Masih anyir berita tentang kenaikan BBM yang baru saja
dipampletkan oleh pemerintah. Dan kalau melihat hiruk pikuk sidang paripurna
DPR di Gedung Senayan tanggal 17 Juni kemarin, rasa-rasanya konflik dan
situasinya hampir mirip dengan sidang parlemen yang pernah terjadi pada tahun
1862 di Amerika Serikat. Ketika itu terjadi perdebatan revisi undang-undang
Amerika tentang Pembebasan perbudakan. Ada dua partai yang berdebat, partai
Republik dan partai Demokrat. Waktu itu, Amerika Serikat dipimpin oleh seorang
Presiden revolusioner dan visioner bernama Abraham Lincoln. Lincoln sendiri
merupakan presiden yang berasal dari partai Republik. Track Record Lincoln cukup pelik hingga dia memenangkan suara
parlemen menjadi presiden.
Pada abad ke-19 di Amerika Serikat, perbudakan dan perang
saudara semakin memuncak. Dan Lincoln berambisi untuk meretaskan masalah ini.
Maka segala strategi dan lobi dilakukannya. Amandemen UU yang dikenal dengan
Amandemen 13, pun menjadi tujuan utamanya. Karena dengan adanya amandemen UU
tersebut, dia berkeyakinan bahwa perbudakan dan perang saudara dapat
dihentikan. Oleh karena itu dengan menggalang suara partai Republik dan
beberapa perwakilan dari Partai Demokrat, akhirnya parlemen memutuskan revisi
UU untuk menolak perbudakan dan menyetarakan ras antara kulit hitam dan kulit
putih.
Situasi Gedung parlemen pun cukup alot. Pihak oposisi
menganggap bahwa usulan penyamarataan ras tidak masuk akal dan tidak relevan.
Mereka berpikiran kalau kesamaan hak akan mengancam posisi kulit putih di
segala bidang. Oleh karena itu, masih banyak anggota parlemen yang tidak
sepakat tentang adanya kesamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam. Namun
dengan kualitas strategi dan lobi yang diterapkan oleh Lincoln dan pengikutnya,
tujuan utama Lincoln berhasil, meski pada tahun 1865 dia harus membayar tujuan
frontalnya dengan nyawanya. Dia pun ditembak di gedung teater. Disinyalir, otak
pembunuhan ini adalah lawan politiknya.
Kisah Lincoln dan sidang paripurna anggota dewan saat itu,
adalah sejarah yang tidak bisa didustai. Sejarah tersebut mengatakan bahwa
seorang presiden berani melakukan hal-hal di luar zoana kenyamanan untuk
menciptakan perdamaian bagi masyarakatnya. Gambaran ini sangat kontraproduktif
dengan yang terjadi di Indonesia. Rapat lengkap anggota dewan kemarin, ternyata
menghasilkan kesepakatan yang tidak memihak kepada rakyat. Anggota dewan yang
merupakan perwakilan rakyat, menyepakati yang bukan aspirasi rakyat. Buktinya
adalah penolakan di sana-sini tentang kenaikan harga BBM. Tak pelak, aksi
demonstrasi pun berlangsung anarki. Karena dengan naiknya harga BBM, akan
mempengaruhi kondisi perekonomian rakyat. Dan lebih mirisnya lagi, ternyata
kita memiliki presiden yang sangat berbeda dengan Lincoln yang pernah lahir hampir
150 tahun yang lalu. Seorang Presiden yang tidak pernah mengerti aspirasi
rakyat. Itulah presiden kita. Dan itulah wakil rakyat yang kita pilih.
Pada Rapat Paripurna DPR Senin, 17 Juni 2013 di Gedung Parlemen,
Senayan, total suara yang menerima naiknya harga BBM sebanyak 338 suara dengan
rincian, fraksi Demokrat 143 suara, Partai Golkar 98 suara, PAN 40 suara, PPP
34 suara dan PKB 23 suara. Sementara jumlah suara yang menolak naiknya BBM
berjumlah 181 suara dengan rincian, fraksi PDIP 91 suara, PKS 51 suara, Partai
Gerindra 25 suara, Partai Hanura 14 suara.
Sidang paripurna telah menyepakati naiknya harga BBM, dan
masyarakat akan bersiap beradaptasi dengan naiknya harga barang-barang. Apalagi
mengingat bulan Ramadhan tinggal sekedip mata.
Oleh karena itu, mendekati momentum pemilihan para pemimpin
Negara (pemilihan umum dan pemilihan legislatif) yang akan digelar sebentar
lagi, diharapkan masyarakat harus jeli dan bijak untuk menetapkan pilihan.
Jangan mudah terkecoh dengan janji yang tak konkrit. Kita mesti belajar rasa percaya
dengan masyarakat Amerika tahun 1980-an. Mereka berhasil memilih pemimpin yang
representatif. Meskipun sedikit konyol karena harus belajar dengan masyarakat
yang hidup 150 tahun lalu, namun ada baiknya demikian, agar kesejahteraan dan
aspirasi rakyat dapat didengar dan diwujudnyatakan. Karena pemerintahan adalah
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dimuat juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.