SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

9.11.2013

Ada Apa di Kacamata Gusdur


“Agama itu kekuatan inspiratif dan kekuatan moral. Jadi agama hanya membentuk etika dari masyarakat. Lebih dari itu akan menimbulkan masalah.”- Abdurrahman Wahid.[1]

Semua presiden Republik Indonesia (R.I.) senang memakai kacamata. Namun, hanya satu yang benar-benar akrab dengan benda ini, yaitu Alm. Abdurrahman Wahid -sering disapa Gus Dur- presiden I rezim reformasi. Kacamata telah menemaninya sejak tahun 1954 (ketika usia Gus Dur 14 tahun). Hal ini adalah sebuah konsekuensi atas rasa ingin tahu yang tinggi sejak Gus Dur kecil, yang mestimulusnya melahap buku-buku dan surat kabar. Wajar saja, kalau Gus Dur tumbuh menjadi manusia yang berwawasan luas dan menjadi presiden R.I. yang paling jenius. Hanya dengan masa bakti tidak
sampai 2 tahun, perubahan-perubahan besar menyangkut kemajuan bangsa, khususnya tentang pluralisme, telah terjadi.

Di sisi lain, Abdurrahman Wahid bukanlah nama lahir Gus Dur. Pada tanggal 7 September 1940, bayi pertama dari rahim suci Hajjah Solechah[2] bernama Abdurrahman Ad-Dhakhil. Abdurrahman Ad-Dhakhil adalah nama pejuang Islam yang membangun Masjid Cordova di zaman Bani Umaiyah. Ia menjadi penguasa di Andalusia, Spanyol.[3] Sedangkan Ad-Dhakhil sendiri memiliki makna Sang Penakluk. K.H.Wahid Hasyim[4] memberikan nama itu, dengan segudang harapan yang diletakkan di pundak Gus Dur kecil. Namun, seiring berjalan waktu, akhirnya Gus Dur merubah namanya menjadi Abdurrahman Wahid, menggunakan salah satu nama sang ayah sebagai bentuk kecintaannya kepada ayahnya.

Berasal dari keluarga yang religius dan terdidik, membentuk kehidupan Gus Dur kecil dengan hal-hal yang positif. Wahid Hasyim sering menjejalin Gus Dur kecil dengan buku-buku tentang agama dan kebangsaan serta menganjurkan Gus Dur belajar bahasa Belanda kepada Meneer Bueller.[5] Perkenalan dengan Bueller adalah awal Gus Dur menyukai musik-musik klasik Beethoven.[6] Hobi membaca Gus Dur membuatnya memakai kacamata terlalu dini. Sehingga keinginannya untuk menjadi ABRI harus kandas karena menggunakan kacamata. Namun dari kacamata ini, Gus Dur bisa memandang hal yang visioner dan lebih maju. Kacamata yang membawanya kepada pemikiran-pemikiran modern. Tak akhyal, pemikirannya pun susah diterima dan ditebak karena sering luput dari pemikiran orang lain, atau terkadang lebih cepat dari yang dipikirkan oleh orang lain. Hal inilah yang sering kali membuat pemikiran Gus Dur sulit dicerna oleh orang lain walaupun setelah itu, banyak orang yang mengakui bahwa buah pemikirannya baik dan solutif.

Gerakan Kultural menuju Gerakan Struktural

Sikap politik Gus Dur jelas dan karir politiknya dibangun dari gerakan Ormas NU yang bergerak dalam payung Khittah 1926. Pedekatan humanis, sosiologi dan kulturalnya dibangun dari dermaga NU. Eksistensi Gus Dur semakin meningkat ketika menjabat tiga kali berturut-turut sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Dari aktivitasnya di NU, ideologi pluralisme kebangsaan dimasifkan. Kegiatan NU bukan sekedar aktivitas religius semata, melainkan kegiatan yang berorientasi pada pemasalahatan masyarakat. Sepak terjangnnya di NU dengan mengusung pluralisme, telah mengantarkan Gus Dur sebagai tokoh nasional ketika itu. Dan pada puncaknya, tanggal 20 Oktober 1999, Amien Rais selaku ketua MPR saat itu, menyatakan bahwa K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 R.I.

Selama kurang lebih dua tahun menjabat sebagai Presiden R.I., telah banyak perubahan yang dilakukan oleh Gusdur. Daerah-daerah konflik sering disatroni oleh Gus Dur dengan membawa solusi, seperti berkunjung ke Aceh dan menandatangani nota kesepahaman tentang referendum hak otonom Aceh, lalu mengunjungi pulau Papua dan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Masyarakat papua pun diberikan izin untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora dengan syarat tidak lebih tinggi dari Merah Putih. Belum lagi terobosan yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia, yaitu mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967,[7] dan semua masyarakat keturunan Tionghoa bersukacita karena telah dihapusnya diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa.

Selain itu, tindakan lepas-copot kabinet, sering dilakukan Gus Dur. Bahkan tindakan ini terjadi secara radikal dan tegas serta dilakukan dengan alasan yang kuat. Namun tindakan radikal ini dipandang skeptik dan antipati dari beberapa partai politik. Nama-nama seperti Wiranto, Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pernah menjadi ‘pembantu’ Gus Dur di kabinet Gus Dur dan pernah juga dikeluarkan oleh Gus Dur dari kabinet karena dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memajukan bangsa. Disharmonisasi internal antara Gus Dur dan partai-partai pengusung Gus Dur pun terjadi. Golkar dan PDIP yang awalnya sebagai sekutu, setelah reshuffle terjadi, mulai memposisikan diri menjadi oposisi. Di tambah lagi kebijakan kontroversi Gus Dur dengan menjalin hubungan dengan Israel, menciptakan antipati dari kelompok Islam garis keras. Gus Dur pun semakin menambah daftar kelompok yang oposisi terhadap eksistensinya sebagai presiden R.I. Belum lagi niatnya ingin menghapus TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966[8] tentang larangan ajaran marxisme, semakin memperkeruh situasi dan mengancam posisinya sebagai orang no.I di Indonesia. Konspirasi pun digelar. Oknum-oknum yang merasa ‘rugi’ atas kebijakan dan terobosan Gus Dur, mulai mengais-ngais kesalahan Gus Dur. Kemudian, dipakailah isu Bulog Gate.[9] Isu ini dikembangkan lalu dijadikan skandal yang ditujukan kepada Gus Dur dengan tuduhan kalau Gus Dur telah dianggap melakukan penyelewengan dana sekitar 2 juta dolar yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunei. Namun sampai Gus Dur wafat, skandal ini masih belum bisa dibuktikan. Dan ini semakin memperjelas kalau Gus Dur adalah korban pemakzulan. Dan akhirnya pada 23 Juli 2001, Amien Rain juga yang menetapkan pemakzulan Gus Dur sebagai Presiden R.I. dalam sidang istimewa MPR.

Perjalanan karir Gus Dur, sangat berbeda dengan 5 presiden lainnya. Gus Dur tidak pernah berdiri pada kekuatan ayah dan kakeknya, Asyari Hasim untuk menjadi presiden. Gus Dur tidak pernah menggunakan kekerasan dan militerisme untuk menjadi presiden. Gus Dur juga tidak pernah menjadi ‘ban serep’ atau sebagai pengganti untuk menjadi presiden. Dia dipilih di zaman dimana semua orang membutuhkannya. Hanya saja konspirasi tingkat tinggi telah menzoliminya. Pencapaian Gus Dur menjadi presiden pada dasarnya, berawal dari gerakan kultural dengan menampilkan sosok Islam dalam kehidupan sehari-hari menuju gerakan struktural, masuk ke dalam sistem pemerintahan.

Pluralisme Gusdur adalah Perdamaian dan Toleransi

Konsep pluralisme Gus Dur bukan pluralisme spesifik pada satu kelompok, melainkan pluralisme berbangsa dan bernegara karena pada dasarnya setiap kelompok atau golongan memiliki otonomi dan eksistensi yang berbeda-beda. Dan perbedaan adalah suatu anugerah yang mesti dijaga. Sehingga pluralisme Gus Dur sering disebut sebagai Pluralisme Toleransi yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama (Res Publica). Bahkan, sebagai muslim sejati, Gus Dur berpendapat bahwa, Islam harus inklusivisme, bukan eksklusivisme. Ketidakberhasilan ormas Islam memperjuangkan dasar Negara menjadi Syariat bukan tolak ukur. Islam harus menjadi jantung dan urat nadi toleransi. Dan jangan lupa kita sebagai bangsa sudah terlanjur heterogen dan pluralistik.[10]

Bentuk sederhana dari pluralisme Gus Dur adalah perdamaian dan toleransi. Dari track record Gus Dur sebagai presiden, kebijakan-kebijakannya pada daerah konflik mengarah pada suatu perdamaian. Bahkan kebijakan menjalin hubungan dengan Israel merupakan strategi Gus Dur agar Indonesia dapat memberikan pengaruh kepada tekanan dan invasi Israel terhadap negara-negara Timur Tengah. Hanya saja masyarakat terutama Islam garis keras sudah kadung terprovokasi oleh isu yang didramatisir.

Di sisi lain, pluralisme Gus Dur dapat dilihat dari keputusannya menghapus undang-undang yang rentan dengan konflik horisontal dan cenderung memiliki muatan diskriminasi yang kuat. Pluralisme Gus Dur pun mendapatkan posisinya. Beragam penghargaan, apresiasi serta segudang gelar telah disematkan kepadanya, yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri.

Dalam dialog peradaban yang dilakukan Gus Dur dan Daisaku Ikeda[11] yang telah dibukukan, semakin memperjelas konsep pluralisme Gus Dur dalam bentuk perdamaian dan toleransi. Dalam kata sambutan buku ini disebutkan bahwa, perdamaian dapat diciptakan dengan membangun dunia yang lebih adil secara eknomi, politik, teknologi dan seterusnya. Agama tentu juga memiliki peran penting dalam membangun dunia yang damai, penuh toleransi dan harmoni di antara penganutnya.[12]

Pondasi yang baik untuk menciptakan perdamaian dan toleransi dalam rangka menjunjung pluralisme adalah dengan meningkatkan dan mengembangkan subjek yang ada di dalamnya yaitu manusia. Dan strategi yang paling tepat untuk melakukannya adalah dengan pendidikan. Pendidikan dapat menciptakan manusia yang berbudi pekerti dan memiliki wawasan kebangsaan yang didasarkan atas keberagaman dan Pancasila. Seperti yang dikatakan Ananta Toer, bahwa:”Kemuliaan seseorang datang hanya sebagai hasil pendidikan yang baik yang menjadi dasar perbuatan baik dan mulia.”

Gus Dur sangat memperhatikan perkembangan kegiatan pendidikan pesantren. Bahkan Gus Dur telah menciptakan pembelajaran tentang toleransi terhadap keberagaman dalam kurikulum pesantren.  Pengalaman pendidikan yang diperoleh Gus Dur dari beberapa Negara seperti Mesir dan Irak, menjadi latar menciptakan pendidikan yang lebih baik dengan membentuk nilai-nilai pluralisme. Gus Dur melihat, bahwa pendidikan khususnya pendidikan dalam pesantren dapat menciptakan manusia-manusia yang berwawasan religius dan berjiwa kebangsaan didasarkan atas ideologi kebhinekaan. Dengan begitu pendidikan menjadi dasar untuk menciptakan toleransi dan perdamaian.

Di balik kacamata Gusdur ada konsep pluralisme yang tidak terkubur dalam sebuah cetak biru saja karena pluralisme Gus Dur tidak bersifat utopis. Pluralisme Gus Dur telah diejawantahkannya dalam bentuk tindakan konkret dan telah terjadi di bangsa kita. Gus Dur adalah tokoh pluralisme yang patut dijadikan pedoman oleh setiap orang.


Hendry Roris P. Sianturi, Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Lampung. Aktif di beberapa organisasi internal dan eksternal kampus. Jabatan terakhir menjadi Sekretaris GMKI cabang Bandarlampung 2010-2012. Penulis buku “Pemimpin Cerdas” ISBN:978-979-17675-4-5. Sekarang sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat sarjana.


Catatan Kaki:
[1] lihat di Bukhori, M. Pahrurroji. 2003. Membebaskan Agama dari Negara. Hlm:108
[2] adalah ibu Gus Dur, putri dari K.H. Bisri Syamsuri. Sekitar umur 16 tahun menikan dengan Wahid Hasyim, ayah Gus Dur
[3] Musa, Masykur A. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur. 2010. Hlm:4
[4] adalah ayah Gus Dur. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I. ke-1 di zaman orde lama. Pernah menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ketika masa Pra-kemerdekaan pernah menjabat sebagai anggota BPUPKI dan PPKI.
[5] adalah seorang yang berkebangsaan Jerman yang telah memeluk Islam sehingga berganti nama menjadi Iskandar Bueller. Selain bahasa Belanda, Bueller juga mengajarkan bahasa Inggris dan Jerman kepada Gus Dur.
[6] Dematra Damien, Sejuta Hati untuk Gusdur. 2010. Hlm:103-106
[7] yang berisi tentang pelarangan agama, adat istiadat, dan kepercayaan Cina. Gus Dur mencabut Inpres ini dengan menandatangani Kepres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
[8] merupakan aturan/Tap yang disepakati pada tanggal 5 Juli 1966 yang didasarkan atas peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Tap ini berisi tentang Pelarangan Penyebaran atau Pengembangan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
[9] Bulog (Badan Urusan Logistik) Gate adalah kasus penyimpangan dan penyalagunaan dana.
[10]Musa, Masykur A. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur. 2010. Hlm:60-61
[11] adalah Presiden Kehormatan Soka Gokkai, yang lahir pada tahun 1928. Sedangkan Soka Gokkai adalah Yayasan dan lembaga ilmu pengetahuan yang mengusung perdamaian serta toleransi.
[12] kata sambutan oleh Jusuf Kalla, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Hlm: xii


Daftar Pustaka:

Ananta Pramoedya T. 2006. Jejak LAngkah. Lentera Dipantara.Jakarta.

Bukhori, M. Pahrurroji. 2003. Membebaskan Agama dari Negara. Pondok Edukasi.Yogyakarta

Dematra Damien. 2010. Sejuta Hati untuk Gusdur. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta

Musa, Masykur A. 2010. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur. Erlangga. Jakarta

Thoha A. Zainal. 2010. Jagadnya Gusdur. Cet.III. Kutub. Yogyakarta

Wahid Abdurrahman dan Ikeda Daisaku. 2010. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan    Perdamaian. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dapat dibaca juga di #KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.