak
terbayangkan, anggota dewan kita akan semakin brutal melakukan ‘pencurian’ uang
negara.
6. Pasal 224 UU
MD3 ayat (7), Mahkamah Kehormatan jadi penentu
Menyambung
ayat (5), dalam ayat (7) ini, dikatakan bahwa MKD berhak memutuskan untuk tidak
mengizinkan pemeriksaan terhadap anggota dewan. Dengan begitu, surat
pemanggilan yang dilayangkan penegak hukum, akan batal demi hukum. BUSET! Emang MKD adalah penegak hukum, yang
bisa menjamin anggota dewan, salah atau tidak?
7. Pasal 245,
menghambat penyidikan
Pasal
ini juga jadi pro-kontra karena legislator kita akan kebal hukum. Setelah
terbentuknya MKD, para penegak hukum tidak bisa sembarangan menyeret anggota
DPR dari gedung pantat ke proses penyidikan. Untuk jadi saksi saja, penegak
hukum harus meminta izin ke Mahkamah Kehormatan. Mahkamah kehormatan akan
menjawab izin selama batas maksimal 30 hari. Namun, dengan durasi 30 hari, para
anggota DPR akan leluasa mengamankan barang bukti.
8. Penghapusan
Pasal 110 dan 73 ayat (5) UU No 27 tahun 2009
Sontoloyo! Sudah
menambahkan pasal-pasal prematur, anggota dewan rupanya belum puas. Di dalam UU
MD3, juga menghapus pasal 110 tentang adanya Badan Akutanbilitas Keuangan
Negara (BAKN) dari alat kelengkapan DPR (AKD). BAKN bertugas menindaklanjut
hasil audit BPK dalam rangka pengawasan keuangan DPR.
Tidak
sampai di situ, pasal 37 ayat (5) UU no 27/2009 yang mewajibkan pelaporan
anggaran DPR kepada masyarkat melalui laporan kinerja tahunan, telah dihapus.
Penghapusan pasal-pasal tersebut akan menghilangkan transparansi penggunaan
anggaran di DPR. Diawasi saja, anggota
DPR masih sering nyolong duit negara, apalagi tidak.
***
Mengerikan
dan ini realitasnya. UUD MD3 sudah sah. Pengusulan RUU perubahan atas UU no 27
tahun 2009 tentang MD3 pada 24 Oktober 2013, telah disahkan pada 8 Juli 2014,
melalui sidang paripurna. Revisi UU ini sangat instan dan konyol. Padahal masih
banyak pekerjaan rumah pembuatan UU yang mendesak ketimbang mengurus revisi UU
politis ini.
Lihat
saja target Prolegnas 2009-2014 yang merencanakan 39 rancangan Undang-undang
(RUU) tentang industri dan ekonomi, hanya ada 10 rancangan yang disahkan
menjadi UU, delapan rancangan masih dalam pembahasan dan 21 RUU tidak
mendapatkan ketok palu.
Lalu apa kerja
DPR selama ini? Tiba-tiba sekarang, langsung ketuk palu UU MD3. Tentunya
masyarakat akan bertanya-tanya.
Menurut
penilaian Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi (Perkumpulan
Prakarsa), kinerja anggota DPR sepanjang 5 tahun, sangat mengecewakan. Anggota
DPR tidak serius, meningkatkan perekonomian dan industri bangsa melalui UU. Kini,
UU MD3 segera di-judicial review.
Kita berharap, Mahkamah Konstitusi jelih memutuskan JR ini, agar kepentingan
masyarakat tidak jadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.