Pada suara hujan yang renyah ada alunan tuts-tuts piano yang
mengalun di Institute Goethe, Menteng, Jakarta. Musik klasik instrumen yang
harmonis itu membawa semua mata pada malam yang teduh. Alangkah syaduh
permainan piano Edna Stern. Tangannya yang lunglai menari-nari di atas tuts
piano, layaknya balerina. Tepat jam 8 malam, Sabtu 18 Januari 2014, dari
dataran Menteng Raya, tepatnya di GoetheHaus, dimulai konser tunggal Edna Stern
yang menampilkan alunan musik piano klasik, menghipnotis setiap mata yang
melihatnya, setiap telinga yang mendengarnya.
Di tengah jalanan Ibukota yang dirundung air awan malam,
saya dan teman pergi ke GoetheHaus untuk menonton konser musik klasik tunggal
Edna Stern. Gadis yang memiliki postur tubuh jenjang ini, membawakan musik
klasik instrumental dari komposer-komposer dunia seperti Couperin, Galuppi,
Mozart, Haydn dan Beethoven. Alunannya sangat sempurna. Musik menyatu dengan
dirinya. Hal ini terlihat dari ekspresinya yang alami. Penghayatannya terhadap
nada-nada yang mengalir dan dapat dirasakan semua penonton, “Dari
Rasa Sampai Ke Rasa”. Meski saya pribadi tidak terlalu memahami musik
instrumental secara komprehensif, namun Edna berhasil menyampaikan
pertunjukkannya tanpa mesti dimengerti, “Kadang, sesuatu itu tak mesti dimengerti,
termasuk nada dan irama”.
Run down acara
pementasan, terdiri dari tiga tahapan yaitu penampilan I kemudian rehat. Lalu
diteruskan dengan penampilan II. Pada penampilan pertama berlangsung sekitar 45
menit. Edna memainkan musik instrumental Couperin sebagai pembuka pementasan
dilanjutkan dengan musik instrumental Galuppi dan Mozart. Setelah itu, tepuk
tangan mengalir deras, Edna beranjak dari kursi kayu itu dan meninggalkan
panggung selama 10 menit untuk break
sejenak.
Setelah rehat, Edna melanjutkan penampilan II, masih dengan
gaun sederhana berwarna kelabu tua. Untuk dekorasi panggung tidak ada yang
mencolok. Hanya sebuah piano dan kursi tempat bersandar pianis dunia itu. Dalam
penampilan II ini, pengajar Royal College of Music London sejak tahun 2009 ini
memainkan musik instrumental dari Haydn dan Beethoven. Aksi panggungnya semakin
hot. Tak jarang ekspresi dan gesture
tubuhnya lebih aktif ketimbang penampilan I. Sontak saja penonton tak berkedip melihat peformanya
di atas panggung.penampilan II berlangsung sekitar 1 jam.
Dengan total durasi 2 jam, seoalh masih kurang. Meski
pertunjukkan telah selesai namun penonton enggan meninggalkan ruang
pertunjukkan institute Goethe itu. Seakan mereka menginginkan wanita manis dan
ramping itu, tetap di kursinya, memainkan tuts-tuts dari piano hitam itu. Namun
apa daya, Edna mesti meninggalkan panggung dan mengucapkan salam kepada para
penonton.
Saya sempat merekam nada-nada yang dihasilkan dari tangan
Edna. Lalu saya bandingkan dengan instrumen aslinya. Luar biasa! Hampir semua
musik klasik instrumen yang dimainkan Edna, persis dengan yang dimainkan oleh
para komposer dunia tersebut. Kalaupun ada yang berbeda, itu karena dimodifkasi
sehingga nada yang dihasilkan lebih terdengar indah. Kalau didengar dengan
seksama, nada-nada yang dihasilkan oleh para komposer Mozart, Beethoven, Haydn,
Galuppi dan Couperin, adalah kumpulan nada yang rumit. bahkan birama dari nada
musik klasik instrumental sangat rapat. Dan Edna memainkannya dengan sangat
sempurna. Pantas saja dia sering memenangkan banyak kompetisi Internasional
seperti Concertgebouw di Amsterdam dan Festival de la Roque d’Antheron di
Paris.
Selama ini saya memang sering mendengar musik instrumen
klasik di mp3, namun baru kali ini bisa menyaksikan secara langsung seorang
pianis memainkannya. Dan meski tidak dimainkan oleh musisi aslinya, namun saya
bisa merasakan bahwa musik klasik instrument tersebut bisa mempengaruhi irama
jantung.
Sejak umur 6 tahun Edna Stern telah menunjukkan bakatnya
bermain piano. Wanita yang lahir 6 Maret 1977 ini berkuliah di Akademi Tel
Aviv, dia dilatih oleh professor Viktor Derevianko yang juga seorang pianis
handal. Sudah barang tentu, pengenalannya dengan piano sejak kecil dan fokus
hingga mengambil jurusan piano, Edna tumbuh menjadi wanita yang bukan saja
sweet women, namun juga seorang pianis terkenal.
Pencapaiannya Edna saat ini pada dasarnya tidak terlepas
dari dukungan keluarga. Pola pikir masyarakat Eropa memang pada dasarnya sudah
maju. Atas dasar ini, tidak ada hambatan yang berarti dari seorang Edna untuk
menjadi orang populis. Hanya saja di Indonesia, masih banyak keluarga yang
melihat bakat seorang anak khususnya dalam bidang seni masih skeptik. Pola
pikir yang sempit membatasi seorang anak mengembangkan diri mereka hingga
menjadi ahli menjadi seniman. Pada dasarnya alasan yang sering mengemuka mengapa
banyak hambatan bagi seorang anak mengembangkan bakat seninya adalah tentang
kesejahteraan hidup. Menjadi seniman di Indonesia masih dianggap sebagai
profesi yang kurang mencerahkan.
Artikel ini menjadi HEADLINE di Kompasiana dan bisa dibaca juga disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.