Jika
penegakan hukum di Indonesia tetap berlangsung seperti saat ini kedepan, maka
sama saja Negara Indonesia tidak memiliki hukum. Ditambah lagi penegakan hukum
di Indonesia cenderung berat sebelah.
Indonesia
merupakan Negara hukum yang menganut cukup banyak jenis sistem hukum akibat
pengaruh-pengaruh baik dari internal maupun eksternal. Adapun sistem hukum yang
ada di Indonesia mencakup, Sistem Hukum Kontinental (Civil Low), Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law), Sistem Hukum Adat (Adatrecht),
Sistem Hukum Islam (Syariah) dan Sistem Hukum Kanonik.( R. Abdoel Djamali,SH: 1984). Dari
ragam sistem hukum di Negara ini, seharusnya lebih bisa ‘mentertibkan’ bangsa
ini dari pelanggaran hukum yang acap kali terjadi di masyarakat.
Pada
dasarnya semua sistem hukum harus mengakomodir kepentingan masyarakat secara
umum. Pembentukan sistem hukum dalam suatu Negara bertujuan menciptakan
masyarakat yang kondusif dimana tidak ada yang merasa dirugikan. Maka dari itu
aturan-aturan untuk membatasi perihal ini dibentuklah suatu hukum yang diawasi
oleh penegak hukum dan dijalankan oleh semua masyarakat tanpa terkecuali.
Jika
melihat beberapa kejadian pelanggaran hukum yang sering terjadi di Indonesia, yang
paling kronis pada Negara kita adalah kasus Korupsi. Penyakit letal ini sudah
semakin parah dan penyelesaian kasus pelanggaran hukum ini cenderung ‘berlarut-larut’,
tidak sampai pada ‘akar’ permasalahan.
Di
sisi lain, sudah tidak menjadi asing lagi jika penegak hukum itu sendiri pun
berada di dalam lingkaran pelanggaran hukum. Sebut saja instansi kepolisian,
yang seharusnya menegakkan hukum ternyata terjerat pelanggaran hukum. Semakin
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap instansi ini menjadi bukti
bahwa kepolisian diragukan kelayakannya menjadi pilar penegakkan hukum di
Negara ini.
Berita
yang belakangan menyeruak di media adalah tentang kasus korupsi proyek
simulator SIM. Permasalahannya sederhana, ada pelanggaran hukum yaitu telah
terjadi tindak pelanggaran hukum, korupsi. Dan yang terlibat dan telah
ditetapkan menjadi tersangka pun berhubungan dengan aparat kepolisian. Pihak
kepolisian berdalih bahwa kepolisian akan menindak tegas dan menyelesaikan
permasalahan kasus korupsi ini. Di lain sisi, KPK sebagai lembaga anti korupsi
ingin turun langsung menyelesaikan permasalahan ini. Dan dari perbedaan mind set dari kedua pihak, menimbulkan
polemik baru.
Namun
terlepas siapapun yang menyelesaikan kasus ‘hina’ ini, kita bisa mengambil
kesimpulan secara implisit bahwa aparat penegak hukum yang seharusnya bisa
mengawal berjalannya hukum untuk menciptakan keamanan Negara, ternyata tidak
berlangsung baik. “Jauh api dari panggang”. Pada dasarnya sketsa seperti ini
cukup memiriskan. Dan jika berlarut-larut seperti ini –aparat penegak hukum terlibat
kasus pelanggaran hukum- maka sama saja Indonesia tanpa hukum.
Maka
dari itu untuk menyelesaikan sekelumit permaslahan hukum yang terjadi di Negara
kita, mulai dari korupsi, tindak kriminalitas, penyakit masyarakat, dan
sebagainya, bisa dimulai dengan mengadakan pendidikan hukum sejak dini.
Disela-sela pendidikan formal, sekolah perlu mengadakan kegaitan pemberian
materi tentang hukum. Kegiatan ini diadakan dengan harapan agar meminimalisir
pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi di kemudian hari. Dan jika sedari
dini masyarakat sudah dipupuk dengan pendidikan hukum, bukan tidak mungkin
masyarakat Indonesia ke depan akan menjadi masyarakat yang taat hukum. Selain
itu, dengan diadakannya pendidikan hukum secara sistematis dan konsisten,
setidaknya akan membantu kerja-kerja penegak hukum untuk mengawal hukum di
Negara hukum –Indonesia.
UOUS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.