Bukannya
mendramatisir atau menggugat keberadaan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR/DPRD), namun potret riilnya, DPR/DPRD memang kurang memperhatikan rakyat.
Kalaupun ada sececah perhatian, hanya terlihat pada konstituennya saja. Padahal
sudah barang tentu, angora DPR menjadi representatif rakyat dan dapat menjadi
jembatan aspirasi rakyat. Lebih banyaknya melakukan plesiran dan studi banding ke
luar negeri dibandingkan dengan blusukan ke masyarakat adalah indikasi bahwa
anggota DPR/DPRD memang cuek pada rakyat.
Sudah
menjadi rahasia umum kalau kebanyakan hasrat menjadi anggota DPR/DPRD bukan
dipicu karena ingin mensejahterahkan dan menyelesaikan masalah rakyat.
Suar-sair tentang posisi anggota DPR/DPRD sebagai ‘lahan basa’ justru menadi
motivasi utama banyak orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR/DPRD. Padahal
kalau merunut tanggung jawab dan tupoksinya, menjadi anggota DPR merupakan
pertaruhan nasib rakyat. Kenyataannya, anggota DPR kita selain senang dengan
plesiran, kerjanya juga hanya melakukan rapat. Itupun masih ada saja yang tidak
datang. Kalaupun datang, justru gedung parlemen dijadikan tempat tidur yang
nyaman. Barangkali AC yang nikmat dan sopa yang empuk ditenggarai membuat
anggota DPR kita terlalu nyaman sehingga sering ketiduran ketika sedang rapat.
Asyik ketiduran di kursinya, sebaliknya rakyat menjerit, memangkul derita yang
tak kunjung selesai.
Pasca
ditetapkannya Otonomi Daerah –buah perjuangan reformasi, setiap daerah memiliki
otoritas sendiri untuk mengatur kewenangan di segala sektor yang ada di daerah
tersebut. Namun seiring berjalannya kebijakan ini dirasa kurang efektif jika
tidak dipantau dan diawasi oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu pada 1
Oktober 2004 lahirlah suatu badan perwakilan
negara yang disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berdasarkan pondasi hukum
yang jelas yaitu UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ” Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat,ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Kalau
mau jujur, kebijakan ini terbentuk bukan karena luasnya Nusantara atau
terbatasnya kemampuan anggota DPR/DPRD menjangkau dan mengurusi permasalahatan
rakyat, hanya saja anggota DPR tidak mau repot. Padahal jika koordinasi DPR
pusat dengan DPR-daerah (DPR-D) dapat berjalan baik, maka DPD tidak perlu
dibentuk. Namun, paradigma mubazir di awal pembentukan DPD justru sekarang
dianggap penting bagi kepentingan masyarakat. DPD adalah saluran yang efektif
untuk memperjuangankan nasib rakyat di tingakatan pusat. DPD juga telah
menunjukkan perhatian yang konkrit kepada rakyat.
Pada
dasarnya komposisi anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota MPR.
Setiap provinsi memiliki 4 anggota DPD, sehingga jika dikalkulasikan untuk masa
bakti 2009-2014, jumlah anggota DPD R.I. yang tersebar di tiap-tiap provinsi
(33 provinsi) sebanyak 132. Dengan 4 orang di tiap provinsi dan anggota DPD
mesti bekerja keras sebagai wadah strategi menyampaikan aspirasi rakyat yang
ada di daerah ke tingkatan pusat.
Melihat
kinerja anggota DPD sampai saat ini dirasa cukup baik dan menyentuh sasaran.
Seperti kinerja anggota DPD Kalimantan Barat, pada tahun 2010 telah melakukan
program “Membangun Forum Konsultasi
Publik Masyarakat Perbatasan”. Dengan melibatkan LSM dan masyarakat
setempat, DPD Kalimantan Barat berhasil menghimpun data dan deskripsi
daerah-daerah perbatasan serta mencoba menjawab permasalahan konkrit yang
terjadi di daerah tersebut. Sosialisasi, penelitian dan pembinaan telah mereka
lakukan. Tetapi, keterbatasan anggota DPD untuk memperjuangkan rakyat lebih
lagi melalui legalitas dan aturan pemerintahan masih mentok. Tupoksi anggota
DPD yang terbatas masih belum bisa mendukung anggota DPD untuk menjawabb
permasalahan yang terjadi di daerah.
Contoh
lain dari kinerja anggota DPD Lampung. Ketika konflik Moro-moro, Mesuji,
anggota DPD Lampung aktif memantau dan mengunjungi daerah konflik untuk melihat
situasi yang terjadi. Dari observasi yang dilakukan diperoleh musabab konflik
tersebut. Solusi yang coba ditawarkan oleh anggota DPD adalah perlunya membuat
aturan dan kebijakan untuk menyelsaikan masalah yang ada di daerah. Namun lagi-lagi,
keterbatasan anggota DPD, khususnya dalam penetapan Undang-undang yang
menyangkut rakyat menghambat penuntasan permasalahan di daerah. Anggota DPD
hanya memiliki peran sebagai pemberi usulan dan pengawasan undang-undang saja.
Padahal, jika berbicara keintiman, seharusnya anggota DPD-lah yang lebih
mengetahui kondisi masyarakat secara riil karena mereka telah terjun dan
menyaksikan langsung apa yang terjadi di daerah.
Oleh
karena itu, perlu dilakukannya pengkajian tentang fungsi dan peran anggota DPD.
Kehadiran DPD di tengah masyarakat sangat penting. Bahkan bisa dikatakan lebih
penting dari anggota DPR. Maka, jika menginginkan kondisi masyarakat yang lebih
baik, rasa-rasanya pemerintah perlu mengubah kebijakan tentang peran dan fungsi
anggota DPD sebagai lembaga negara yang straegis dalam upaya meningkatkan
agregasi dan penyampaian kepentingan daerah ke pusat. Dengan begitu, pemerintah
dapat mengetahui apa yang yang terjadi di daerah dan dapat memberikan solusi
atas permasalahan tersebut.
Lebih
lanjut guna meningkatkan keseahteraan rakyat, komposisi anggota lembaga negara
pun perlu ditinjau ulang. Jika peran dan fungsi anggota DPR/DPRD dirasa kurang
efektif, maka kuantitias DPD layak diperbanyak dan mengurangi kuantitas anggota
DPR/DPRD. Atau paling tidak anggota DPD diberi kebebasan peran dan fungsinya
dengan melakukan amandemen UUD 1945 dalam rangka pengoptimalan kinerja anggota
DPD dalam revitalisasi otonomi daerah/desentralisasi yang katanya mengusung
pemerataan kesejahteraan rakyat di tiap-tiap daerah.
bisa dibaca juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.