sumber: www.fentyeffendy.com
Kebanyakan
masyarakat pernah menontonnya di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan
salah satu stasiun TV swasta. Acara yang dahulu bernama Jakarta Lawyers Club
(JLC) ini dipandu oleh jurnalis senior yang telah melalang buana dari media
satu ke media lainnya. Sosoknya dihormati bukan saja di dunia media, di bidang
hukum, pun dipandang tokoh yang dapat memberikan ide dan solusi. Dialah Karni
Ilyas.
Kompetensi
dalam bidang jurnalis mulanya diperoleh dari hobi dan pengalaman menulis ketika
menjadi siswa, sedangkan kompetensi hukum diperolehnya dari dunia kampus.
Kolaborasi antara dua ilmu ini pernah mengantarkannya menjadi ‘ahli’
berita-berita hukum di majalah Tempo. Julukan Jabrik Cakum (Penanggung Jawab
Catatan Hukum) digenggamnya, posisi prestisius sekaligus posisi menantang
karena riskan menghadapi teror dan intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan.
Apalagi berbicara tentang hukum –hal mendasar yang dapat men-judge orang- baik benar ataupun salah,
penuh dengan risiko. Namun tantangan itu justru mengantarnya menjadi populer di
kalangan elite dan masyarakat.
Goenawan
Mohamad dalam testimoninya di buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni
Ilyas Lahir untuk Berita” mengatakan: ”Orangnya
cerdas. Saya kira dia banyak mendidik wartawan di Tempo, sehingga mengerti permasalahan-permasalahan
seputar hukum.”, secara implisit menggambarkan sosok Karni sebagai pendidik
dan pemberi contoh yang baik. Julukan News
Hunter dengan metode walk the walk tidak
saja menginspirasi jurnalis lainnya, bahkan telah menjadi dasar kerja kebanyakan
media mendapatkan berita yang tajam dan hangat.
Buku
berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” menceritakan
sepak terjang Karni dari tanah lahir menuju tanah rantau, dari oplah koran
menjadi bos koran. Buku ini mengungkapkan, keberhasilan Karni di dunia media
didasarkan pada ekspektasinya “ingin terkenal.” Motivasi sederhana yang
bernilai wibawa. Motivasi inilah yang terus dipelihara sejak duduk di bangku
SMEA hingga menjadi wartawan profesional.
Buku
yang ditulis oleh Fenty Effendy ini, menggunakan bahasa ringan namun padat.
Dari kalimat-kalimat yang tertuang, kita bisa menebak bahwa si Penulis adalah
jurnalis. Buku ini akrab dengan bahasa media, membuat renyah dibaca.
Perjalanan Karni
Lahir
di Balingka, Sumatera Barat pada Kamis, 25 September 1952, adalah momen yang
kurang sesuai diharapkan oleh setiap pasangan suami-isteri termasuk Ilyas Sutan
Nagari dan Syamsinar -pasangan yang melahirkan seorang yang akan menjadi
terkenal berkat berita-berita tajamnya, yaitu Sukarni Ilyas- pada saat
pemberontakan PRRI pecah di daerah-daerah termasuk Sumatera Barat.
Derita
dan pahit hidup sudah dirasakan Sukarni sejak kecil. Pada waktu SD, Sukarni
harus menjadi anak piatu karena wafat dini ibunya. Setiap hari dia ke toko
jahit tempat ayahnya bekerja karena merasa kesepian di rumah.
Tamat
SD, Karni melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri V (jalan Jendral Soedirman
sekarang). Ketika SMP dia sering bergaul dengan para kuli, sopir angkot dan tukang
parkir. Pada masa-masa itu, dia sudah mulai mandiri dan bekerja sebagai oplah koran.
Ia menjajakannya di sekitar terminal angkutan umum Goan Hoat.
Awal
tahun 1968, Karni melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) 1 Padang.
Ketika itu, pekerjaan pengecer koran dia tinggalkan karena menguras waktu,
sementara untungnya pas-pasan. Jadilah ia hanya mendagangkan rokok. Pernah suatu hari, usaha ayahnya sedang
bermasalah dan hidup Karni jadi nomaden. Ia pernah tinggal di rumah Upiak dan
Fahmi, teman sekolahnya.
Karni
pernah terancam tidak bisa ikut ujian akhir karena tidak punya biaya membayar
biaya ujian. Namun temannya, Fahmi membantunya dengan menggadai sepeda Mukhlis,
ke tempat penggadaian sepeda. Akhirnya dengan uang itu, Karni bisa ikut ujian
akhir dan mendapat nilai paling tinggi untuk mata pelajaran Aljabar (sekarang
Matematika).
Pada
dasarnya, kecintaan Karni terhadap dunia jurnalis sudah diperlihatkan ketika
duduk di bangku kelas 1 SMEA. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Haluan, harian di Sumatera Barat.
Tahun
1971, setelah mengantungi ijazah SMEA, Karni berangkat ke Jakarta menaiki kapal
mengarungi samudera. Sesampainya di Jakarta, Karni kuliah di Perguruan Tinggi
Publisistik (STP) (sekarang Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik) yang
terletak di lalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Semasa kuliah, Karni bekerja
menjadi wartawan di media Suara Karya. Karena kesibukannya itu, baru duduk di
tingkat dua, dia meninggalkan STP. Tahun 1975, Karni mendaftar di Fakultas
Hukum UI karena tertarik pada dunia hukum. Karni menamatkan studi sarjananya
selama 9 tahun. Gelar S.H. disematkan di belakang namanya.
Setelah
enam setengah tahun bekerja di Suara Karya, ia pindah ke Tempo dan Majalah Forum.
Lalu Karni pindah lagi ke dunia pertelevisian. Pertama masuk ke SCTV lalu ANTV.
Terakhir, perjalanan karir Karni sebagai pemburu berita (News Hunter), berakhir di TV One, sebagai Pimpinan Redaksi.
Nilai Sari Karni
Ketegasan
adalah warnanya. Integritas dan profesionalitas adalah nilai yang dipegangnya.
Tawaran-tawaran lebih menggiurkan tak menggoyangkan konsistensinya pada satu
bidang. Itulah Karni Ilyas. Loyalitas pada profesinya memang mengorbankan
banyak hal termasuk keluarga. Namun Karni memiliki Isteri (Yuli, juga seorang
Minang) yang bijak dan tiga anak yang tangguh, sehingga keluarga selalu mendukung
pekerjaan Karni.
Setiap
media yang dimasuki Karni, selalu berkembang. Di Tempo dia menjadi Jabrik Cakum
dan setiap berita hukum yang dikeluarkan Tempo, melalui karya Karni selalu
menjadi sorotan. Di Majalah Forum, Karni
juga sukses mengembangkan majalah Forum sebagai
Pimpinan Redaksi. Pindah ke SCTV sebagai Pemred, Karni juga sukses membawa acara
Liputan 6 menjadi Program Berita Terfavorit tiga kali beruntun memperoleh
penghargaan Panasonic Award.
Hengkannya
Henry Pribadi (Pemilik SCTV ketika Karni bekerja di SCTV) digantikan
kakak-beradik Eddy dan Fofo Sariatmadja, membuat Karni juga memilih keluar dari
SCTV. Kesetiakawanan dan empati Karni terhadap hengkangnya Henry, ternyata
membuatnya mesti pindah ruang kantor. ANTV pun menjadi pelabuhan selanjutnya.
Di
ANTV, Karni juga berhasil memprogreskan stasiun TV yang tayang perdana tanggal
1 Januari 1993 ini. Pada 10 November
2005 berita Topik Pagi yang dipimpin Karni, menyiarkan lengkap dan eksklusif
penangkapan teroris Dr. Azahari beserta dua teroris lainnya. Seketika rating
ANTV naik waktu itu dan menjadi soroton. Setelah diamati lebih lanjut, Karni
Ilyas adalah Pimpinan Redaksinya yang baru (hlm. 335). Tahun 2007, Karni Ilyas
bergeser ke TV ONE (sama-sama satu pemilik dengan ANTV) menjabat sebagai
direktur pemberitaan. Di stasiun ini pula dia sering muncul di televisi lewat
acara Indonesia Lawyer Club (ILC).
Dengan
loyalitas yang tinggi pada profesi, pemahaman yang baik tentang hukum dan
kejujuran yang selalu dipegang teguh, Megawati Soekarno Putri pernah menawarkan
jabatan strategis dan prestisius padanya, yaitu Jaksa Agung dalam kabinet
Gotong Royong. Dia ditawari oleh Megawati Soekarno Putri, namun Karni menolak
karena tidak ada cita-citanya menjadi Jaksa Agung (hlm.327). Alasan yang
sedikit konyol itu semakin menunjukkan konsistensi dan integritasnya pada dunia
berita.
Wartawan yang mendidik
Barangkali
tidak banyak Pemred ataupun wartawan senior yang bisa mendidik wartawan junior.
Dari irisan yang sedikit itu, Karni ada di dalamnya. Meski cenderung otoriter
dan penuh tekanan, namun didikan Karni tentang dunia wartawan efektif. “Saya belum pernah menemukan orang yang
se-passionate dia. Yang namanya bos biasanya hanya memberi instruksi saja.
Namun Pak Karni itu ‘walk the walk’. Dia tahu apa yang dikatakannya, mengerti
apa yang diperintahkannya karena itu pula yang pernah dilakukannya.
Kemarahannya cuma satu, kalau kami gagal menjalankan kerja sebagai jurnalis.”
: kata Alfito Deannova (hlm.324).
Karni
juga menganggap bahwa wartawan adalah aset bagi perusahaan media. “Kantor berita bukan seperti pabrik yang
asetnya adalah mesin dan operator. Harta yang paling berharga bagi kantor
berita adalah sumber daya manusianya (Intangible Asset”): kata Karni Ilyas
(hlm.323). Karni mengaggap bahwa wartawan baru perlu dididik profesional. Oleh
karena itu, selain memiliki jiwa profesionalitas yang baik, ia juga memiliki
jiwa kepemimpinan yang baik.
Menanti Karni yang baru
Konon,
kata ‘Su’ telah dibuang dari nama lahirnya (Sukarni) di KM Batanghari,
disaksikan Selat Sunda suatu malam di bulan Desember 1971. Tetapi bukan berarti
Karni melupakan tanah lahirnya. Pembangunan Bandara Minangkabau di Padang
termasuk andil Karni. Mungkin, memenggal nama dan menghilangkannya sebagian
adalah bagian transformasinya. Karena hakikatnya, proses transformasi seseorang
berbeda-beda.
Kini,
Karni Ilyas telah setangguh Mochtar Lubis (wartawan pendiri media Indonesia
Raya yang pernah dibrendel oleh rezim orde lama dan orde baru. Lahir di Padang
7 Maret 1922). Barangkali juga sehebat George Will di Amerika. (Ia dijuluki The Most Powerful Journalist in America
versi Wall Street).
Buku
berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” patut
dikonsumsi bukan saja bagi para jurnalis, tetapi juga bagi masyarakat umum.
Buku yang ditulis Fenty Effendy ini menguak tentang keluh dan pilu Karni
sebagai anak manusia dalam menggapai cita-cita. Di dalam buku 396 halaman Ini,
digambarkan juga bagaimana sepenggal sejarah demokrasi pers dan beberapa scene perjuangan reformasi 1998.
Fenty
Effendy telah berhasil meracik pengalaman Karni dengan kalimat yang
menyederhana, sehingga tidak ada warna eksklusif untuk menikmati buku ini. Tak
bisa disangkal lagi kepiawaian Fenty dalam menggambarkan perjalanan tokoh-tokoh
popular dan menuangkannya sebagai buku biografi.
IDENTITAS BUKU:
Judul : 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni
Ilyas, Lahir untuk Berita
Penulis : Fenty Effendy
Penerbit : Buku Kompas (PT Kompas Nusantara)
Tahun :
2012
Kota : Jakarta
ISBN : 978-979-709-671-7
Hlm : xv+396 hlm.
Ukuran : 15,5 cm x 24 cm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.