Salomon Northup
Bagaimana kalau kita, seorang suami dengan kehidupan yang
berkecukupan, memiliki pengakuan di lingkungan, memiliki isteri dan bocah
laki-laki yang gagah, lalu besoknya seperti mimpi, tiba-tiba kita menjadi
seorang budak dan menjalani penyiksaan selama 12 tahun? Barangkali ada yang
depresi, kaget batin, atau menjadi gila apalagi dengan kondisi disiksa,
ditekan, dan dieksploitasi seperti tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
Inilah yang coba ditawarkan oleh Brad Pitt, sang produser dalam film berjudul 12 Years a Slave. Selain mencoba
menampilkan sisi historis, kekejaman politik Rasis yang pernah ada di abad
ke-19, Brad Pitt juga menampilkan psikis terendah dari manusia, yaitu psikis
merasakan revolusi status kemanusiaan yang mengerikan.
Film yang berdurasi
2 jam lebih ini, diangkat dari kisah
nyata, seorang kulit hitam yang pernah diculik untuk dijadikan budak lalu
berhasil lepas dari perbudakan kulit putih. Ketika masa perbudakan di Amerika,
banyak para kulit hitam berhasil melarikan diri. Setelah itu mereka mengabadikan
kisah mereka dalam tulisan dan aktif memberi ceramah kepada masyarakat tentang
kejamnya perbudakan dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Ini yang
dilakukan oleh Salomon Northup. Setelah berhasil lepas dari belenggu
perbudakan, dia aktif mengkampanyekan penghapusan perbudakan di Amerika
Serikat. Kisah nyata ini kembali diangkat ke dalam film. Kamar produksi yang
menyajikannya adalah Fox Picture dengan kuantitas pemain pendukung yang lumayan
banyak.
Setting tempat film ini lebih banyak berlokasi di perkebunan
Amerika Serikat bagian selatan. Memang secara historis, praktek perbudakan
lebih banyak terjadi di Amerika Serikat Selatan. Sementara, sutradara Steve
McQueen, berhasil memberikan alur yang lebih unik dibandingkan film se-genrenya,
Jango (salah satu nominasi film terbaik Piala Oscar 2013). Sisi keunikannya
adalah, permainan alur yang relevan, membuat para penonton memberikan respon
dengan kata “o…ternyata begini toh”.
Respon inilah yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan sang sutradara.
Lalu untuk setting waktu terjadi pada awal hingga pertengahan abad ke-19,
merupakan masa puncak perbudakan di Amerika Serikat.
Secara umum, alur film bercerita tentang Salomon Northup
(diperankan oleh Chiwetel Ejiofor) yang hidup di Saratoga, New York bersama
isterinya Anne Northup (diperankan oleh Kelsey Scott) dan anak laki-lakinya
Alonzo Northup (diperankan oleh Cameron Zeigler) dengan bahagia. Di New York,
meski berstatus negro, mereka mendapatkan pengakuan baik dari masyarakat.
Salomon adalah pemain alat musik biola dan sering dipanggil untuk mengiring
pesta-pesta ataupun jenis hajatan yang membutuhkan alunan musik. Permainan
biolanya apik, indah dan menghibur para pendengarnya. Namun, bakatnya ini pula
yang membawanya ke dalam dunia yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya, yaitu
menjadi budak.
Ada dua orang bernama Brown (diperankan oleh Scot McNairy)
dan Hamilton (diperankan oleh Taram Killam), telah menipu dan menculik Salomon.
Dengan modus menawarkan kerjasama menjadi pemusik di acara sirkus mereka,
Salomon dijebak dan dijual kepada makelar budak di Amerika Serikat bagian
selatan. Sadar-sadar, Salomon telah berada di penjara dengan kondisi yang
berbeda 180 derajat dengan kondisi malam sebelumnya yang masih memakai mantel
dan baju kain halus. Batinnya shock
dan kekagetannya mengalahkan air mata yang keluar dari kelopaknya. Inilah awal
perjalanannya selama 12 tahun menjadi budak.
Semasa menjadi budak, Salomon harus berpindah-pindah tempat
dikarenakan Salomon sering dijual belikan layaknya seekor hewan. Beda tuan beda
penyiksaan. Namun yang namanya penjajahan, penyiksaan dan perbudakan adalah
sakit. Kesakitan-kesakitan terus dialami oleh Salomon. Penghinaan, cambuk dan
pemukulan adalah hadiah yang paling sering diterimanya sebagai budak. Cukup
lama, dia tidak percaya kalau dirinya adalah seorang budak. Beberapa kali dia
coba melarikan diri, namun gagal. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang laki-laki
pekerja kulit putih yang sedang bekerja membangun rumah kecil di perkebunan
tuan Epps, bernama Bass (diperankan oleh Brad Pitt. Selain menjadi produser, Pitt
juga ikut bermain walau di sedikit adegan ujung film). Salomon meminta kepada
Bass agar memberitahu rekan-rekannya di Saratoga, New York, menjemputnya dari
perbudakan yang mengerikan itu. Akhirnya Bass pun melaporkan pesan tersebut.
Salomon akhirnya lepas dari perbudakan biadab dan bisa kembali bertemu dengan
keluarganya sejak 12 tahun berpisah. Hidup dalam lingkaran perbudakan, telah
menjadi mimpi panjang Salomon.
Terdapat aroma akrab film 12 Years a Slave dengan sejarah kebengisan
bangsa Eropa yang diperoleh. Pada mulanya, budak keturunan negro yang ada di
Amerika Serikat berasal dari benua hitam Afrika. Sejak abad ke 14, bangsa Eropa
yang hijrah ke wilayah Amerika Serikat, mulai melihat kawasan ini layak
dijadikan industri dan perkebunan, bagian amerika serikat utara (termasuk
sebagian Kanada), menjadi kawasan
Industri sementara kawasan Amerika Serikat Selatan menjadi perkebunan. Hanya
saja untuk membuat perkebunan, dibutuhkan SDM yang banyak, murah dan tangguh.
Saat itu masyarakat yang mendiami Amerika adalah masyarakat Indian, sehingga
bangsa Indian, sempat menjadi budak untuk perkebunan bangsa Eropa. Namun,
bangsa Indian adalah bangsa yang berani melawan bangsa Eropa dengan prinsip
kemerdekaan dan kebebasan. Seiring waktu berjalan, akhirnya Bangsa Eropa yang telah
banyak migran dari Eropa ke Amerika, mencari alternatif bangsa yang lebih
‘jinak’ dan bisa dipaksa bekerja. Kemudian dengan menggunakan metode yang
pernah diterapkan oleh Firaun di zaman sebelum masehi, bangsa Eropa, mengangkut
orang-orang Afrika ke Amerika untuk dijadikan budak. Dengan cara “Triangular
Trade”, perputaran ekonomi di Eropa semakin membaik.
Para Eropa jahiliah tidak mengalami masalah dengan proses
pengangkutan, karena pada dasarnya, Eropa juga telah menjajah dan menguasai
Afrika. Apalagi orang-orang Afrika, tidak melakukan pemberontakan yang frontal.
Bisa dikatakan pembodohan sengaja yang dilakukan bangsa Eropa kepada masyarakat
Afrika, dapat dikatakan sukses. Alhasil, pola pikir masyarakat Afrika saat itu,
sangat rendah. Hal inilah yang memudahkan bangsa Eropa menjadikan bangsa Afrika
menjadi budak di Amerika. Namun berbeda dengan Salomon, dia adalah keturunan
Afrika yang memiliki wawasan baik karena mendapat pendidikan layak. Meski,
harga diri dan semua materinya hilang sekejap, ketika menjadi budak tetapi dia
masih memiliki intelektual, yang akhirnya menyelamatkannya dari perbudakan itu.
Apakah pahala
tertinggi di dunia? “Kasihanilah Tuhanmu dan sesamamu” Dan sebaliknya yang
menjadi dosa tertinggi adalah “Perbudakan, Penjajahan dan Penyiksaan sesamamu”.
Jadi, jika kita masih menjajah dan menyiksa sesama, lalu memninta pahala besar,
saya ragu kita mampu menuju tempat yang indah.
Apalagi yang berharga
dari sebuah rasa kemanusiaan, karena PANCASILA pun telah memateraikannya
menjadi impian bangsa kita, dalam sila “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB” serta
kalimat sederhana Gandhi yang tidak akan pernah usang, “My Nationalism is Humanity”.
LALU BAGAIMANA DENGAN
KITA?
Artikel ini menjadi HEADLINE di KOMPASIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.