SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

11.02.2012

PENDIDIKAN DAN KARAKTER PEMUDA

“Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”(1)

84 tahun bukan perkara waktu yang sebentar mempertahankan keutuhan tiga kalimat diatas dan harus diakui bahwa pencapaian kemerdekaan Republik kita dimulai pada titik balik setelah deklarasi SUMPAH PEMUDA 28 Oktober 1928 yang merangsang munculnya semangat pemuda menjadi lebih besar. Pasca deklarasi Sumpah Pemuda, pemuda mulai keluar dari dikotomi-dikotomi kelompok dan menyamakan satu impian, memerdekakan Negara atas satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Semangat tersebut terus terjaga selama kurang lebih 17 tahun hingga akhirnya harapan menjadi kenyataan, yaitu Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.


Sumpah pemuda pun acap kali disebut sebagai momentum terciptanya Indonesia Satu. Dan secara status quo, sejak 28 Oktober 1928 embrio Indonesia telah ada. Situasi saat itu menuntut pemuda untuk berjuang baik secara fisik maupun secara intelektual. Melatih fisik dengan pendidikan militer, melatih intelektual dengan pendidikan akademik.

Pada dasarnya pendidikan menjadi strategi sentral untuk menciptakan pemuda yang memiliki semangat dan karakter. Selain menghasilkan pemuda yang penuh semangat dan berkarakter, pendidikan sebagai wadah reproduksi manusia, menjadi penting untuk menciptakan manusia yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, sehingga tidak sedikit pemuda kala itu, rela mengenyam bedil-bedil peluru atau dihujam hujan-hujan meriam demi meraih satu impian, merdeka.

Jika ditelisik tentang latar belakang munculmnya naskah Sumpah Pemuda itu sendiri – terdiri atas tiga kalimat – pada dasarnya lahir pada situasi yang insidensil. Berawal dari kecerdikan seorang Mohammad Yamin ketika pegelaran konsolidasi pemuda se-tanah air. M.Yamin memiliki pemikiran bahwa perlu adanya suatu nota pernyataan yang diucapkan dan dipegang teguh secara kolektif oleh pemuda se-Tanah air sebagai pemberi semangat dalam rangka mengusir penjajah. “Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie “(Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini) : setidaknya seperti itu yang dikatakan M.Yamin ketika menyisipkan naskah Sumpah Pemuda dalam pidato Soegondo pada kegiatan Konres Pemuda.(2)

Namun rasa-rasanya jika ditarik pada kondisi dan realita sekarang ini, seperti ada anti-klimaks dari sebuah historikal semangat pemuda yang dulu dan sekarang. Sumpah Pemuda tidak lagi bisa diilhami dan diwujudnyatakan di tengah-tengah pemuda sebagai pemersatu pemuda. Dan indikasi seperti ini menjadi salah satu penyebab mengapa bangsa kita semakin mengalami kemerosotan persatuan dan kesatuan.

Penulis mengamati hal ini bisa terjadi lebih  disebabkan adanya faktor internal dan eksternal dari diri pemuda itu sendiri yang mempengaruhi semangat pemuda sekarang dan bisa  berdampak buruk di kemudian hari karena pada hakikatnya pemuda adalah tonggak suatu Negara dan generasi yang melanjutkan estafet visi bangsa. Faktor internal berhubungan dengan pengaruh psikis dan karakter pemuda. Pengaruh psikis yang buruk dibentuk berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia sejak kecil sudah diberikan tontonan yang mengkontaminasi mind set sehingga menciptakan manusia yang memilik mind set dangkal. Kemudian sekarang ini masyarakat sejak dari kecil juga jarang mendengar semangat perjuangan para pahlawan dan bentuk-bentuk historikal Negara. Kalaupun ada hanya sebatas kegiatan upacara bendera di sekolah. Selanjutnya masyarakat sedari kecil pun sudah merasakan situasi dan anyir-anyir ketidaksatuan. Anak-anak sekarang lebih sering ‘dikurung’ dalam rumah ketimbang diberi waktu bermain dengan temannya sekaligus membangun rasa sosial, sehingga ketika tumbuh dewasa seseorang menjadi apatis dan tidak memiliki rasa sosial yang baik. Kondisi psikis yang bobrok seperti ini akan mempengaruhi karakter pemuda. Pemuda yang tidak memiliki karakter adalah pemuda yang tidak memiliki tanggung jawab dan nilai-nilai ideologi khususnya ideologi bangsa. Dan jika Negara tidak memiliki pemuda yang berkarakter, menurut hemat saya ini merupakan ancaman tidak saja untuk saat ini, tetapi untuk di masa yang akan datang.

Selanjutnya, pengaruh eksternal yaitu yang berkaitan dengan faktor lingkungan, mulai dari pola komunikasi dalam keluarga dan warna-warna yang diberikan lingkungan. Keluarga sebagai lingkup terkecil tatanan sosial seharusnya dipandang penting. Komunikasi dan interaksi yang positif dalam keluarga  penting untuk dilakukan agar seorang anak dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki karakter kuat.

Kesalahan membentuk pemuda menjadi generasi yang tidak berkarakter akan menjadi ancaman. Salah satu contoh ancaman tersebut adalah lahir-kembali ‘regenerasi’ koruptor-koruptor baru. Permasalahan letal yang satu ini sampai sekarang belum terselesaikan karena setiap berganti generasi, yang menggantikannya tetap ‘tersedot’ dalam lingkaran hitam karena tidak memiliki karakter yang kuat. Dan pembinaan karakter yang matang seharusnya sudah ada pada diri pemuda sehingga ketika seorang pemuda menjadi pemimpin, dia sudah mapan dan bisa menjadi mansia yang berkarakter sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan korupsi.

Menciptakan pemuda -sebagai agen perubahan- yang berkarakter tentulah tidak mudah. Pemuda yang berkarakter lahir oleh karena adanya proses yang baik dan tersistematis. Dan untuk mengawal itu semua dibutuhkan proses pendidikan yang relevan dan berorientasi pada penciptaan manusia yang berkarakter Untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan korupsi, pendidikan bisa berperan sebagai power force. Sejak pendidikan paling dasar, siswa seharusnya sudah dimulai diberikan pemahaman tentang anti-korupsi dan dibiasakan bersikap jujur, tidak menipu dan tidak menggunakan yang bukan haknya.(3)

Para pejabat yang sekarang dililit kasus korupsi pada dasarnya mengetahui bahwa tindak korupsi itu salah, hanya saja karakter yang dangkal, menjadi salah satu penyebab dia melakukan tindak pidana tersebut. Dan di sini tugas pendidikan bukan saja menciptakan calon-calon dokter, calon-calon politikus, calon-calon arsitektur dan sebagainya, tetapi juga menciptakan manusia yang berkarakter. Oleh karena itu solution maker center dalam hal ini adalah pendidikan yang berorientasi pada penciptaan manusia yang berkarakter bukan berorientasi hanya pada profesi semata.

Kembali pada konteks pemuda, dalam menciptakan pemuda yang berkarakter untuk dipersiapkan menjadi pemimpin yang memiliki moralitas bukanlah hal ‘gaib’, mustahil ataupun utopia. Karena sejatinya tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan (Umar Tirta Rahardja dan La Sulo:1994).(4) Dengan proses pendidikan yang baik dan tersistematis, bukan tidak mungkin hal tersebut diwujudkan. Hanya saja yang menjadi titik fokusnya adalah sudah sejauh mana sistem pendidikan kita berjalan dan menciptakan pemuda yang berkarakter.

Di dalam UUD RI 1945 pasal 31 ayat 3 gamblang dituliskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari tulisan sakral ini bisa diambil kesimpulan bahwa sudah menjadi tanggung jawab pendidikan kita untuk menciptakan manusia yang berkarakter.

Oleh karena itu tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat melihat pendidikan sebagai solusi konkret untuk menciptakan pemuda berkarakter sekaligus mengatasi permasalahan-permasalahan khususnya permasalahan klise seperti kasus korupsi yang tidak habis-habisnya tahun berganti tahun, rezim berganti rezim.

Perhatian penuh terhadap pendidikan dianggap menjadi strategi yang baik untuk memunculkan de javu semangat Sumpah Pemuda dan pemuda berkarakter, sehingga kelak akan muncul pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki nilai-nilai berdasarkan karakter bangsa. Dan permasalahan-permasalahn apalagi yang menyangkut perampasan hak orang lain tidak akan terjadi sehingga dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera seperti amanah Pancasila.

Penulis adalah seorang pemuda yang masih kuliah di Universitas Lampung jurusan Pendidikan Biologi FKIP dan masih menjabat sebagai Sekretaris GMKI Bandarlampung.

UOUS 
Foot Note:
(1)Naskah Sumpah pemuda versi orisinal yang disampaikan pada Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928
(2)Sugondo Djojopusito: Ke Arah Kongres Pemuda II, Media Muda Tahun I No. 6 & 7, halaman 9-11.
(3)Membasmi Kanker Korupsi hlm.191
(4)Rohma Arif, 2011, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Hlm: 87

 Daftar bacaan Buku:
1.      Membasmi Kanker Korupsi, 2005, editor: Pramono U. Tanthowi, Raja Juli Antoni, RIzaludin Kurniawan, Joko Susanto, cet.II, diterbitkan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah: Jakarta.
2.      Pendidikan Nasional: Arah ke Mana, 2012, editor: Prof. DR. Sutjipto, diterbitkan Penerbit Buku Kompas: Jakarta
3.      Rohma Arif, 2011, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan Ed.I, cet.ke-3, LaksBang Mediatama: Yogyakarta.
4.      Buchori Mochtar, 2005, Pendidikan Antisipatori cet. Ke-5, Kanisius: Yogyakarta.

bisa dilihat di KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.