Sejak belajar sejarah Indonesia
ketika duduk di bangku SMP sampai sekarang, rasa-rasanya pilu hati ini melihat
kondisi Indonesia di penghujung tahun 2013. Betapa tidak, sedari zaman kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya, superior Nusantara sangat progresif. Negara-negara
yang kita anggap sebagai negara tetangga, seperti Papua Nugini, Brunei Darusalam,
Singapura dan sebagian kawasan negara Malaysia, dulunya merupakan bagian dari
Nusantara. Belum lagi, di masa orde lama, betapa gagahnya negara kita di mata
dunia dan PBB. Negara yang baru merdeka, mencoba menguasai dunia. Itulah visi
di zaman orde lama. Soekarno dengan frontal menarik simpati Asia-Afrika
sehingga ingin menggagas badan bentukan setara PBB untuk wilayah Asia-Afrika.
Walaupun sebelum terbentuk, Soekarno harus lengser dan mangkat duluan. Sementara dewasa ini, kredit superior hanya
tinggal abu kenangan. Kisah Indonesia sebagai negara Nusantara yang superior
pun kandas. Lalu, bisakah sejarah tersebut terulang?
Saat ini kita membutuhkan Indonesia
baru dengan semangat Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Indonesia baru itu bukan Indonesia yang berlindung di payung neoliberalisme.
Indonesia baru itu adalah Indonesia yang bangun dari tidur karena Indonesia
punya historis besar, punya segalanya yang membuat Indonesia seharusnya menjadi
lebih baik dari sekarang. Kontradiktif sketsa Nusantara saat ini dibandingkan
dengan wajah Indonesia silam, menimbulkan fakta bahwa Indonesia sedang
terbaring sakit. Oleh karena itu, jalan menuju Indoneia Baru yang lebih baik
adalah membangkitkan kembali superior Nusantara seperti yang pernah ada dahulu.
Menilik sejarah perjalanan kerajaan
Sriwajaya yang menguasai Nusantara merupakan salah satu bukti tentang superior
Nusantara. Sriwijaya berperan penting dalam perdagangan Asia pada zaman pertengahan, selama lebih 500
tahun (Wolters, O.W., 1965:1). Sriwijaya bahkan menjadi pusat perdagangan. Pada
tahun 775 M, setiap penguasa Sriwijaya disebut sebagai “Raja yang Dipertuan dari
Sriwijaya”, konon merupakan raja tertinggi di atas semua raja yang ada
di bumi. Kerajaan beraliran Buddha ini begitu superiornya di waktu zaman
pertengahan milenium pertama. Sementara, realitas Indonesia sekarang sebaliknya,
justru menjadi pusat tong sampah konsumerisme dan menjadi pasar negara-negara trade center.
Setelah Sriwijaya rapuh dan
pengaruhnya pudar, kembali muncul kerajaan Majapahit yang pada puncaknya
menyebut Nusantara sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Bahkan Gajah Mada yang
merupakan mahapatih Majapahit, memproklamasikan Sumpah Palapa, bukan sembarang
sumpah karena merupakan tekad dan impian untuk menyatukan seluruh kerajaan yang
ada di kawasan Malaka dan sebagian negara timur (Asia Tenggara sekarang).
Impian ini bukan tanpa alasan, karena memang pada saat itu kejayaan Majapahit
sangat luas dan hebat. Berkaca dari superior Majapahit, apakah Indonesia bisa
mendulang seperti itu?
Begitu banyak catatan sejarah yang menampilkan
superior Indonesia meskipun kini garuda sudah rapuh dan tak gagah lagi.
Putar-balik kondisi bangsa yang sekrang ini lebih disebabkan pada ketiadaan
kebijakan-kebijakan yang berdasarkan pondasi dan ideologi bangsa. Kebijakan
pemerintah sekarang terlalu sarat kepentingan dan bersifat temporer. Oleh
karena itu tidak salah jika kalmat “ganti
pemimpin ganti kebijakan” bukan sekedar guyonan melainkan telah menjadi
karakter setiap pemimpin negara kita. Padahal jika ingin menciptakan negara
yang maju dan beradab, mesti berkelanjutan bukan terpatah-patah, seperti yang
terjadi di Indonesia beberapa dekade terakhir khususnya pasca reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.