SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

10.29.2013

Faktanya, DPD lebih merakyat ketimbang DPR

Bukannya mendramatisir atau menggugat keberadaan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD), namun potret riilnya, DPR/DPRD memang kurang memperhatikan rakyat. Kalaupun ada sececah perhatian, hanya terlihat pada konstituennya saja. Padahal sudah barang tentu, angora DPR menjadi representatif rakyat dan dapat menjadi jembatan aspirasi rakyat. Lebih banyaknya melakukan plesiran dan studi banding ke luar negeri dibandingkan dengan blusukan ke masyarakat adalah indikasi bahwa anggota DPR/DPRD memang cuek pada rakyat.


Sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan hasrat menjadi anggota DPR/DPRD bukan dipicu karena ingin mensejahterahkan dan menyelesaikan masalah rakyat. Suar-sair tentang posisi anggota DPR/DPRD sebagai ‘lahan basa’ justru menadi motivasi utama banyak orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR/DPRD. Padahal kalau merunut tanggung jawab dan tupoksinya, menjadi anggota DPR merupakan pertaruhan nasib rakyat. Kenyataannya, anggota DPR kita selain senang dengan plesiran, kerjanya juga hanya melakukan rapat. Itupun masih ada saja yang tidak datang. Kalaupun datang, justru gedung parlemen dijadikan tempat tidur yang nyaman. Barangkali AC yang nikmat dan sopa yang empuk ditenggarai membuat anggota DPR kita terlalu nyaman sehingga sering ketiduran ketika sedang rapat. Asyik ketiduran di kursinya, sebaliknya rakyat menjerit, memangkul derita yang tak kunjung selesai.

Pasca ditetapkannya Otonomi Daerah –buah perjuangan reformasi, setiap daerah memiliki otoritas sendiri untuk mengatur kewenangan di segala sektor yang ada di daerah tersebut. Namun seiring berjalannya kebijakan ini dirasa kurang efektif jika tidak dipantau dan diawasi oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu pada 1 Oktober  2004 lahirlah suatu badan perwakilan negara yang disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berdasarkan pondasi hukum yang jelas yaitu UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ” Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Kalau mau jujur, kebijakan ini terbentuk bukan karena luasnya Nusantara atau terbatasnya kemampuan anggota DPR/DPRD menjangkau dan mengurusi permasalahatan rakyat, hanya saja anggota DPR tidak mau repot. Padahal jika koordinasi DPR pusat dengan DPR-daerah (DPR-D) dapat berjalan baik, maka DPD tidak perlu dibentuk. Namun, paradigma mubazir di awal pembentukan DPD justru sekarang dianggap penting bagi kepentingan masyarakat. DPD adalah saluran yang efektif untuk memperjuangankan nasib rakyat di tingakatan pusat. DPD juga telah menunjukkan perhatian yang konkrit kepada rakyat.

Pada dasarnya komposisi anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota MPR. Setiap provinsi memiliki 4 anggota DPD, sehingga jika dikalkulasikan untuk masa bakti 2009-2014, jumlah anggota DPD R.I. yang tersebar di tiap-tiap provinsi (33 provinsi) sebanyak 132. Dengan 4 orang di tiap provinsi dan anggota DPD mesti bekerja keras sebagai wadah strategi menyampaikan aspirasi rakyat yang ada di daerah ke tingkatan pusat.

Melihat kinerja anggota DPD sampai saat ini dirasa cukup baik dan menyentuh sasaran. Seperti kinerja anggota DPD Kalimantan Barat, pada tahun 2010 telah melakukan program “Membangun Forum Konsultasi  Publik Masyarakat Perbatasan”. Dengan melibatkan LSM dan masyarakat setempat, DPD Kalimantan Barat berhasil menghimpun data dan deskripsi daerah-daerah perbatasan serta mencoba menjawab permasalahan konkrit yang terjadi di daerah tersebut. Sosialisasi, penelitian dan pembinaan telah mereka lakukan. Tetapi, keterbatasan anggota DPD untuk memperjuangkan rakyat lebih lagi melalui legalitas dan aturan pemerintahan masih mentok. Tupoksi anggota DPD yang terbatas masih belum bisa mendukung anggota DPD untuk menjawabb permasalahan yang terjadi di daerah.

Contoh lain dari kinerja anggota DPD Lampung. Ketika konflik Moro-moro, Mesuji, anggota DPD Lampung aktif memantau dan mengunjungi daerah konflik untuk melihat situasi yang terjadi. Dari observasi yang dilakukan diperoleh musabab konflik tersebut. Solusi yang coba ditawarkan oleh anggota DPD adalah perlunya membuat aturan dan kebijakan untuk menyelsaikan masalah yang ada di daerah. Namun lagi-lagi, keterbatasan anggota DPD, khususnya dalam penetapan Undang-undang yang menyangkut rakyat menghambat penuntasan permasalahan di daerah. Anggota DPD hanya memiliki peran sebagai pemberi usulan dan pengawasan undang-undang saja. Padahal, jika berbicara keintiman, seharusnya anggota DPD-lah yang lebih mengetahui kondisi masyarakat secara riil karena mereka telah terjun dan menyaksikan langsung apa yang terjadi di daerah.

Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengkajian tentang fungsi dan peran anggota DPD. Kehadiran DPD di tengah masyarakat sangat penting. Bahkan bisa dikatakan lebih penting dari anggota DPR. Maka, jika menginginkan kondisi masyarakat yang lebih baik, rasa-rasanya pemerintah perlu mengubah kebijakan tentang peran dan fungsi anggota DPD sebagai lembaga negara yang straegis dalam upaya meningkatkan agregasi dan penyampaian kepentingan daerah ke pusat. Dengan begitu, pemerintah dapat mengetahui apa yang yang terjadi di daerah dan dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut.


Lebih lanjut guna meningkatkan keseahteraan rakyat, komposisi anggota lembaga negara pun perlu ditinjau ulang. Jika peran dan fungsi anggota DPR/DPRD dirasa kurang efektif, maka kuantitias DPD layak diperbanyak dan mengurangi kuantitas anggota DPR/DPRD. Atau paling tidak anggota DPD diberi kebebasan peran dan fungsinya dengan melakukan amandemen UUD 1945 dalam rangka pengoptimalan kinerja anggota DPD dalam revitalisasi otonomi daerah/desentralisasi yang katanya mengusung pemerataan kesejahteraan rakyat di tiap-tiap daerah.

bisa dibaca juga di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.