Kedoewa, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe,
bangsa Indonesia.
Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”(1)
Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”(1)
84
tahun bukan perkara waktu yang sebentar mempertahankan keutuhan tiga kalimat
diatas dan harus diakui bahwa pencapaian kemerdekaan Republik kita dimulai pada
titik balik setelah deklarasi SUMPAH PEMUDA 28 Oktober 1928 yang merangsang
munculnya semangat pemuda menjadi lebih besar. Pasca deklarasi Sumpah Pemuda,
pemuda mulai keluar dari dikotomi-dikotomi kelompok dan menyamakan satu impian,
memerdekakan Negara atas satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Semangat tersebut
terus terjaga selama kurang lebih 17 tahun hingga akhirnya harapan menjadi
kenyataan, yaitu Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.
Sumpah
pemuda pun acap kali disebut sebagai momentum terciptanya Indonesia Satu. Dan
secara status quo, sejak 28 Oktober
1928 embrio Indonesia telah ada. Situasi saat itu menuntut pemuda untuk
berjuang baik secara fisik maupun secara intelektual. Melatih fisik dengan
pendidikan militer, melatih intelektual dengan pendidikan akademik.
Pada
dasarnya pendidikan menjadi strategi sentral untuk menciptakan pemuda yang
memiliki semangat dan karakter. Selain menghasilkan pemuda yang penuh semangat
dan berkarakter, pendidikan sebagai wadah reproduksi manusia, menjadi penting
untuk menciptakan manusia yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, sehingga
tidak sedikit pemuda kala itu, rela mengenyam bedil-bedil peluru atau dihujam
hujan-hujan meriam demi meraih satu impian, merdeka.
Jika
ditelisik tentang latar belakang munculmnya naskah Sumpah Pemuda itu sendiri –
terdiri atas tiga kalimat – pada dasarnya lahir pada situasi yang insidensil.
Berawal dari kecerdikan seorang Mohammad Yamin ketika pegelaran konsolidasi
pemuda se-tanah air. M.Yamin memiliki pemikiran bahwa perlu adanya suatu nota
pernyataan yang diucapkan dan dipegang teguh secara kolektif oleh pemuda
se-Tanah air sebagai pemberi semangat dalam rangka mengusir penjajah. “Ik
heb een eleganter formulering voor de resolutie “(Saya mempunyai suatu
formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini) : setidaknya seperti
itu yang dikatakan M.Yamin ketika menyisipkan naskah Sumpah Pemuda dalam pidato
Soegondo pada kegiatan Konres Pemuda.(2)
Namun
rasa-rasanya jika ditarik pada kondisi dan realita sekarang ini, seperti ada
anti-klimaks dari sebuah historikal semangat pemuda yang dulu dan sekarang.
Sumpah Pemuda tidak lagi bisa diilhami dan diwujudnyatakan di tengah-tengah pemuda
sebagai pemersatu pemuda. Dan indikasi seperti ini menjadi salah satu penyebab
mengapa bangsa kita semakin mengalami kemerosotan persatuan dan kesatuan.
Penulis
mengamati hal ini bisa terjadi lebih disebabkan
adanya faktor internal dan eksternal dari diri pemuda itu sendiri yang
mempengaruhi semangat pemuda sekarang dan bisa berdampak buruk di kemudian hari karena pada
hakikatnya pemuda adalah tonggak suatu Negara dan generasi yang melanjutkan
estafet visi bangsa. Faktor internal berhubungan
dengan pengaruh psikis dan karakter pemuda. Pengaruh psikis yang buruk dibentuk
berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Sebagai contoh, masyarakat
Indonesia sejak kecil sudah diberikan tontonan yang mengkontaminasi mind set sehingga menciptakan manusia
yang memilik mind set dangkal.
Kemudian sekarang ini masyarakat sejak dari kecil juga jarang mendengar
semangat perjuangan para pahlawan dan bentuk-bentuk historikal Negara. Kalaupun
ada hanya sebatas kegiatan upacara bendera di sekolah. Selanjutnya masyarakat
sedari kecil pun sudah merasakan situasi dan anyir-anyir ketidaksatuan.
Anak-anak sekarang lebih sering ‘dikurung’ dalam rumah ketimbang diberi waktu
bermain dengan temannya sekaligus membangun rasa sosial, sehingga ketika tumbuh
dewasa seseorang menjadi apatis dan tidak memiliki rasa sosial yang baik.
Kondisi psikis yang bobrok seperti ini akan mempengaruhi karakter pemuda.
Pemuda yang tidak memiliki karakter adalah pemuda yang tidak memiliki tanggung
jawab dan nilai-nilai ideologi khususnya ideologi bangsa. Dan jika Negara tidak
memiliki pemuda yang berkarakter, menurut hemat saya ini merupakan ancaman
tidak saja untuk saat ini, tetapi untuk di masa yang akan datang.
Selanjutnya,
pengaruh eksternal yaitu yang berkaitan dengan faktor lingkungan, mulai dari
pola komunikasi dalam keluarga dan warna-warna yang diberikan lingkungan. Keluarga
sebagai lingkup terkecil tatanan sosial seharusnya dipandang penting.
Komunikasi dan interaksi yang positif dalam keluarga penting untuk dilakukan agar seorang anak
dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki karakter kuat.
Kesalahan
membentuk pemuda menjadi generasi yang tidak berkarakter akan menjadi ancaman. Salah
satu contoh ancaman tersebut adalah lahir-kembali ‘regenerasi’
koruptor-koruptor baru. Permasalahan letal
yang satu ini sampai sekarang belum terselesaikan karena setiap berganti
generasi, yang menggantikannya tetap ‘tersedot’ dalam lingkaran hitam karena
tidak memiliki karakter yang kuat. Dan pembinaan karakter yang matang seharusnya
sudah ada pada diri pemuda sehingga ketika seorang pemuda menjadi pemimpin, dia
sudah mapan dan bisa menjadi mansia yang berkarakter sehingga kecil kemungkinan
untuk melakukan korupsi.
Menciptakan
pemuda -sebagai agen perubahan- yang berkarakter tentulah tidak mudah. Pemuda
yang berkarakter lahir oleh karena adanya proses yang baik dan tersistematis.
Dan untuk mengawal itu semua dibutuhkan proses pendidikan yang relevan dan
berorientasi pada penciptaan manusia yang berkarakter Untuk mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan korupsi, pendidikan bisa berperan sebagai power force. Sejak pendidikan paling
dasar, siswa seharusnya sudah dimulai diberikan pemahaman tentang anti-korupsi
dan dibiasakan bersikap jujur, tidak menipu dan tidak menggunakan yang bukan
haknya.(3)
Para
pejabat yang sekarang dililit kasus korupsi pada dasarnya mengetahui bahwa
tindak korupsi itu salah, hanya saja karakter yang dangkal, menjadi salah satu
penyebab dia melakukan tindak pidana tersebut. Dan di sini tugas pendidikan
bukan saja menciptakan calon-calon dokter, calon-calon politikus, calon-calon
arsitektur dan sebagainya, tetapi juga menciptakan manusia yang berkarakter. Oleh
karena itu solution maker center dalam
hal ini adalah pendidikan yang berorientasi pada penciptaan manusia yang
berkarakter bukan berorientasi hanya pada profesi semata.
Kembali
pada konteks pemuda, dalam menciptakan pemuda yang berkarakter untuk
dipersiapkan menjadi pemimpin yang memiliki moralitas bukanlah hal ‘gaib’,
mustahil ataupun utopia. Karena sejatinya tujuan pendidikan memuat gambaran
tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan
(Umar Tirta Rahardja dan La Sulo:1994).(4) Dengan proses pendidikan
yang baik dan tersistematis, bukan tidak mungkin hal tersebut diwujudkan. Hanya
saja yang menjadi titik fokusnya adalah sudah sejauh mana sistem pendidikan
kita berjalan dan menciptakan pemuda yang berkarakter.
Di
dalam UUD RI 1945 pasal 31 ayat 3 gamblang dituliskan bahwa “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari tulisan
sakral ini bisa diambil kesimpulan bahwa sudah menjadi tanggung jawab
pendidikan kita untuk menciptakan manusia yang berkarakter.
Oleh
karena itu tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat melihat pendidikan
sebagai solusi konkret untuk menciptakan pemuda berkarakter sekaligus mengatasi
permasalahan-permasalahan khususnya permasalahan klise seperti kasus korupsi yang tidak habis-habisnya tahun
berganti tahun, rezim berganti rezim.
Perhatian
penuh terhadap pendidikan dianggap menjadi strategi yang baik untuk memunculkan
de javu semangat Sumpah Pemuda dan
pemuda berkarakter, sehingga kelak akan muncul pemimpin-pemimpin bangsa yang
memiliki nilai-nilai berdasarkan karakter bangsa. Dan permasalahan-permasalahn
apalagi yang menyangkut perampasan hak orang lain tidak akan terjadi sehingga
dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera seperti amanah Pancasila.
Penulis
adalah seorang pemuda yang masih kuliah di Universitas Lampung jurusan
Pendidikan Biologi FKIP dan masih menjabat sebagai Sekretaris GMKI
Bandarlampung.
UOUS
Foot
Note:
(2)Sugondo
Djojopusito: Ke Arah Kongres Pemuda II,
Media Muda Tahun I No. 6 & 7, halaman 9-11.
(3)Membasmi Kanker Korupsi
hlm.191
Daftar bacaan Buku:
1.
Membasmi Kanker Korupsi, 2005, editor:
Pramono U. Tanthowi, Raja Juli Antoni, RIzaludin Kurniawan, Joko Susanto,
cet.II, diterbitkan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah:
Jakarta.
2.
Pendidikan Nasional: Arah ke Mana, 2012,
editor: Prof. DR. Sutjipto, diterbitkan Penerbit Buku Kompas: Jakarta
3.
Rohma Arif, 2011, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan Ed.I, cet.ke-3, LaksBang
Mediatama: Yogyakarta.
4.
Buchori Mochtar, 2005, Pendidikan Antisipatori cet. Ke-5,
Kanisius: Yogyakarta.
bisa dilihat di KOMPASIANA
bisa dilihat di KOMPASIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.