Di kotamu, aku tahu sekarang sedang marak aksi pemadaman
listrik. Bahkan karbon-karbon baterai HP tak bertenaga lagi. Jadinya kalau
kutelpon atau sms, seluler yang kau beli tahun lalu di plaza palladium lantai
dasar itu, tak bernyawa. Barangkali sudah tak terhitung sms yang sedang
tertunda di ruang gelombang 3G. Sia-sia aku menunggu sapamu.
Aku curiga, saat malam, kulitmu sering dikerumun nyamuk,
karena dia senang pada remang-remang, pada angin tak bercahaya. Mata fasetnya
silau dengan sinar. Yang selalu tampak di pikirannya, hanya tetes darah yang
ada di balik kulit langsatmu.
Tapi pada situasi yang kau anggap setengah kiamat begini,
bukankah kau ditakdirkan punya sumbu dan secenteng minyak. Ayolah, sayang.
Lupakan lumrahmu. Sekarang terang sudah menjadi barang langkah. Ini saatnya
sumbu menyala. Bukankan kita terlahir selalu memecah sunyi dan khawatir?
Kau masih ingat, ketika orang tuamu menceritakan
detik-detikmu keluar dari lubang tersucinya, tangismu yang getir, memecah kesepian
keluargamu. Kau adalah penantian lima tahun. Bisa kau bayangkan saat orang
tuamu mengisahkannya padamu, ada raut yang tak biasa kau lihat dari wajahnya
–kegembiraan.
Aku teringat pada kunang-kunang yang menebar sinar walaupun sudah
jarang. Kalau mereka lewat di sudut gang, selalu berformasi membentuk huruf-huruf
namamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.