Buat: Inggit Garnasih
Jumat, 20 Desember 2013, saya
bersama rekan-rekan PP GMKI mendapat undangan dari Bang Maruarar Sirait,
politisi PDIP untuk menonton Film Soekarno. Selain dari GMKI, beberapa rekan
OKP juga ikut dalam acara nonton bareng di XXI Plaza Senayan. Gedung yang
sangat Lux itu menjadi tujuan hiburan orang-orang gedongan. Itu terlihat dari
style visitor gedung elegan tersebut. Selain mendapat tiket gratis menonton
Film Soekarno, kami juga mendapat kupon snack. Kami masuk ke studio 3 tepat
ketika film dimulai. Diawali dengan menyanyikan Indonesia Raya, lalu cerita
tentang Soekarno dimulai. Para penonton serius menyaksikan film sejarah
tersebu. Film diakhiri dengan scene pembacaan teks proklamasi dengan suara asli
Soekarno.
Kalau mau jujur, tidak ada kejutan
yang berarti ketika menonton film Soekarno, disebabkan karena saya sering
mengkonsumsi bacaan tentang Soekarno. Pendapat yang sama juga terlontar dari
rekan-rekan lainnya setelah saya tanya pada beberapa mereka tentang film memoar
Soekarno tersebut. Film Soekarno juga tidak terlalu banyak menampilkan nilai-nilai
perjuangan. Bahkan menurut perspektif saya, sudut pandang film ini lebih
didominasi sudut pandang kehidupan pribadi dan asmara Soekarno sendiri.
Keinginan produser (Ram Pujambi) dan suradara (Hanum B.) sepertinya lebih
bermuara ke tujuan entertain ketimbang merangsang semangat revolusioner dan
perjuangan bagi para penonton. Sah-sah saja memang, apalagi industri film memang
selalu berorientasi pada profit dewasa ini. Hanya saja, amat disayangkan jika
tapak tilas Bung Karno hanya dibuat menjadi bahan hiburan ketimbang membangkitkan
kembali nilai perjuangan. Padahal media film (visual) sangat efektif menanamkan
paradigma seseorang. Oleh karena itu, jika film soekarno bisa menampilkan
hal-hal yang lebih segar dan tetap memperhatikan nilai perjuangannya, maka film
ini bisa meningkatkan rasa nasionalisme bangsa secara efektif bahkan dapat
digunakan menjadi rekomendasi pembelajaran bagi para pelajar kita untuk
ditonton.
Selain penonjolan nilai entertainnya
sehingga menumpulkan semangat perjuangan, film ini juga mendapat kritik dari
keluarga Soekarno. Paling tidak ketika bertanya pada Produser film ini- ikut
juga menonton dan mendampingi Maruarar Sirait- menyatakan bahwa ada dua hal
utama yang dikritik oleh keluarga Soekarno. Pertama,
pihak keluarga Soekarno mengatakan bahwa Soekarno tidak pernah dipukul oleh
tentara Jepang apalagi yang melakukannya hanya tentara biasa. Sementara di film
itu, Soekarno dipukul oleh tentara kroco ketika hendak menolong keturunan Tionghoa.
Kedua, Soekarno tidak pernah melihat
para wanita pribumi melayani nafsu bejat tentara dan palnglima Jepang di kantor
pemerintahan Jepang. Sementara di film itu menmapilkan kalau Soekarno sering
melihat kelakuan tentara dan panglima Jepang memperkosa dan menyiksa para
pribumi khususnya wanita. Terlepas dari semua kritik yang ada, film ini
berhasil menggambarkan ketegaran salah satu isteri Soekarno, yaitu Inggit
Garnasih (Isteri Kedua Soekarno).
Inggit sangat berperan dalam karir
perpolitikan Soekarno. Dalam setiap kesusahannya, Inggit selalu menemani
Soekarno. Bahkan Inggit pulalah yang pernah menyuruh orang untuk mengirim
bacaan dan informasi kepada Soekarno secara rutin di penjara, sehingga meski di
terkungkung di dalam sel, Soekarno tetap bisa mendapatkan nutrisi ide dan
informasi yang sering dituangkannya dalam tulisan. Bahkan dengan bacaan dan
informasi itu, Soekarno berhasil menyusun pidatonya yang berjudul Indonesia
Menggugat. Hanya saja Inggit tak bisa mendampingi Soekarno hingga detik-detik
kemerdekaan Indonesia karena Inggit bercerai ketika Soekarno sedang berada di
puncak karirnya politiknya.
Ibu
yang tak melahirkan
Salahkan
seorang isteri yang tak bisa melahirkan? Tak layakkah seorang isteri yang tak
melahirkan, disebut ibu?
Sontak saja Soekarno senang bukan
kepalang ketika Fatmawati melahirkan anak sekaligus anak perdana yang diberi
nama Guntur Soekarno Putera. Anugerah yang telah dinanti, akhirnya datang bak
mata air di tengah gurun. Setelah menikahi Fatmawati yang berbeda usia cukup
jauh dari Soekarno, akhirnya setelah beberapa bulan Soekarno memiliki keturunan
yang tidak bisa diberikan oleh Inggit. Namun apakah Inggit tidak dapat disebut
seorang ibu?
Dalam film Soekarno, Inggit
ditampakkan sangat sedih ketika Soekarno ternyata menaruh perhatian khusus pada
Fatmawati. Sejak pengasingan mereka ke Bengkulu, sampai dibawa kembali ke Jawa,
Soekarno masih saja memikirkan Fatmawati. Bahkan tidak jarang Soekarno dan
Fatmawati sering berbalas surat. Memang harus diakui, selain berpidato,
Soekarno juga ulung menulis surat. Sampai, surat antara mereka berdua terbaca
oleh Inggit. Awalnya Inggit menolak dan menginterupsi kelakuan Soekarno. Namun
akhirnya, Inggit mengalah dan meminta Soekarno menikahi Fatmawati karena Inggit
tidak bisa memberi keturunan. Soekarno dan Inggit bercerai. Setelah itu
Soekarno menikahi Fatmawati, ibu negara pertama penjahit sang saka merah putih.
Selain menjadi wanita yang mendukung
karir perpolitikan Soekarno, Inggit juga wanita yang ksatria. Meski tak rela
bercerai, namun dia juga tak rela dimadu. Prinsip yang sudah maju di zaman itu,
memaksa dia lebih memilih bercerai dengan Soekarno. Padahal tak tanggung rasa
cintanya pada proklamator itu. Inggit adalah sosok wanita Jawa yang berani
untuk tidak dimadu meski wanita yang lebih tua 13 tahun dari Soekarno itu,
telah menemani Soekarno hampir 20 tahun. Tidak bisa kita bayangkan nasib
kemerdekaan Indonesia, andai saja sang proklamator, Soekarno tidak mendapat
dukungan besar dari Inggit. Bukan melebihkan, namun jika boleh memilih, maka
saya memilih wanita yang lahir tanggal 17 Februari 1888 itu menjadi isteri Soekarno
yang paling berpengaruh pada zaman kemerdekaan.
Inggit Garnasih, mungkin tidak bisa
memberikan keturunan kepada Soekarno, tak bisa mendampingi Soekarno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tak bisa menjahit sang saka merah putih,
dan tak bisa mendampingi kematiannya. Namun Inggit yang mengantarkan Soekarno
menjadi pemimpin bangsa, mempersiapkannya menjadi proklamator. Itu artinya,
Inggit juga telah turut serta mempersipakan kemerdekaan Indonesia meski di
balik layar. Oleh karena itu, meski Inggit tidak bisa menghasilkan keturunan
dari Soekarno, namun Inggit layak disebut ibu Proklamasi. Seorang wanita yang
bukan saja setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka, tetapi juga wanita
yang membisikkan hal-hal yang resolutif kepada Soekarno.
Bisa dibaca di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.