Tak ada seseorang yang bisa mengukur keimanan orang lain.
Apalagi hanya melihat dari penampilan atau kesehariannya saja. Rasanya terlalu
implisit, bahkan rumit. Justifikasi tentang keimanan memang sering kita rasakan
di masyarakat. Inilah yang patut dicermati sekaligus dihindari. Penghakiman
atas iman seseorang.
Menyandingkan manifestasi Rontaan Masehi dengan keseharian sang
penulis Iwan Kurniawan, maka ada tanggapan “kejutan”. Keseharian penulis
sepintas tak representatif dengan beberapa puisi religi yang tertuang dalam
buku puisinya itu.
Beberapa puisi religinya,Rontaan Masehi, Hari Terakhir dan Denyutan
Nadi, menyiratkan satu makna, bahwa keimanan bukan seperti pakaian yang
perlu dipertontonkan. Dalam puisi Rontaan
Masehi, yang ditulis 23 Agustus 2006 ini, meyuratkan kalimat indah nan
dalam serta banyak tafsir, “masihkah langkah menggamit pepohonan sementara akar
pun tertanam sukma”.
gbr. my doc
Sementara dalam puisi Hari Terakhir, penulis mengakui bahwa
saus, ada. “Dari-MU hari tertanam tumbuh di antara semak belukar
tertancap sabda,” ditulisnya 2 Februari 2007. Insan muda tak mengenal anti keteraturan,
tunduk juga pada sabda. Inilah bentuk keimanan hakiki yang diwujudkan penulis.
Bahkan dalam puisi Denyutan Nadi, penulis mengacu pada kitab tersucinya. Dari
rongrongan kegelisahan spiritualnya, dia memverbalkannya melalui kata. Kata
“kau” dalam kalimat “aku tidur tetapi jiwaku bangun//kau mengetuk denyutan nadi
di dada” tertuju pada sesuatu yang membuatnya gelisah sekaligus tenang. Gelisah
karena terketuk, tenang karena terjaga.
Dalam mengawal puisi-puisi bernuansa
religi, penulis juga menulis beberapa puisi tentang eksistensi seorang ibu
dalam perjalanan hidupnya. Tak sedikit syair tentang ibu, tertulis di buku ini.
Sebut saja puisi berjudul Tetap, Kota
Pagi ini, dan Pulang.
Setiap anak laki-laki, adalah pucuk
cinta dari seorang ibu. Tak akhyal, tidak sedikit anak laki-laki disebut ‘anak
mami’. Namun istilah ini lebih pada konotatif negatif karena sering terlihat
pada anak gedongan yang manja.
Penulis sendiri, adalah ‘anak mami’
namun menciptakan konotasinya sendiri. Pengaruh ibunya tidak berdampak pada
pemanjaan dan menghambat ekspresinya berkarya. Justru, ibu yang digambarkan
oleh penulis adalah perempuan yang memiliki leher beranyir cendana (pada puisi Pulang hlm. 89).
Dalam buku ini, penulis mendekatkan
antara iman dan ibu. Kedua unsur yang suci. Sebagai tambahan, penulis juga
memasukkan puisi satire. Ekspresi pemberontakannya muncul pada puisi-puisi sosial
kritiknya. Meski demikian, penulis tetap saja menampilkan jiwa teduh pada puisi
tentang keimanan dan seorang ibu.
Itulah hakikat seorang laki-laki.
Kebebasan adalah harga mati, namun jika berbicara tentang keimanan dan ibu,
laki-laki mana yang tak tunduk. Dan penulis menampilakan itu dalam buku
puisinya yang kedua ini.
Judul: Rontaan Masehi
Penulis: Iwan Kurniawan
Penerbit: Terbit Press, Juli 2013, Bogor,
xviii+98 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.