gambar dari berbagai sumber
Ada
satu keluarga sederhana tinggal di daerah yang setidaknya masih terpapar
matahari. Mereka memiliki rumah ukuran 36 yang dibeli bekas dari seorang
pengusaha investasi. Tak ada yang janggal pada sepasang suami isteri tersebut. Anak
pertama sudah masuk PAUD dan anak terakhir baru belajar berjalan. Yang sedikit
unik sejak membangun dermaga pelaminan, sampai anak kedua lahir, keluarga yang
taat pada program KB tersebut, tidak memiliki televisi (TV).
Bukan
karena gaji tak mumpuni, budaya irit, atau soal prioritas. Si suami yang
bekerja di salah satu perusahaan BUMN ini, menganggap bahwa TV adalah racun.
Bak gayung bersambut, sang permaisuri yang resign
dari perusahaan swasta pasca melahirkan anak kedua, juga sepakat tidak memiliki
TV di rumah mereka. Pasangan yang memiliki hobi membaca ini, sejak menikah 6
tahun silam, belum terkontaminasi dengan ‘venom’ TV.
Tak
ada TV di rumah, bukan berarti mereka miskin informasi. Saat bercakap-cakap
dengan tetangga soal kondisi dewasa ini, si suami tak minim suara. Bahkan si
suami sering melengkapi informasi parsial tetangga, yang diperoleh dari TV. Tak
ubahnya suami, sang isteri yang sering ngerumpi dengan ibu-ibu di lorong gang
atau ketika datang ke arisan, juga tak jadi katak dalam tempurung. Meski telah
berstatus ibu rumah tangga, wawasannya tentang gosip dan pemberitaan kekinian,
sangat rinci.
Ternyata,
keluarga ini memiliki tradisi 30 – 60 menit membaca surat kabar yang sudah
disediakan para loper koran di teras mereka setiap pagi. Mereka berlangganan
beberapa koran dan majalah untuk mengganti informasi TV. Mulanya terasa
berbeda. Namun karena TV tidak lagi menjadi media informasi yang netral dan
akurat, ditambah lagi program yang tidak mendidik, mereka semakin tidak
tertarik membeli TV apalagi TV nirkabel atau satelit. Semua sudah terangkum di
dalam media cetak yang dilahap mereka setiap pagi.
Jika
terus bertahan sampai anak mereka dewasa, saya pikir, anak-anak mereka tidak
akan menjadi anak cengeng atau mental sakit, seperti yang dipertontonkan
sinetron-sinetron kita pada umumnya. Lebih lanjut, anak mereka akan memiliki
hobi membaca yang kuat. Praktik membaca yang kuat, tentunya akan melatih
imajinasi dan analisis. Dengan demikian, tidak bisa terbayangkan betapa cerdas
dan kreatifnya anak mereka ke depan.
Secara
kesehatan, para medis dan peneliti sering menyarankan tentang ancaman
teleivisi. Mulai dari kesehatan terhadap mata hingga masalah pada organ dalam,
seperti jantung dan pembuluh darah. Menurut para peneliti dari Belanda (Juni 2014)
menyebutkan bahwa menonton TV 20 menit secara rutin akan mengeraskan pembuluh
darah. Dampaknya, pembuluh darah lebih kaku. Parahnya lagi, hal ini bisa
meningkatkan risiko penyakit jantung.
Saat
ini masyarakat yang menonton TV semakin membengkak. Bahkan, program TV bisa
diakses dari gadget seperti laptop,
HP, tablet dan PC. Dari riset Connected Life (Maret-Juni 2014) terhadap 55.000
koresponden pengguna internet di seluruh dunia, 25% memanfaatkan gadget untuk menonton TV. Alasan tidak
menggunakan TV konvensional adalah waktu dan tempat. Ini membuktikan acara TV
tetap menarik perhatian tanpa memandang waktu dan tempat si penonton.
Masih
dari sumber data yang sama, menyebutkan bahwa mayoritas 93% masyarakat
Indonesia menonton TV setiap hari. Tak terbayang, banyaknya masyarakat
terkontaminasi program TV yang tidak mendidik. Apalagi sepanjang 2013 – Apri
2014, KPI setelah menerima 1600-an pengaduan publik tentang tayangan TV. Akibat
segudang pengaduan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah merilis 10
sinetron dan film televisi (FTV) yang tidak layak tonton.
Selain
program entertain, masyarakat larut dalam hegemoni politik belakangan ini.
Masyarakat menjelma menjadi frontal civil
terhadap satu aliran politik tertentu. Mestinya, pemahaman politik bukan pada
visi politisi melainkan visi bangsa dan negara. Pemilu 2014 jadi pembuktian
paling ketara, betapa TV telah mengkontaminasi pikiran masyarakat.
TV
menyajikan informasi yang tidak komprehensif, berimbang, dan tepat. Setiap
pemodal TV memiliki kepentingan. Masyarakat larut dalam kebingungannya sendiri.
Akibat tak tahu arah, masyarakat menjadi anarkis. Perkara anarkis bukan saja
diperlihatkan melalui perbuatan fisik, lebih mengerikan adalah anarkis
pendapat. Informasi yang diperoleh masih simpang siur, sudah membuat masyarakat
‘sok tahu’. Jadilah dia ikut mengata-ngatai
kompetitior dari tokoh yang didukungnya. Seharusnya masyarakat bisa lebih
jelih, ‘apa dibalik siapa’.
Sejatinya,
racun yang dimaksud bukan pada media (TV) melainkan program yang disajikan.
Hampir semua stasiun TV khususnya di Indonesia, menyajikan program yang kurang
mendidik. Sementara, TV memberikan impuls visual dan audio yang ditangkap oleh
indera dan diterjemahkan lalu disimpan dalam otak dengan mudah. Apalagi sifat rasa
ingin tahu yang kuat terdapat pada indera mata.
Untuk
itu, kalaupun setiap keluarga masih ‘sayang’ dengan TV, para orang tua perlu
mengatur waktu menonton dan program tontonan agar tidak terkontaminasi. Lebih baik
lagi, membatasi si buah hati menerima informasi dari TV. Karena tanpa peran dan
kontrol orang tua, si anak bebas memilih program yang ingin ditonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.