Entah mengapa isu permasalahan pendidikan hari ini yang terbangun di masayarakat adalah karena disebabkan kekurangsejahterannya kehidupan seorang guru. Lantas menjadi hal yang lumrah ketika seorang guru mengabdi pada dua instansi yang berbeda atau memiliki usaha dan pekerjaan lainnya diluar tugasnya sebagai guru.
Persepsi seperti inilah yang menjadi ‘virus’ dan merusak kesakralan pendidikan sebagai proses pendewasaan manusia. Sehingga dampak yang terjadi adalah, orientasi menjadi guru telah bergeser dan paradigma mahasiswa keguruan ikut-ikutan bergeser.
Animo siswa yang memilih konsentrasi keguruan semakin meningkat bukan karena orientasi sebagai pendidik. Harus diakui loncatan minat siswa memilih konsentrasi keguruan karena adanya prospek yang baik ke depan. Padahal, menjadi seorang guru yang memiliki tanggung jawab mendidik bukan berorientasi pada materi yang bersifat fragmatis semata. Tetapi lebih dari itu, guru merupakan motor utama untuk mengubah bangsa menjadi lebih baik dengan melakukan pendewasaan atau human de human.
Peningkatan kesejahteraan guru seharusnya perlu dicermati
oleh pemangku kebijakan. Selain prosedur menjadi seorang guru perlu lebih
selektif, adalah pergeseran orientasi menjadi seorang guru itu yang mejadi
boomerang atas nasib jutaan anak bangsa. Melihat data lapangan bahwa tingkat
minat calon mahasiswa memilih konsentrasi keguruan seharusnya bisa menjadi
indicator apakah konsentrasi keguruan semakin diminati karena memang ada niatan
untuk mencerdaskan bangsa atau hanya sekedar meraup ‘laba’.
Perlu kita perhatikan bersama, dunia pendidikan bukan
seperti dunia ekonomi yang hitung-hitungan dan feed back konkret. Dunia
pendidikan adalah dunia moral dan sacral. Untuk menciptakan manusia yang
bermoral dan berintelek, perlu wadah yang seperti itu juga. Dan dalam hal ini
pendidikan harus bersih dari dunia kepramatismean seperti itu.
Oleh karena itu, re-orientasi menjadi guru perlu dilakukan. Adanya indikasi-indikasi pergeseran orientasi menjadi guru, harus segera diminimalisir agar dunia pendidikan tidak dijadikan ajang bisnis meraup keuntungan semata. Karena pada dasarnya menjadi seorang guru bukan sekedar meraup ‘laba’ lebih dari itu menggapai amal. Itulah karakter guru sejati.
Dapat dibaca di Kompasiana.com
Terimaksih mas atas pencerahannya.
BalasHapusterima kasih mb echa...
BalasHapustx sudah mampir :)