Urbanisasi
yang tidak stabil adalah salah satu permasalahan Negara ini. Tidak adanya
pembatasan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat sehingga masyarakat
secara masif, berbondong-bondong dari desa datang ke perkotaan. Pada dasarnya
pemahaman masyarakat tentang potret kehidupan di perkotaan cukup baik. Hanya
saja kecenderungan paradigma tersebut masih kalah dengan hasrat yang tinggi
untuk hidup di perkotaan, sehingga menyebabkan jumlah warga di perkotaan
cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja kota Makasar,
yang tiap tahunnya terjadi penambahan penduduk (kaum urban) sekitar 20 % (Dispencapil
Makasar). Kota terbesar ke-3 di Indonesia ini dan beberapa kota-kota besar
lainnya seperti Jakarta dan Surabaya, memang menjadi salah satu tujuan
perantauan dan tempat mengadu nasib para kaum urban. Dan sejalan dengan itu, akan
membentuk sebuah polemik dan menjadi pemicu lahirnya permasalahan-permasalahan klise, seperti, meningkatnya tindakan
kriminalitas dan premanisme, meningkatnya warga pinggiran, meningkatnya
pendirian bangunan tanpa izin, meningkatnya pengangguran, dan membuat kota
semakin semrawut dan tidak kondusif apalagi jika manajemen tata kotanya ikut-ikutan
tidak berjalan dengan baik.
Selain
melakukan pembatasan urbanisasi, pemerintah kota perlu memperhatikan kondisi
perkotaan agar kondusif dan layak huni serta tidak terlihat semrawut, yaitu
dengan mengatur tata kota (design urban)
yang baik. Penataan kota yang baik salah satunya adalah dengan mengatur lahan
perkotaan secara fungsional dan memperhatikan ruang hijau. Menurut Shirvani (1985),
bahwa untuk menata lahan perkotaan tepat guna dan fungsional perlu
memperhatikan beberapa elemen diantaranya, Pertama, bentuk dan massa bangunan dan gedung-gedung. Jumlah bangunan
pencakar langit yang banyak tidak menjamin sebuah perkotaan dikatakan maju.
Tata kota yang baik perlu memperhatikan kondisi kelayakan bentuk bangunan, baik
tinggi ataupun massa bangunan tersebut dengan memperhatikan risiko-risiko yang
mungkin terjadi akibat pendirian bangunan. Kedua, sirkulasi. Sirkulasi dalam
hal ini berhubungan dengan pencemaran udara akibat limbah, gas tercemar dan
polutan akibat asap kendaraan. Tata kota yang baik perlu memperhatikan
sirkulasi kota untuk menciptakan masyarakat yang sehat. Ketiga, ruang terbuka.
Pemerintah kota perlu menyediakan ruang terbuka dalam sebuah kota. Banyaknya jumlah
penduduk perkotaan berdampak pada peningkatan kesemerautan dan ketidakteraturan.
Oleh karena itu demi mengatasi permasalahan ini, ruang terbuka seperti
lapangan, street furniture, trotoar,
tempat pejalan kaki (pedestrian area), green
belt, taman dan sebagainya, yang perlu diadakan. Keempat, tanda-tanda (signage). Tanda-tanda penunjuk jalan merupakan salah satu elemen
yang mesti ada untuk mendukung penataan kota yang baik. Dengan adanya
tanda-tanda penunjuk kota akan terlihat rapi dan teratur. Dan terakhir kelima, kegiatan/tempat pendukung. Adanya
kegiatan/tempat pendukung seperti pusat pertokoan, pusat perbelajaan, pusat
perkantoraan, perpustakaan, pusat rekreasi, dan sebagainya dianggap penting
dalam sebuah kota.
Adanya
sinergisasi antara tata kelola dan pembatasan terhadap urbanisasi tentunya akan
menciptakan citra perkotaan yang baik dan tertata, sehingga akan menciptakan
masyarakat perkotaan yang teratur pula. Oleh karena itu hal yang penting
diperhatikan saat ini adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan urbanisasi
dan kepadatan perkotaan yaitu dengan pembatasan urbanisasi dan mengatur urban design yang baik.
Penulis
adalah Hendry Roris P. Sianturi, Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas
Lampung dan menjabat sebagai Sekretaris GMKI Bandarlampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.