Menonton pemilihan ketua MK rasa-rasanya seperti menonton sinetron yang penuh dengan ngemis-ngemis kasihan dari publik. Padahal seharusnya seorang pejabat dan panglima hukum negara, seharusnya bisa menampilkan sosok yang tangguh meski sedang dirudung masalah internal tentang citra MK dewasa ini.
Polemik Mahkamah Konstitusi (MK) yang terjadi dewasa ini sangat
rumit. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK menurun pasca terungkapnya
‘kelakuan’ ketua hakim mahkamah konstitusi, Akil Mochtar. Dengan kasus ini,
hukum Indonesia berada di ujung pengharapan. Masyarakat yang memburu keadilan
menjadi ragu atas kesakralan hukum kita.
Pemilihan ketua MK yang baru untuk menggantikan Akil segera
dilakukan. Hal ini untuk segera membersihkan citra negatif masyarakat yang
sudah kadung besar karena kasus korupsi Akil yang dibredel oleh KPK. Apalagi
masyarakat sebelumnya telah mempercayakan hukum yang jujur dan bersih pada
pundak MK, dan menempatkan MK sebagai rumah terakhir bagi pemburu keadilan.
Oleh karena itu, untuk memulihkan ini, dapat dimulai dari hasil pemilihan ketua
MK yang baru.
Setelah melewati dua putaran, akhirnya dengan pleno terbuka
yang sudah diselenggarakan hakim konstitusi, terpilihlah Hamdan Zoelva
mengalahkan Arief Hidayat dengan perolehan 5 suara dari total 8 suara hakim
konstitusi. Untuk masa kerja 2 tahun ke depan, Hamdan memiliki tugas dan
tanggung jawab besar selain meneggakkan hukum negara, Hamdan perlu memperbaiki
citra MK.
Hamdan adalah pria kelahiran Bima, NTB dan merupakan hakim
konstitusi termuda dari 7 hakim kosntitusi lainnya (Harjono, Maria Farida
Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Arief Hidayat,
Patrialis Akbar). Pria yang berusia 51 tahun ini kini telah menjabat ketua MK
dan akan memimpin orang-orang yang lebih tua darinya di MK. Secara psikologi,
faktor usia yang lebih muda, sedikit banyaknya akan mempengaruhi kerja Hamdan.
Apalagi budaya timur masih kental dengan adab umur di Indonesia, kecuali Hamdan
telah terbiasa berkerja dan memimpin orang-orang yang lebih tua darinya. Oleh
karena itu, Hamdan harus bisa bijak untuk mengkoordinir hakim-hakim konstitusi
lainnya yang lebih tua dan lebih senior darinya.
Di sisi lain, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sidarto
Danusubroto, pernah mengusulkan usia hakim konstitusi sebaiknya di atas 60
tahun. "Usia itu (60 tahun ke atas),
seseorang sudah selesai dengan urusan keluarganya," (kata dia di
kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta, Rabu, 23 Oktober 2013). Jika
melihat usia Hamdan, artinya Sidarto (atau mungkin juga MPR) tidak setuju kalau
Hamdan menjadi ketua MK.
Terlepas dari banyaknya penolakan yang ada, mau
tidak mau keputusan pleno sah dan harus diterima dengan arif apalagi MK telah
melakukan pemilihan secara terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat umum.
Seharusnya hasil pleno yang transparan itu perlu dihormati dan dikawal bersama-sama
selama 2 tahun ke depan.
SEKARANG KITA AKAN TUNGGU, BAGAIMANA MK DAN HAMDAN KHUSUSNYA BISA KEMBALI MELETAKKAN MK PADA POSISI SAKRALNYA?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.