Suasana Bulan
Ramadhan mirip dengan suasana nyepi kaum Hindu, dimana kedua momentum besar dan
religius ini sering dimanfaatkan sebagai momentum refleksi dan kontemplasi. Tak
akhyal, sering kita rasakan adanya penurunan suasana gaduh dan riuh di
keseharian kita. Karena memang nuansa yang bersifat reflektif identik dengan
kesunyian. Setidaknya itu yang sering kita rasakan pada kedua momentum ini.
Namun, di bulan Ramadhan kali ini, kesunyian berubah menjadi kegaduhan. Hal ini
disebabkan karena banyaknya masyarakat yang doyan
ngomongin tentang Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kemarin malam,
terjadi razia di tempat-tempat hiburan dan ketika diminta menunjukkan KTP,
ternyata banyak yang tidak ada. Alasan mereka karena lupa membawa. Dan karena
tidak membawa KTP, mereka pun diangkut ke kantor polisi dan ditahan sementara
sebelum ada keluarga yang menjemput. Gara-gara ‘lupa’ bawa KTP, keluarga mereka
pun menanggung malu.
Lain lagi halnya,
tentang Pilkada dan Pemilu. Di momentum pesta rakyat yang demokrasi seperti
ini, KTP menjadi hal sensitif. Ketika salah seorang teman, ingin meminjam KTP
dari orang lain, perasaan curiga muncul bertubi-tubi. Yang dipinjam merasa
khawtir sekaligus skeptik, karena takut KTP-nya disalahgunakan. Padahal teman
saya hanya meminjam KTP untuk urusan kuliah.
Desas desus
penyalagunaan KTP untuk mensukseskan calon baik di Pilkada ataupun di Pemilu, belakangan
memang santer terdengar. Hal ini bukan tanpa alasan. Seorang calon yang akan
maju baik di Pilkada ataupun di Pemilu yang melalui Independen (tanpa usungan
partai), harus mengumpulkan dukungan fotokopi KTP (syarat berlaku dan dapat dibaca
di aturan suksesi). Dan dampaknya, kalau mau minjam KTP seseorang di saat
momentum seperti ini, kita harus siap dihujani pertanyaan yang skeptik.
Kericuhan tentang
KTP pun masih berlanjut di kantor kecamatan dan kelurahan. Banyaknya E-KTP yang
masih belum jadi, diprotes warga. Lambatnya kerja-kerja aparatur Negara,
menghambat masayrakat memiliki kartu identitas. Padahal untuk mengurus hal-hal
yang berhubungan dengan civil, masyarakat
harus memiliki identitas. Sehingga tidak sedikit masayarakat yang celoteh kalau
pelaksanaan program E-KTP tidak siap.
Belakangan memang
KTP menjadi buah bibir dan buah satire masyarakat. Walaupun KTP hanya benda
kecil yang sering disimpan di dompet, namun kegunaannya menjadi sorotan di
suasana seperti ini. Namun dari semua gambaran di atas, ada hal yang lebih
penting lagi, jika kita mempercakapkan KTP, yaitu tentang pointer identitas
yang ada di KTP.
Adapun
pointer-pointer identitas di KTP yang kita ketahui seperti, nama, TTL, jenis
kelamin, alamat lengkap, status, pekerjaan, kewarganegaraan, agama dan waktu
limit berlakunya KTP. Namun dari jenis itu semua, ada yang seharusnya tidak
perlu dituangkan dalam kartu identitas, yaitu pointer Agama. Di KTP seharusnya
tidak perlu ada penyebutan Agama, karena Agama adalah hal personal. Di Negara
yang menganut pluralisme dan menjunjung kebhinekaan, pointer Agama seharusnya
dihilangkan. Karena hal ini dapat meningkatkan diskriminasi yang akan terlihat
konyol.
Sebut saja beberapa
kasus ketika seseorang menggunakan KTP-nya untuk mengurus sesuatu. Karena kebetulan
yang menjadi Customer Service (CS)-nya
berbeda agama dengan yang ingin mengurus sesuatu ini, sehingga si CS lebih
mengutamakan kepentingan orang-orang yang seagama dengan dia. Maka dari itu,
tidak jarang kita melihat masyarakat memiliki dua KTP dengan agama yang berbeda
hanya karena memperlancar mengurus sesuatu.
Seharusnya KTP dipergunakan
sesuai dengan peruntukkannya. Jangan dijadikan media untuk memunculkan
diskriminasi. Dan pada momentum Ramadhan ini seharusnya kita saling mendekatkan
diri bukan saja dengan yang sama agama melainkan juga yang berbeda agama.
Karena pada dasarnya kita berdiri di pertiwi yang sama, memiliki falsafah
Negara yang sama dan dihidupkan oleh kekayaan alam yang sama.
Oleh karena itu,
untuk mendukung pluralisme yang masih labil, kita harus meminimalisir
perbincangan tentang SARA dan satire tentang Agama, karena pada dasarnya agama
itu bersifat vertikal. Dan salah satu strategi untuk meminimalisir hal
tersebut, dengan menghapus pointer identitas Agama pada KTP.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.