SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

8.20.2012

Bullying dan Neo-Liberalisme

Ketika memimpin rapat koordinasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Juli kemarin, Presiden SBY menegaskan bahwa selain mendidik, masa orientasi yang menjadi tradisi setiap sekolah dan perguruan tinggi pada awal pelajaran harus relevan terhadap tujuan dan sasarannya. Selain itu beliau juga menganjurkan agar setiap sekolah membangun komunikasi horizontal yang baik antar siswa serta hubungan siswa dan guru. Penegasan yang disampaikan Presiden kepada segenap petinggi pendidikan Negara ini bukan tanpa alasan. Dari data yang diperoleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk. Maka itu sangat bijaklah Presiden kita untuk menegur petinggi Pendidikan Republik ini agar Masa Orientasi menjadi tepat sasaran.


Kekerasan yang sering terjadi di sekolah khususnya di awal-awal pelajaran adalah peristiwa yang sudah membudaya dan telah berlangsung lama sejak puluhan tahun silam. Hanya saja baru disorot pada lima tahun terakhir ini. Dan adanya praktek Bullying dalam kemasan Masa Orientasi Siswa (MOS) bukan barang yang asing lagi. Bentuk-bentuk praktek ‘senioritas’ bukan lagi menjadi ajang mendidik melainkan ajang unjuk kehebatan.

Pada dasarnya praktik Bullying terjadi lebih dikarenakan adanya kekuatan yang lebih dari seseorang untuk melakukan bullying kepada orang lain. Kekuatan tersebut bisa berupa materi, usia, kedudukan, jabatan, dan sebagainya. Menurut Ken Rigby (Astuti: 2008), Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi menyebabkan seorang menderita dan biasanya dilakukan oleh sekolompok yang lebih kuat. Sehingga dapat kita asumsikan bahwa Bullying merupakan miniatur filosofih yang kuat adalah yang menang.

Sudah barang tentu fenomena ini terjadi di Negara yang menganut Neo-Liberalisme. Secara kerangka berpikirnya pun, sistem Liberalisme/Neo-Liberalisme menciptakan ketimpangan kesetaraan. Kebijakan ini akan membentuk budaya yang kuat menindas yang lemah. Sehingga praktik bullying yang dipertontonkan sekolah kepada masyarakat menjadi salah satu efek domino sebuah sistem yang salah kaprah.
Secara tidak langsung sistem kenegaraan yang hari ini dianut oleh bangsa kita, akan menciptakan karakter hukum rimba sampai pada sektor pendidikan. relevansinya adalah, ketika dalam kesehariannya anak sudah biasa hidup dalam keliberalan, maka secara tidak langsung anak-anak akan melakukan contoh-contoh kecil bentuk keliberalan itu.

Sistem Neo-Liberlisme yang dianut bangsa Indonesia, memiliki dampak mendasar yaitu menciptakan saling bersaing. Kebebasan yang ditawarkan lebih mengarah kepada pencapaian terhadap sesuatu dengan segala cara, termasuk ‘menjajah’ orang yang dianggap lemah. Bullying hanya merupakan satu dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan sistem Neo-Liberalisme.
Di Negara Neo-Liberal lainnya seperti di Amerika Serikat dan Eropa, Bullying bahkan menjadi salah satu penyebab bunuh diri remaja dan kaum muda. Latar belakangnya karena ketakutan dan malu jika mau pergi ke sekolah lagi. Dan sekitar 1 dari 7 siswa di Amerika menjadi korban Bullying di sekolah.

Maka dari itu, dari dampak ketimpangan kekuatan yang menjadi faktor utama Bullying, kita bisa menelaah lagi bahwa tanpa disadari merupakan dampak dari sistem Negara yang dewasa ini kita pakai dan terapkan di republic ini. Jika pemerintah ingin mengubah tradisi bullying yang sudah lama terjadi ini, dan mereorientasikan kegiatan MOS, terlebih dahulu pemerintah perlu mengubah sistem Neo-Liberalisme, karena Bullying hanya satu dari ‘sejuta bunga’ Neo-Liberalisme.
Kasus Bullying adalah prototipe dari penerapan sistem Neo-Liberalisme, yang melibatkan kelompok power dengan kelompok lainnya yang powerless.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.