"Ada masa untuk
tinggal diam dan masa untuk berbicara."
Gbr. 1 Cover film (sumber: ganool.com)
Pada
tahun 482 SM di zaman kerajaan Persia, sejarah mencatat ada seorang wanita
bernama Hadasa keturunan Yahudi suku Benyamin, salah satu dari kedua belas anak
Yakub, memiliki hati seputih salju Everest, seindah bunga Sakura di musim semi,
seindah kepakan sayap Falcon, dan sekental sintal madu yang jatuh dari
kerumunan tawon. Seorang wanita yatim-piatu yang diasuh oleh Mordecai, paman
sekaligus gurunya, akhirnya diangkat menjadi Ratu Persia, mendampingi Raja
Xerxes memerintah Persia. Hasada yang akhirnya berubah nama menjadi Esther
(karena nama Hadasa terlalu kental dengan anyir Yahudi, sehingga Mordecai
mengganti namanya), pada akhirnya berhasil menyelamatkan Bangsa Yahudi dari
fitnah yang dilakukan Haman. Konflik ini menjadi puncak adegan yang tersaji
dalam film yang berudul The Book of Esther.
Film
ini diproduksi oleh Pure Flix Production (PFP), salah satu perusahaan produksi
film yang bermarkas di Arizona, US. PFP sering memproduksi film-film yang
berbau tentang kekristenan. Dan salah satu film kristen yang diproduksinya
adalah The Book of Esther, yang diadopsi dari kitab Ester dan dirilis tanggal
11 Juni 2013.
Tidak
banyak adegan dan plot yang lari dari kitab Ester. Hanya barangkali yang
membuat film sederhana ini menjadi lebih interested adalah karakter Esther yang
kuat. Selain sosoknya yang representatif menggambarkan keindahan Esther seperti
deskripsi dalam Bible, di film ini Esther (diperankan oleh Jen Lilley) telah
berhasil menunjukkan kehebatan lakonnya.
Jika
melihat tata artistiknya, film ini hampir mirip dengan teater di atas panggung.
Setting film ini memang sangat terbatas, yaitu di dalam sebuah istana. Tidak
ada adegan perang seperti film-film aksi kerajaan pada umumnya seperti sabetan
pedang, pembunuhan massal dan ledakan-ledakan meriam. Setiap dialog wajah aktor
selalu di close up, sehingga tampak
jelas mimik dan ekspresi aktor ketika melakukan dialog.
Untuk
inti jalan ceritanya sendiri, tidak ada perubahan sudut pandang yang dilakukan
oleh sutradara (David A.R. White, seorang aktor kawakan yang pernah membintangi
film Mercy Streets) dengan yang ada di bible. Namun paling tidak film yang
berdurasi sekitar satu setengah jam ini kembali mengingatkan kita kalau dibalik
seorang raja pasti ada ratu, di balik keperkasaan pria, ada kelembutan seorang
wanita.
Dalam
adegan puncak, kepiawaian Esther untuk mempengaruhi Raja Xerxes, suaminya
(diperankan oleh Joel Smallbone) untuk membatalkan pembunuhan massal bangsa
Yahudi di Persia. Haman (diperankan oleh Thaao Penghlis) telah berhasil
mempengaruhi Xerxes kalau Mordecai dan bangsa Yahudi lainnya telah berkhianat
pada Raja Xerxes karena mereka memiliki raja lain, yaitu Sang Pecipta. Atas
dasar itu, Haman melakukan propaganda yang mengarahkan tuduhan dan fitnah atas
dosa pengkhianatan itu dan Haman meminta Xerxes membunuh semua bangsa Yahudi.
Tetapi, karena Ester adalah wanita yang cantik dan terberkati, emosi Xerxes pun
tak bisa menolak ratu indahnya itu untuk tidak membantai Yahudi. Akhirnya,
yahudi selamat dan Haman dihukum mati karena telah memfitnah Mordecai.
Bisa dibaca juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.