“Agama itu
kekuatan inspiratif dan kekuatan moral. Jadi agama hanya membentuk etika dari
masyarakat. Lebih dari itu akan menimbulkan masalah.”- Abdurrahman Wahid.[1]
Semua
presiden Republik Indonesia (R.I.) senang memakai kacamata. Namun, hanya satu
yang benar-benar akrab dengan benda ini, yaitu Alm. Abdurrahman Wahid -sering
disapa Gus Dur- presiden I rezim reformasi. Kacamata telah menemaninya sejak
tahun 1954 (ketika usia Gus Dur 14 tahun). Hal ini adalah sebuah konsekuensi
atas rasa ingin tahu yang tinggi sejak Gus Dur kecil, yang mestimulusnya
melahap buku-buku dan surat kabar. Wajar saja, kalau Gus Dur tumbuh menjadi
manusia yang berwawasan luas dan menjadi presiden R.I. yang paling jenius.
Hanya dengan masa bakti tidak
sampai 2 tahun, perubahan-perubahan besar
menyangkut kemajuan bangsa, khususnya tentang pluralisme, telah terjadi.
Di
sisi lain, Abdurrahman Wahid bukanlah nama lahir Gus Dur. Pada tanggal 7 September
1940, bayi pertama dari rahim suci Hajjah Solechah[2] bernama Abdurrahman Ad-Dhakhil. Abdurrahman Ad-Dhakhil
adalah nama pejuang Islam yang membangun Masjid Cordova di zaman Bani Umaiyah.
Ia menjadi penguasa di Andalusia, Spanyol.[3]
Sedangkan Ad-Dhakhil sendiri memiliki makna Sang
Penakluk. K.H.Wahid Hasyim[4]
memberikan nama itu, dengan segudang harapan yang diletakkan di pundak Gus Dur
kecil. Namun, seiring berjalan waktu, akhirnya Gus Dur merubah namanya menjadi
Abdurrahman Wahid, menggunakan salah satu nama sang ayah sebagai bentuk
kecintaannya kepada ayahnya.
Berasal
dari keluarga yang religius dan terdidik, membentuk kehidupan Gus Dur kecil
dengan hal-hal yang positif. Wahid Hasyim sering menjejalin Gus Dur kecil
dengan buku-buku tentang agama dan kebangsaan serta menganjurkan Gus Dur
belajar bahasa Belanda kepada Meneer Bueller.[5] Perkenalan dengan Bueller adalah awal Gus Dur
menyukai musik-musik klasik Beethoven.[6]
Hobi membaca Gus Dur membuatnya memakai kacamata terlalu dini. Sehingga
keinginannya untuk menjadi ABRI harus kandas karena menggunakan kacamata. Namun
dari kacamata ini, Gus Dur bisa memandang hal yang visioner dan lebih maju.
Kacamata yang membawanya kepada pemikiran-pemikiran modern. Tak akhyal,
pemikirannya pun susah diterima dan ditebak karena sering luput dari pemikiran
orang lain, atau terkadang lebih cepat dari yang dipikirkan oleh orang lain.
Hal inilah yang sering kali membuat pemikiran Gus Dur sulit dicerna oleh orang
lain walaupun setelah itu, banyak orang yang mengakui bahwa buah pemikirannya
baik dan solutif.
Gerakan Kultural
menuju Gerakan Struktural
Sikap
politik Gus Dur jelas dan karir politiknya dibangun dari gerakan Ormas NU yang
bergerak dalam payung Khittah 1926. Pedekatan humanis, sosiologi dan
kulturalnya dibangun dari dermaga NU. Eksistensi Gus Dur semakin meningkat ketika
menjabat tiga kali berturut-turut sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Dari
aktivitasnya di NU, ideologi pluralisme kebangsaan dimasifkan. Kegiatan NU
bukan sekedar aktivitas religius semata, melainkan kegiatan yang berorientasi
pada pemasalahatan masyarakat. Sepak terjangnnya di NU dengan mengusung
pluralisme, telah mengantarkan Gus Dur sebagai tokoh nasional ketika itu. Dan
pada puncaknya, tanggal 20 Oktober 1999, Amien Rais selaku ketua MPR saat itu,
menyatakan bahwa K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 R.I.
Selama
kurang lebih dua tahun menjabat sebagai Presiden R.I., telah banyak perubahan
yang dilakukan oleh Gusdur. Daerah-daerah konflik sering disatroni oleh Gus Dur
dengan membawa solusi, seperti berkunjung ke Aceh dan menandatangani nota
kesepahaman tentang referendum hak otonom Aceh, lalu mengunjungi pulau Papua dan
mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Masyarakat papua pun diberikan izin
untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora dengan syarat tidak lebih tinggi dari Merah
Putih. Belum lagi terobosan yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh
masyarakat Tionghoa di Indonesia, yaitu mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967,[7] dan semua masyarakat
keturunan Tionghoa bersukacita karena telah dihapusnya diskriminasi terhadap
masyarakat Tionghoa.
Selain
itu, tindakan lepas-copot kabinet, sering dilakukan Gus Dur. Bahkan tindakan
ini terjadi secara radikal dan tegas serta dilakukan dengan alasan yang kuat.
Namun tindakan radikal ini dipandang skeptik dan antipati dari beberapa partai
politik. Nama-nama seperti Wiranto, Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla
pernah menjadi ‘pembantu’ Gus Dur di kabinet Gus Dur dan pernah juga
dikeluarkan oleh Gus Dur dari kabinet karena dianggap tidak memiliki kapasitas
untuk memajukan bangsa. Disharmonisasi internal antara Gus Dur dan partai-partai
pengusung Gus Dur pun terjadi. Golkar dan PDIP yang awalnya sebagai sekutu,
setelah reshuffle terjadi, mulai
memposisikan diri menjadi oposisi. Di tambah lagi kebijakan kontroversi Gus Dur
dengan menjalin hubungan dengan Israel, menciptakan antipati dari kelompok
Islam garis keras. Gus Dur pun semakin menambah daftar kelompok yang oposisi
terhadap eksistensinya sebagai presiden R.I. Belum lagi niatnya ingin menghapus
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966[8]
tentang larangan ajaran marxisme, semakin memperkeruh situasi dan mengancam
posisinya sebagai orang no.I di Indonesia. Konspirasi pun digelar. Oknum-oknum
yang merasa ‘rugi’ atas kebijakan dan terobosan Gus Dur, mulai mengais-ngais
kesalahan Gus Dur. Kemudian, dipakailah isu Bulog
Gate.[9] Isu ini
dikembangkan lalu dijadikan skandal yang ditujukan kepada Gus Dur dengan
tuduhan kalau Gus Dur telah dianggap melakukan penyelewengan dana sekitar 2
juta dolar yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunei. Namun sampai Gus Dur
wafat, skandal ini masih belum bisa dibuktikan. Dan ini semakin memperjelas
kalau Gus Dur adalah korban pemakzulan. Dan akhirnya pada 23 Juli 2001, Amien
Rain juga yang menetapkan pemakzulan Gus Dur sebagai Presiden R.I. dalam sidang
istimewa MPR.
Perjalanan
karir Gus Dur, sangat berbeda dengan 5 presiden lainnya. Gus Dur tidak pernah
berdiri pada kekuatan ayah dan kakeknya, Asyari Hasim untuk menjadi presiden.
Gus Dur tidak pernah menggunakan kekerasan dan militerisme untuk menjadi
presiden. Gus Dur juga tidak pernah menjadi ‘ban serep’ atau sebagai pengganti
untuk menjadi presiden. Dia dipilih di zaman dimana semua orang membutuhkannya.
Hanya saja konspirasi tingkat tinggi telah menzoliminya. Pencapaian Gus Dur
menjadi presiden pada dasarnya, berawal dari gerakan kultural dengan
menampilkan sosok Islam dalam kehidupan sehari-hari menuju gerakan struktural,
masuk ke dalam sistem pemerintahan.
Pluralisme
Gusdur adalah Perdamaian dan Toleransi
Konsep
pluralisme Gus Dur bukan pluralisme spesifik pada satu kelompok, melainkan
pluralisme berbangsa dan bernegara karena pada dasarnya setiap kelompok atau
golongan memiliki otonomi dan eksistensi yang berbeda-beda. Dan perbedaan
adalah suatu anugerah yang mesti dijaga. Sehingga pluralisme Gus Dur sering
disebut sebagai Pluralisme Toleransi yang memiliki tujuan untuk mewujudkan
kebaikan bersama (Res Publica).
Bahkan, sebagai muslim sejati, Gus Dur berpendapat bahwa, Islam harus
inklusivisme, bukan eksklusivisme. Ketidakberhasilan ormas Islam memperjuangkan
dasar Negara menjadi Syariat bukan tolak ukur. Islam harus menjadi jantung dan
urat nadi toleransi. Dan jangan lupa kita sebagai bangsa sudah terlanjur
heterogen dan pluralistik.[10]
Bentuk
sederhana dari pluralisme Gus Dur adalah perdamaian dan toleransi. Dari track record Gus Dur sebagai presiden,
kebijakan-kebijakannya pada daerah konflik mengarah pada suatu perdamaian.
Bahkan kebijakan menjalin hubungan dengan Israel merupakan strategi Gus Dur agar
Indonesia dapat memberikan pengaruh kepada tekanan dan invasi Israel terhadap negara-negara
Timur Tengah. Hanya saja masyarakat terutama Islam garis keras sudah kadung
terprovokasi oleh isu yang didramatisir.
Di
sisi lain, pluralisme Gus Dur dapat dilihat dari keputusannya menghapus undang-undang
yang rentan dengan konflik horisontal dan cenderung memiliki muatan
diskriminasi yang kuat. Pluralisme Gus Dur pun mendapatkan posisinya. Beragam penghargaan,
apresiasi serta segudang gelar telah disematkan kepadanya, yang berasal baik
dari dalam maupun luar negeri.
Dalam
dialog peradaban yang dilakukan Gus Dur dan Daisaku Ikeda[11] yang telah dibukukan, semakin memperjelas konsep
pluralisme Gus Dur dalam bentuk perdamaian dan toleransi. Dalam kata sambutan
buku ini disebutkan bahwa, perdamaian dapat diciptakan dengan membangun dunia
yang lebih adil secara eknomi, politik, teknologi dan seterusnya. Agama tentu
juga memiliki peran penting dalam membangun dunia yang damai, penuh toleransi
dan harmoni di antara penganutnya.[12]
Pondasi
yang baik untuk menciptakan perdamaian dan toleransi dalam rangka menjunjung
pluralisme adalah dengan meningkatkan dan mengembangkan subjek yang ada di
dalamnya yaitu manusia. Dan strategi yang paling tepat untuk melakukannya
adalah dengan pendidikan. Pendidikan dapat menciptakan manusia yang berbudi
pekerti dan memiliki wawasan kebangsaan yang didasarkan atas keberagaman dan
Pancasila. Seperti yang dikatakan Ananta Toer, bahwa:”Kemuliaan seseorang
datang hanya sebagai hasil pendidikan yang baik yang menjadi dasar perbuatan
baik dan mulia.”
Gus
Dur sangat memperhatikan perkembangan kegiatan pendidikan pesantren. Bahkan Gus
Dur telah menciptakan pembelajaran tentang toleransi terhadap keberagaman dalam
kurikulum pesantren. Pengalaman
pendidikan yang diperoleh Gus Dur dari beberapa Negara seperti Mesir dan Irak, menjadi
latar menciptakan pendidikan yang lebih baik dengan membentuk nilai-nilai pluralisme.
Gus Dur melihat, bahwa pendidikan khususnya pendidikan dalam pesantren dapat
menciptakan manusia-manusia yang berwawasan religius dan berjiwa kebangsaan
didasarkan atas ideologi kebhinekaan. Dengan begitu pendidikan menjadi dasar
untuk menciptakan toleransi dan perdamaian.
Di
balik kacamata Gusdur ada konsep pluralisme yang tidak terkubur dalam sebuah
cetak biru saja karena pluralisme Gus Dur tidak bersifat utopis. Pluralisme Gus Dur telah diejawantahkannya dalam bentuk
tindakan konkret dan telah terjadi di bangsa kita. Gus Dur adalah tokoh pluralisme
yang patut dijadikan pedoman oleh setiap orang.
Hendry Roris
P. Sianturi, Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Lampung. Aktif di
beberapa organisasi internal dan eksternal kampus. Jabatan terakhir menjadi Sekretaris
GMKI cabang Bandarlampung 2010-2012. Penulis buku “Pemimpin Cerdas”
ISBN:978-979-17675-4-5. Sekarang sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat
sarjana.
Catatan Kaki:
[1] lihat di
Bukhori, M. Pahrurroji. 2003. Membebaskan
Agama dari Negara. Hlm:108
[2] adalah ibu Gus
Dur, putri dari K.H. Bisri Syamsuri. Sekitar umur 16 tahun menikan dengan Wahid
Hasyim, ayah Gus Dur
[3] Musa, Masykur
A. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur.
2010. Hlm:4
[4] adalah ayah Gus
Dur. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I. ke-1 di zaman orde
lama. Pernah menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ketika
masa Pra-kemerdekaan pernah menjabat sebagai anggota BPUPKI dan PPKI.
[5] adalah seorang
yang berkebangsaan Jerman yang telah memeluk Islam sehingga berganti nama
menjadi Iskandar Bueller. Selain bahasa Belanda, Bueller juga mengajarkan
bahasa Inggris dan Jerman kepada Gus Dur.
[6] Dematra Damien,
Sejuta Hati untuk Gusdur. 2010.
Hlm:103-106
[7] yang berisi
tentang pelarangan agama, adat istiadat, dan kepercayaan Cina. Gus Dur mencabut
Inpres ini dengan menandatangani Kepres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina.
[8] merupakan
aturan/Tap yang disepakati pada tanggal 5 Juli 1966 yang didasarkan atas
peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Tap ini berisi tentang Pelarangan
Penyebaran atau Pengembangan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
[9] Bulog (Badan
Urusan Logistik) Gate adalah kasus penyimpangan dan penyalagunaan dana.
[10]Musa, Masykur A. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur.
2010. Hlm:60-61
[11] adalah Presiden
Kehormatan Soka Gokkai, yang lahir pada tahun 1928. Sedangkan Soka Gokkai adalah
Yayasan dan lembaga ilmu pengetahuan yang mengusung perdamaian serta toleransi.
[12] kata sambutan
oleh Jusuf Kalla, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Hlm: xii
Daftar Pustaka:
Ananta
Pramoedya T. 2006. Jejak LAngkah. Lentera Dipantara.Jakarta.
Bukhori,
M. Pahrurroji. 2003. Membebaskan Agama
dari Negara. Pondok Edukasi.Yogyakarta
Dematra
Damien. 2010. Sejuta Hati untuk Gusdur.
Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Musa,
Masykur A. 2010. Pemikiran dan Sikap
Politik Gusdur. Erlangga. Jakarta
Thoha
A. Zainal. 2010. Jagadnya Gusdur. Cet.III.
Kutub. Yogyakarta
Dapat dibaca juga di #KOMPASIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.