Pada waktu SD, tepatnya kelas 4 sampai 6 SD,
setiap kali kalender keluarga menunjukkan angka merah 17 di bulan Agustus, Ayah
kami selalu membawa kami berkunjung ke makam Pahlawan yang ada di Kota Medan,
tepatnya di Jl. Sisingamangaraja, tidak jauh dari Stadion Teladan, kabanggaan
masyarakat kota Medan. Ayah biasanya membawa kami ke makam pahlawan ketika pagi
hari. Pada waktu itu, saya tidak mengerti mengapa ayah membawa kami untuk
berkunjung ke makam pahlawan, karena kami hanya melihat makam dari kejauhan,
dari luar pintu gerbang dan tidak masuk ke dalam. Aku masih ingat bagaimana
dari Gerbang Makam, ada nisan-nisan dan rumput-rumput kecil diantara semangat
juang yang sepertinya telah tertidur. Namun, setelah beberapa tahun tidak lagi
berkunjung ke makam, dan suatu waktu mendapat pelajaran IPS tentang perjuangan
pahlawan di SMP, aku menjadi yakin bahwa ayah kami memiliki maksud tertentu
mengapa setiap tahun ketika HUT R.I., ayah kami membawa kami ke Makam Pahlawan.
Menyambung tadi, setelah kami semua bersama ayah
selesai melihat makam pahlawan, kami pulang ke rumah dan bersiap-siap mengikuti
perlombaan tujuh belasan yang diselenggarakan pemuda di gang kami. Aku masih
ingat bagaimana mereka mempersiapkan kegiatan tujuh belasan, mulai dari
memasang bendera-bendera di jalan-jalan, menyebar undangan ke setiap rumah agar
datang menghadiri perlombaan tujuh belasan, mempersiapkan lapangan –kebetulan
dekat dengan rumahku- yang menjadi tempat kegiatan, dan melakukan kunjungan ke
rumah-rumah meminta dukungan dan bantuan baik secara materi atau dukungan
lainnya. Itu semua mereka lakukan agar acara kegiatan tujuh belasan, menjadi
meriah.
Lalu, aku langsung bersiap-siap untuk mengikut
lomba. Karena aku masih kecil ketika itu, lomba yang cocok untukku adalah,
memasukkan paku ke botol dan membawa guli
(kelereng) dengan menggunakan sendok menuju garis finish. Sebenarnya mau
ikut lomba satu lagi yaitu lari dengan menggunakan goni (karung), namun karena kebanyakan sehingga menjadi urung. Dan aku langsung ke lapangan.
Di lapangan, para warga sudah ramai berkerumun
dan semua perlombaan sudah siap dilaksanakan kecuali perlombaan Panjat Pinang,
karena perlombaan ini khusus dan eksklusif. Perlombaan panjat pinang akan
dilangsungkan sore ketika semua perlombaan telah selesai. Dan yang mengikutinya
pun adalah orang-orang dewasa.
Perlombaan yang pertama aku ikutin adalah
memasukkan paku ke botol. Aku lupa dapat juara berapa, yang pasti perlombaan
ini seru, karena selain memasukkan paku ke dalam botol tanpa boleh melihat ke
belakanga, setelah itu juga harus membawa botol yang sudah terisi paku ke garis
finish. Jadi, belari sambil memegang botol yang ada pakunya menghadap ke depan
sementara tangan kita memegang botol yang ada di belakang tubuh kita. Ha..haa..
seru dan very fun.
Setelah perlombaan itu, aku langsung mengikuti
perlombaan membawa guli menggunakan
sendok. Berdiri di garis start dengan masing-masing sendok, para peserta sudah
siap mendengar aba-aba. Ketika hitungan ketiga, semua peserta termasuk aku
berjalan menuju garis finish dengan perlahan dan hati-hati. Disinilah
keseruannya. Menuju garis finish tetapi guli
tidak boleh jatuh dari sendok. Perlahan tapi pasti akhirnya aku sampai ke
garis finish, namun sayang, aku tidak menang, karena yang lain sudah sampai
duluan ke garis finish. Tetapi orientasinya bukan pada kemenangan tetapi
bagaimana, kami semua bisa merasa senang dan saling bersilahturahmi.
Kalau mengingat kegiatan tujuh belasan dulu
dengan sekarang, memang ada perbedaan yang sangat mencolok. Kalau dulu,
seminggu sebelum tujuh belasan, euforia tujuh belasan sudah terasa sedangkan
sekarang ini, walaupun tanggal tujuh belas, namun euforianya sepertinya tidak
ada.
Walaupun pada dasarnya tujuh belasan bukan
kegiatan perlombaan, tetapi sebenarnya dengan melakukan kegiatan dan memasang
simbol-simbol, merupakan salah satu bentuk sederhana merefleksikan tujuh
belasan. Atau singgah ke makam pahlawan walau sekedar menyaksikan kepulasan
para pejuang.
Semuan kenangan tentang perlombaan tujuh belasan
akan selalu terbungkus dalam sanubari dan pasti tidak akan pernah terlupa
karena aku sendiri merupakan salah seorang dari 250-juta penduduk Indonesia
yang lahir tepat tujuh belasan jam 5 sore, dua puluh tiga taun silam.
Pada momentum HUT R.I. tahun ini, semoga Negara
kita lebih baik ke depan. Mari bersama-sama saudaraku sekalian untuk tidak
menyia-nyiakan tetes darah para pejuang kita. Hidup bangsaku, Dirgahayu
Negaraku,….MERDEKA!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.