Ketika
memimpin rapat koordinasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
tanggal 27 Juli kemarin, Presiden SBY menegaskan bahwa selain mendidik,
masa orientasi yang menjadi tradisi setiap sekolah dan perguruan tinggi
pada awal pelajaran harus relevan terhadap tujuan dan sasarannya. Selain
itu beliau juga menganjurkan agar setiap sekolah membangun komunikasi
horizontal yang baik antar siswa serta hubungan siswa dan guru.
Penegasan yang disampaikan Presiden kepada segenap petinggi pendidikan
Negara ini bukan tanpa alasan. Dari data yang diperoleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa 87,6 persen anak mengaku pernah
mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk. Maka
itu sangat bijaklah Presiden kita untuk menegur petinggi Pendidikan
Republik ini agar Masa Orientasi menjadi tepat sasaran.
Kekerasan
yang sering terjadi di sekolah khususnya di awal-awal pelajaran adalah
peristiwa yang sudah membudaya dan telah berlangsung lama sejak puluhan
tahun silam. Hanya saja baru disorot pada lima tahun terakhir ini. Dan
adanya praktek Bullying dalam
kemasan Masa Orientasi Siswa (MOS) bukan barang yang asing lagi.
Bentuk-bentuk praktek ‘senioritas’ bukan lagi menjadi ajang mendidik
melainkan ajang unjuk kehebatan.
Pada dasarnya praktik Bullying terjadi lebih dikarenakan adanya kekuatan yang lebih dari seseorang untuk melakukan bullying kepada
orang lain. Kekuatan tersebut bisa berupa materi, usia, kedudukan,
jabatan, dan sebagainya. Menurut Ken Rigby (Astuti: 2008), Bullying adalah
sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi
menyebabkan seorang menderita dan biasanya dilakukan oleh sekolompok
yang lebih kuat. Sehingga dapat kita asumsikan bahwa Bullying merupakan miniatur filosofih yang kuat adalah yang menang.
Sudah
barang tentu fenomena ini terjadi di Negara yang menganut
Neo-Liberalisme. Secara kerangka berpikirnya pun, sistem
Liberalisme/Neo-Liberalisme menciptakan ketimpangan kesetaraan.
Kebijakan ini akan membentuk budaya yang kuat menindas yang lemah.
Sehingga praktik bullying yang dipertontonkan sekolah kepada masyarakat menjadi salah satu efek domino sebuah sistem yang salah kaprah.
Secara
tidak langsung sistem kenegaraan yang hari ini dianut oleh bangsa kita,
akan menciptakan karakter hukum rimba sampai pada sektor pendidikan.
relevansinya adalah, ketika dalam kesehariannya anak sudah biasa hidup
dalam keliberalan, maka secara tidak langsung anak-anak akan melakukan
contoh-contoh kecil bentuk keliberalan itu.
Sistem
Neo-Liberlisme yang dianut bangsa Indonesia, memiliki dampak mendasar
yaitu menciptakan saling bersaing. Kebebasan yang ditawarkan lebih
mengarah kepada pencapaian terhadap sesuatu dengan segala cara, termasuk
‘menjajah’ orang yang dianggap lemah. Bullying hanya merupakan satu dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan sistem Neo-Liberalisme.
Di Negara Neo-Liberal lainnya seperti di Amerika Serikat dan Eropa, Bullying bahkan
menjadi salah satu penyebab bunuh diri remaja dan kaum muda. Latar
belakangnya karena ketakutan dan malu jika mau pergi ke sekolah lagi.
Dan sekitar 1 dari 7 siswa di Amerika menjadi korban Bullying di sekolah.
Maka dari itu, dari dampak ketimpangan kekuatan yang menjadi faktor utama Bullying, kita
bisa menelaah lagi bahwa tanpa disadari merupakan dampak dari sistem
Negara yang dewasa ini kita pakai dan terapkan di republic ini. Jika
pemerintah ingin mengubah tradisi bullying yang
sudah lama terjadi ini, dan mereorientasikan kegiatan MOS, terlebih
dahulu pemerintah perlu mengubah sistem Neo-Liberalisme, karena Bullying hanya satu dari ‘sejuta bunga’ Neo-Liberalisme.
Kasus Bullying adalah prototipe dari penerapan sistem Neo-Liberalisme, yang melibatkan kelompok power dengan kelompok lainnya yang powerless.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.