SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

6.27.2013

Lincoln dan Indonesia

Masih anyir berita tentang kenaikan BBM yang baru saja dipampletkan oleh pemerintah. Dan kalau melihat hiruk pikuk sidang paripurna DPR di Gedung Senayan tanggal 17 Juni kemarin, rasa-rasanya konflik dan situasinya hampir mirip dengan sidang parlemen yang pernah terjadi pada tahun 1862 di Amerika Serikat. Ketika itu terjadi perdebatan revisi undang-undang Amerika tentang Pembebasan perbudakan. Ada dua partai yang berdebat, partai Republik dan partai Demokrat. Waktu itu, Amerika Serikat dipimpin oleh seorang Presiden revolusioner dan visioner bernama Abraham Lincoln. Lincoln sendiri merupakan presiden yang berasal dari partai Republik. Track Record Lincoln cukup pelik hingga dia memenangkan suara parlemen menjadi presiden.


Pada abad ke-19 di Amerika Serikat, perbudakan dan perang saudara semakin memuncak. Dan Lincoln berambisi untuk meretaskan masalah ini. Maka segala strategi dan lobi dilakukannya. Amandemen UU yang dikenal dengan Amandemen 13, pun menjadi tujuan utamanya. Karena dengan adanya amandemen UU tersebut, dia berkeyakinan bahwa perbudakan dan perang saudara dapat dihentikan. Oleh karena itu dengan menggalang suara partai Republik dan beberapa perwakilan dari Partai Demokrat, akhirnya parlemen memutuskan revisi UU untuk menolak perbudakan dan menyetarakan ras antara kulit hitam dan kulit putih.

Situasi Gedung parlemen pun cukup alot. Pihak oposisi menganggap bahwa usulan penyamarataan ras tidak masuk akal dan tidak relevan. Mereka berpikiran kalau kesamaan hak akan mengancam posisi kulit putih di segala bidang. Oleh karena itu, masih banyak anggota parlemen yang tidak sepakat tentang adanya kesamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam. Namun dengan kualitas strategi dan lobi yang diterapkan oleh Lincoln dan pengikutnya, tujuan utama Lincoln berhasil, meski pada tahun 1865 dia harus membayar tujuan frontalnya dengan nyawanya. Dia pun ditembak di gedung teater. Disinyalir, otak pembunuhan ini adalah lawan politiknya.

Kisah Lincoln dan sidang paripurna anggota dewan saat itu, adalah sejarah yang tidak bisa didustai. Sejarah tersebut mengatakan bahwa seorang presiden berani melakukan hal-hal di luar zoana kenyamanan untuk menciptakan perdamaian bagi masyarakatnya. Gambaran ini sangat kontraproduktif dengan yang terjadi di Indonesia. Rapat lengkap anggota dewan kemarin, ternyata menghasilkan kesepakatan yang tidak memihak kepada rakyat. Anggota dewan yang merupakan perwakilan rakyat, menyepakati yang bukan aspirasi rakyat. Buktinya adalah penolakan di sana-sini tentang kenaikan harga BBM. Tak pelak, aksi demonstrasi pun berlangsung anarki. Karena dengan naiknya harga BBM, akan mempengaruhi kondisi perekonomian rakyat. Dan lebih mirisnya lagi, ternyata kita memiliki presiden yang sangat berbeda dengan Lincoln yang pernah lahir hampir 150 tahun yang lalu. Seorang Presiden yang tidak pernah mengerti aspirasi rakyat. Itulah presiden kita. Dan itulah wakil rakyat yang kita pilih.

Pada Rapat Paripurna DPR Senin, 17 Juni 2013 di Gedung Parlemen, Senayan, total suara yang menerima naiknya harga BBM sebanyak 338 suara dengan rincian, fraksi Demokrat 143 suara, Partai Golkar 98 suara, PAN 40 suara, PPP 34 suara dan PKB 23 suara. Sementara jumlah suara yang menolak naiknya BBM berjumlah 181 suara dengan rincian, fraksi PDIP 91 suara, PKS 51 suara, Partai Gerindra 25 suara, Partai Hanura 14 suara.

Sidang paripurna telah menyepakati naiknya harga BBM, dan masyarakat akan bersiap beradaptasi dengan naiknya harga barang-barang. Apalagi mengingat bulan Ramadhan tinggal sekedip mata.

Oleh karena itu, mendekati momentum pemilihan para pemimpin Negara (pemilihan umum dan pemilihan legislatif) yang akan digelar sebentar lagi, diharapkan masyarakat harus jeli dan bijak untuk menetapkan pilihan. Jangan mudah terkecoh dengan janji yang tak konkrit. Kita mesti belajar rasa percaya dengan masyarakat Amerika tahun 1980-an. Mereka berhasil memilih pemimpin yang representatif. Meskipun sedikit konyol karena harus belajar dengan masyarakat yang hidup 150 tahun lalu, namun ada baiknya demikian, agar kesejahteraan dan aspirasi rakyat dapat didengar dan diwujudnyatakan. Karena pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dimuat juga di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.