SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

4.16.2012

Kecacatan Gereja Tempo Doeloe


Kecacatan Gereja Tempo Doeloe


Inkuisisi1 adalah manifestasi dengan isu reformatif yang dilakukan ‘Kristen’ sejak abad ke – 13 sampai awal abad ke – 19. 6 abad ‘oknum’ mengkampanyekan ‘kesucian’ kekristenan dengan mengadili, mengintimidasi, menghakimi, membunuh, membantai, menyeka linang – linang air mata derita, menyiksa, dan tidak sedikit yang terurai nyawa atas nama Kristen dan kebenaran. Bangsa Moor2, Yahudi dan lainnya, bahkan warga Kristen sendiri menjadi ‘penyicip’ kelamnya masa inkuisisi.
Inkuisisi adalah fundamentalis agama. Kristen itu kasih, kasih itu murah hati bukan seperti binatang yang membunuh spesiesnya sendiri. Bahkan binatang masih memiliki perhitungan untuk saling membunuh.

Inkuisisi adalah potret sejarah Kekristenan yang tidak bisa dilupakan. Sejarah menentukan hari ini, dan hari ini menentukan masa depan.
Tantangan kekristenan saat ini adalah efektasi masa kegelapan dan Inkusisi dahulu. Hemat saya, ini adalah pekerjaan oknum yang memakai agama sebagai entry point dalam proses konspirasi dan adu domba manusia. Proses yang cerdik dan menghasilkan entitas View of long (pandangan jauh).

Lalu kemudian, bagaimana dewasa ini?
Andai saja masa kekelaman Inkuisisi kembali terulang, bukan tidak mungkin agama menjadi media paling strategis untuk memicu peperangan.

Keberagaman yang ada di Indonesia, merupakan peluang dan kebanggaan sekaligu ancaman yang paling menakutkan. Jika ditelisik dan dikaji lebih lanjut, Indonesia adalah salah satu Negara yang paling rentan dengan konflik horizontal. Keberanekaragaman SARA, menimbulkan keberanekaragaman ego pula. Dan untuk mengontrol itu semua memang perlu ideology kuat sehingga saling memiliki rasa toleransi tinggi.
Namun sampai kapan bertahan?

Andai saja masa kekelaman inkuisisi kembali terulang, Indonesia menjadi salah satu Negara yang pertama sekali porak – poranda.

Kekristenan di Indonesia saat ini pun telah cacat. Tidak adanya kesatuan, merapuhkan Gereja. Salah satu  Latar belakangnya adalah kurangnya mereflektifkan fakta – fakta sejarah tentang kecacatan Kekristenan. Barangkali tidak banyak warga Kristen yang memahami bagaiamana dinamika Masa kegelapan (Perang Salib) dan Masa Inkuisisi, yang sebenarnya ini harus menjadi bahan evaluatif Gereja agar setidaknya mengurangi ego dan radikalisme dan harus mengakui bahwa gereja dahulu pernah cacat, hari ini dan ke depan, agar tidak terjadi hal seperti itu atau de javu konflik.
Sulit namun bisa, seandainya gereja mau belajar dari sejarah, kronologi bagaimana filosofi awal terbentuknya Kristen dan kecacatan Kristen yang pernah dilakukan, agar kita bisa mengantisipasi dan tidak terulang kembali.

Manusia tidak saja tersusun dari kata – kata mutiara. Kebiasan ini telah diterangkan oleh – Nya. Kekongkretan kemulian – Nya telah ditunjukkan dengan menghadirkan representasi KRISTEN (bukan agama melainkan pengikut Kristus). Dia datang ke dunia bukan saja menebus dosa manusia, namun Dia mengisyaratkan bagaimana kita bisa mengantisipasi agar tidak tergerus dosa. Darah – Nya bukan untuk memutihkan hitam, namun juga memutihkan abu – abu. Dia Sang human prototype hebat, dan menyederhanakan kemauan Tuhan, agar manusia itu Lahir – Hidup – Mati – (dan kelak) Bangkit. Sederhana. Dia datang bukan tanpa permisi, bintang menunduk dan mazmur dunia bergema. Dia mati bukan tanpa kubur dan tetes air mata, seperti rupa kita, Dia representasi kehidupan sesungguhnya.
Tuhan tidak pernah melarang kita untuk ber-dinamis. Justru Dia mengubah segalanya dalam kedinamisan dunia yang terdeskripsikan dalam Perjanjian Baru.

Oleh karena itu, mari bersama – sama menghapuskan radikalisme agama. Tuhan tidak pernah memperhitungkan apa agama kita. Dia tidak pernah memperbincangkan ke hati kita masing – masing tentang agama mana yang benar. Tetapi dia memberi kita rasa dalam iman untuk mencerna apa yang di rasakan oleh Indera kita. Transenden barangkali, namun “berbahagilah kita yang tajam imannya, bukan agamanya”. Karena orang Lewi pun membiarkan sesamanya yang sedang menderita di jalanan.

Ajaran-Nya tidak Fasis dan statis. Tidak ada larangan untuk menerapkan kedinamisan hidup. Kekuatan sejati timbul bukan karena kata – kata motivasi saja – namun juga dengan Iman. Selagi agama masih relevan untuk pengasahan iman, marilah kita beragama. Dan jika agama telah menjelajah jauh dari koridor ajaran-Nya apalagi kembali ke de-javu Inkuisisi, barangkali perlu adanya revitalisasi fungsi Gereja dan Agama.

Mari kita berdiskusi pada cermin Iman dan memperbaiki kecacatan yang pernah dilakukan gereja. Hidup bukan menguatkan agama saja – lebih dari itu – keyakinan (iman) esensi hal – hal yang tidak terlihat namun nyata.
Selamat mengasah iman/keyakinan/Faith

Hendry Sianturi
Sekretaris GMKI Bandarlampung
2010 – 2012

1Pengadilan yang digunakan bangsa Kristen Eropa untuk mengadili orang – orang yang dianggap lari dari ajaran gereja, kafir, bidah, bidat. Biasanya Inkuisitor (pengadil), melakukan intimidasi kepada orang yang diadili di Inkuisisi. Gereja dalam hal ini adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas kebiadaban gereja ketika itu.
2bangsa Afrika Utara yang menganut agama Muslim. Solusi yang ditawarkan kepada bangsa Moor ketika gejolak terjadi adalah, menjadi Marisco (menjadi Kristen dengan paksaan), keluar dari Eropa (kembali ke Afrika) atau mati di pengadilan Inkuisisi. Intimadasi terang – terangan dirasakan kaum Moor, mulai dari pembakaran buku – buku dan kitab – kitab sampai pada konspirasi pembunuhan tokoh – tokoh pemberontak dari bangsa Moor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.