Semangat, pengharapan, cinta, kerjasama, pantang menyerah dan disiplin
mengalahkan kesakitan dan kesusahan. Proses alamiah yang berlangsung
sudah sejak lama tanpa kita sadari. Sifat-sifat positif di atas menjadi modal
penting seseorang menggenggam masa depannya. Setidaknya ini terjadi pada
anak-anak Bontang, Kalimantan Timur, yang berhasil menjadi juara dalam
kompetisi Marching Band di Istora Senayan. Bukan tidak sedikit hambatan
menghalangi semangat mereka. Namun, proses dan persiapan yang berluka-luka
akhirnya dibayar dengan gelar prestisius yang bukan saja menjadi kebanggaan
mereka, bahkan menjadi inspirasi bagi setiap orang. Kisah nyata ini kembalikan
dimunculkan dalam sebuah film dengan memodifikasi buku Djaumil Aurora yang
sebelumnya telah diterbitkan. Film yang berjudul 12 Menit: Kemenangan untuk
Selamanya ini berhasil menyajikan alur inspiratif bagi para penontonnya.
Suatu kebanggan bagi saya bisa menonton film 12 Menit:
Kemenangan
untuk Selamanya secara langsung dan gratis Senin, 27 Januari 2014.
Saya mendapat tiket gratis dari Kompasiana. Di Cinema XXI saya bertemu dengan
teman kompasianer lainnya yang turut hadir menonton film tersebut, seperti pak
Thamrin Dahlan, ibu Nurfaizah Kalsum, kak Kristiana BR Tarigan, mba Desssy,
dll. Selain itu, masyarakat umum juga banyak menonton film ini, sehingga Cinema
XXI Epicentrum Walk malam itu padat dan sesak. Substansi film ini yang apik, memancing
animo masyarakat menontonnya.
Film yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra ini
menceritakan Rene, pelatih Marching Band
sekolah di Bontang (diperankan oleh Titi Rajo Bintang), membimbing 130 siswa
mengikuti kompetisi Marching Band tingkat
Nasional. Dari 130 siswa tersebut, salah satunya adalah gadis remaja bernama
Elaine Higoshi (diperankan oleh Amanda Sutanto), yang pindah dari Jakarta ke
Bontang, mengikuti karena pindah –tugas Ayahnya. Sempat ‘Jet Leg’ karena
suasana yang berbeda jauh dengan ibukota, Elaine akhirnya berhasil menciptakan
kisah indahnya di Bontang.
Gbr. Elaine memandu Tim MB
Latihan mereka keras dan disiplin. Rene menekankan disiplin
dan kerjasama, dua hal yang perlu dalam kegiatan tim/kelompok. Segudang masalah
hadir dalam proses persiapan menuju kompetisi di Jakarta mulai dari larangan
Ayah Elaine yang tidak membolehkan anaknya bermain MB (namun akhirnya luluh),
si Tomi (pemandu awal yang akhirnya digantikan oleh Elaine) mengalami patah
kaki karena kecelakaan, sampai kematian ayah Lahang ketika mereka akan
bertanding. Meski demikian, 12 menit penampilan mereka telah menebus kesedihan
dan kesakitan yang mereka alami.
Terlepas dari nilai-nilai positif di atas, ada 2 hal yang
membuat film ini hampir anti-klimaks yaitu adegan munculnya Jokowi dan sangat
mencoloknya Dewa, salah satu band Indonesia di film ini. Pertama tentang bagian
munculnya Jokowi ketika adegan pidato membuka kompetisi MB. Berdasarkan
pengalaman saya mengikuti kegiatan skala Nasional seperti ini, seharusnya yang
memberikan sambutan atau pidato adalah presiden/mewakil ataupun
menteri/mewakili. Sementara sosok Jokowi adalah sebagai gubernur DKI Jakarta.
Kalaupun Jokowi memberikan pidato, relevansinya kompetisi dilakukan di Jakarta,
namun mesti diikuti, dengan menampilkan perwakilan dari pemerintah pusat. Dari
fenomena ini muncul skeptik dari masyarakat, merespon adegan yang memunculkan
sosok Jokowi dalam film ini. Apalagi mengingat tahun ini merupakan tahun
sensitif terhadap tokoh-tokoh politik.
Kedua, tentang fenomena band Dewa. Meskipun saya harus akui
bahwa lagu-lagu band Dewa berseni tinggi, namun dalam hal ini out of context. Seharusnya sutradara
bisa memilih lagu wajib nasional atau lagu tradisional yang lebih
berwarganegara dimainkan oleh MB ketimbang lagu band Dewa. Selain itu terlalu
mencoloknya logo Republik Cinta Ahmad Dhani dalam beberapa adegan, membuyarkan
simpati dan fokus penonton. Ketika pesan yang disampaikan oleh film hendak
masuk, seketika langsung pecah ketika muncul simbol-simbol tersebut.
Andai saja dua hal ini tidak terlihat oleh penonton,
barangkali film ini akan sangat sempurna. Selain sarat akan pesan sosial dan
nilai humanitas, film ini juga merupakan satu-satunya film Indonesia yang
menceritakan tentang Marching Band,
kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, sehingga bisa menjadi trade mark ekstrakulikuler bagi siswa. Tentu ini menjadi kritik
bagi pemain dan kru film ini.
Terlepas dari hal tersebut, film ini layak menjadi tontonan
para masyarakat khususnya siswa-siswa penerus bangsa.
NB: Artikel ini menjadi Tranding Topic di Kompasiana pada 28 Januari 2014
kenapa ada dewa?
BalasHapuskarna pada kisah nyatanya, MB PKT pernah mengusung tema tribute to Dewa dalam GPMB..
Yups,itu faktanya....tetapi kenapa, MB PKT Bontang milih lagu dewa, itu sebenarnya yang perlu kita ketahui...:)
Hapustx sudah komentar