SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

5.03.2012

Mahasiswa di Tengah Masyarakat

Mahasiswa di Tengah Masyarakat

Di tengah zaman hedonisme dewasa ini, cukup rumit jika kita ingin menanyakan sudah sejauh mana partisipasi dan pengaruh mahasiswa terhadap perkembangan masyarakat. Rumit tetapi bukan tidak mungkin untuk diefektifkan kembali status mahasiswa menjadi tonggak estafet bangsa untuk memajukan masyarakat. Korelasinya adalah mahasiswa merupakan salah satu kompoenen masyarakat dan mendapat atribut sebagai kaum intelektual. Oleh karena itu mahasiswa dituntut agar dapat berpartisipasi di tengah masyarakat. Anthony Giddens salah satu teoritikus sosial menegaskan bahwa setiap manusia seharusnya dapat berpartisipasi atau “bertindak” dalam konteks kehidupan sosial juga mencakup pengetahuan tentang bagaimana mematuhi peraturan (rule).1


Pada dasarnya banyak permasalahan yang hadir ditengah – tengah masyarakat saat ini seperti, krisis moral. Dalam kurun beberapa tahun ini sangat sering kita saksikan bagaimana bangsa kita dilanda kepesimisan hidup sehingga dengan mudah diprovokasi untuk melakukan hal – hal yang sejatinya sangat bertolak belakang dengan budaya bangsa kita. Salah satu contoh yang sangat memiriskan wajah bangsa kita adalah pertikaian dan perselisihan sesama masyarakat Indonesia. Tidak jarang akhir – akhir ini terjadi pertikaian yang dilakukan orang – orang baik antar daerah ataupun antar suku bahkan antar agama. Kebanyakan konflik yang terjadi di Indonesia semula diawali dengan hal – hal sepele, hanya saja ini menjadi besar ketika dihubungkan dengan isu SARA. Dan dengan mudahnya bangsa kita tersulut oleh amarah yang menyebabkan perselisihan menjadi lebih bringas. Budaya pluralisme yang masih menjadi landasan ideologi bangsa sepertinya sudah mulai luntur dan lekang. Seringnya terjadi konflik horizontal jika ditarik benang lurusnya sebenarnya didasari pada permasalahan fundamental yaitu krisis moral. Dan jika diturunkan lagi permasalahan ini dipicu karena adanya pesimistis atas keadaan hidup, sehingga ini menjadi pemantik untuk bisa lebih mudah bagi oknum – oknum tertentu untuk memanajemen konflik sehingga terjadilah pertikaian yang tidak sedikit memakan korban. Oknum – oknum yang mencoba mencari keuntungan dengan adanya konflik horizontal menciptakan suasana konspirasi yang secara politis sebenarnya cukup berbahaya dan akan menimbulkan kondisi saling curiga (Bubandt, 2000)2.
Oleh karena itu permasalahan krisis moral yang membelenggu masyarakat saat ini harus dituntaskan karena akan berpengaruh terhadap keutuhciptaan 4 pilar bangsa yang menjadi tonggak startegis kekuatan bangsa Indonesia.

Lalu permasalahan kedua yang sarat terjadi di masyarakat ialah rendahnya mutu sumber daya manusia. Selama ini pemerintah kurang bijak untuk menjawab permasalahan ini. Acap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kurang mencerdaskan dan tidak berorientasi pada peningkatan mutu SDM, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, Subsidi, dan Pengadaan Pupuk Murah. Seolah – olah bangsa kita bukan manusia yang tidak mempunyai pikiran untuk menghidupi dirinya sendiri, sehingga timbul pertanyaan apakah memang pemerintah ingin mencetak masyarakat menjadi masyarakat pengemis dan peminta – minta atau pemerintah memang kurang arif dalam hal ini untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam rangka membantu dan memajukan masyarakat?
Barangkali jika kita berkaca dari kebijakan pemerintah kepada masyarakat menurut hemat saya amatlah mubajir dan sia – sia karena pemerintah tidak membantu masyarakat yang dampaknya untuk skala panjang namun hanya untuk sementara waktu saja. Jika kita analisis, seharusnya masyarakat tidak perlu diberi BLT, tetapi masyarakat seharusnya diberi lapangan pekerjaan agar bisa menghidupi diri ataupun keluarganya bukan member mereka uang ‘receh’. Lalu setelah uang itu habis, terus mau minta duit lagi? Kemudian petani diberi pupuk murah, ini juga cukup rumit. Seharusnya pemerintah memberikan penyuluhan ataupun workshop kepada para petani bagaimana bisa membuat pupuk yang baik dengan menggunakan dan mengolah limbah – limbah organik yang sebenarnya bisa diperoleh dengan mudah menjadi pupuk organik, sehingga tidak perlu lagi pemerintah harus berletih-ria untuk memberi pupuk murah kepada petani, karena ke depannya dengan memberikan pecerdasan yang optimal, mereka sudah bisa membuat pupuk yang mungkin lebih baik dan tidak harus meminta – minta terus.

Dari inventarisir permasalahan diatas, kita bisa melihat bahwa permasalahan ini menjadi permasalahan mendasar masyarakat saat ini. Lalu kemudian mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya resah dan gerah melihat potret seperti ini. Mahasiswa seharusnya bisa berpartisipasi dalam penanganan permasalahan masyarakat yang terjadi hari ini.

Sebenarnya tidak ada alasan bagi mahasiswa menolak atau tidak mengindahkan partisipasi untuk memajukan masyarakat. Karena mahasiswa adalah unsur utama dari Perguruan Tinggi dan perguruan tinggi memiliki Tri Dharma yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat salah satunya Pengabdian Masyarakat. Maka dari itu tidak ada alasan untuk apatis terhadap permasalahan masyarakat yang terjadi saat ini.

Pada prosesnya mahasiswa adalah posisi paling strategis untuk bisa diterima di masyarakat. Selain memiliki semangat dan kreatifitas yang tinggi, mahasiswa juga masih dinilai murni (pure) dari kepentingan – kepentingan baik politis ataupun lainnya. Sehingga tinggal bagaimana mahasiswa mau terjun untuk berperan dalam rangka memajukan masyarakat.

Hampir setiap perguruan tinggi saat ini memiliki yang namanya program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Program ini adalah mata kuliah wajib yang tidak seperti mata kuliah lainnya, berada di dalam ruangan kelas. Substansinya adalah mahasiswa terjun langsung ke tengah - tengah masyarakat khususnya yang ada di daerah – daerah untuk mengaplikasikan ilmu perkuliahan dan dengan ilmu yang dimiliki diharapkan bisa membantu proses pengembangan daerah yang akan menjadi tempat/daerah praktek mahasiswa. Permasalahannya adalah, sampai sekarang program ini masih belum bisa berjalan dengan efektif. Ini berdasarkan indikator bahwa ketika mahasiswa selesai melaksanakan program ini, tidak ada dampak positif yang bisa hadir di masyarakat.

Ada faktor mengapa hal ini bisa terjadi yang pertama adalah waktu. Waktu yang diberikan oleh pihak perguruan tinggi masih sangat singkat. Hampir setiap universitas memberikan waktu satu sampai dua bulan saja sehingga mahasiswa tidak bisa berbuat banyak dalam waktu yang sesingkat itu. Faktor yang kedua adalah manajemen yang kurang efektif. Seharusnya jika Perguruan Tinggi memang memandang program KKN adalah program yang akan meningkatkan kemajuan masyarakat, maka harusnya ada sebuah formulasi untuk mengontrol dan mengevaluasi hasil –hasil setiap kali diadakannya program KKN ini, sehingga ketika KKN selanjutnya yang akan diadakan oleh mahasiswa semester depan, bisa lebih efektif dan hal – hal yang masih perlu diteruskan bisa di-followup. Maka dari itu, perlu adanya manajemen yang baik untuk memajukan masyarakat khususnya yang ada di daerah. Sehingga jelaslah bahwa Perguruan Tinggi memang betul – betul menjunjung Tri Dharma sebagai dasar fungsi Perguruan Tinggi. Faktor yang ketiga adalah kurangnya pengenalan karakteristik budaya suatu daerah. Pembekalan tentang pengenalan karakteristik kebudayaan suatu daerah yang dijadikan tempat KKN seringkali masih kurang gamblang. Pembekalan yang diberikan kepada mahasiswa seharusnya jelas dan terperinci agar bisa membantu mahasiswa untuk lebih cepat menyatu di tengah – tengah masyarakat. Kemajemukan budaya di Negara kita menuntut agar kita bisa mengenal budaya daerah yang akan dituju karena dalam masyarakat yang majemuk dapat menjadi sulit untuk memahami norma – norma yang berlaku di daerah tersebut yang sudah menjadi dasar kehiduapan masyarakat karena biasanya berbeda dengan yang sering kita pahami dalam kehidupan sehari – hari3.
Oleh karena itu, program KKN merupakan salah satu media yang efektif untuk menjadikan mahasiswa sebagai komponen startegis untuk memajukan masyarakat khususnya yang ada di daerah – daerah.

Selanjutnya, hampir semua Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki organisasi – organisasi kampus. Prestasi organisasi kampus merupakan salah satu indikator akreditas suatu Perguruan Tinggi. Untuk itu perguruan tinggi seharusnya dapat mendukung aktifitas dan kreatifitas organisasi – organisasi kampus.
Pada struktur organisasi kampus, pihak Perguruan Tinggi memiliki wewenang penuh atas apa yang terjadi dalam organisasi kampus. Relevansinya terhadap memajukan masyarakat adalah Perguruan Tinggi bisa memberikan saran kepada organisasi kampus untuk terjun ke masyarakat, mengadakan pelatihan – pelatihan ataupun penyuluhan sesuai dengan studinya. Contohnya adalah, Perguruan Tinggi bisa menunjuk BEM di setiap universitas untuk mengadakan penyuluhan atau workshop yang melibatkan mahasiswa. Jika ingin memberikan penyuluhan tetang bidang pertanian maka bisa mengorganisir mahasiswa yang berasal dari Fakultas Pertanian atau tentang penyuluhan dan workshop HAM, bisa melibatkan mahasiswa Fakultas Hukum. Tetapi semuanya ini bisa berjalan efektif dan optimal kalau saja pihak Perguruan Tinggi juga bisa mendukung penuh program ini sehingga bisa menjawab permasalahan mendasar tadi, yaitu rendahnya mutu SDM masyarakat.

Menuntut peranan mahasiswa untuk memajukan masyarakat tanpa dukungan baik dari Perguruan Tinggi, Media dan Institusi lain dirasa cukup rumit untuk digalakkan ditengah derasnya arus globalisasi dan lingkaran hedonisme-pragmatis dewasa ini. Apalagi saat ini mahasiswa juga berdiri pada dua sisi, berpacu dengan SKS – SKS atau mengasa sensitivitas atas realita yang terjadi di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, mahasiswa sangat membutuhkan dukungan untuk berperan lebih banyak lagi untuk memajukan masyarakat.

*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Lampung dan Sekretaris Cabang GMKI Bandarlampung.

 


1lihat Beilharz, Peter. 2005. Teori – teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof terkemuka (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hal. 193
2lihat Abdullah, Taufik. 2006.Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 251
3 lihat Haviland, William A., 1999. Antropologi Ed. 4 (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Hal. 336

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.