Kecacatan
Gereja Tempo Doeloe
Inkuisisi1
adalah manifestasi dengan isu reformatif yang dilakukan ‘Kristen’ sejak abad ke
– 13 sampai awal abad ke – 19. 6 abad ‘oknum’ mengkampanyekan ‘kesucian’
kekristenan dengan mengadili, mengintimidasi, menghakimi, membunuh, membantai,
menyeka linang – linang air mata derita, menyiksa, dan tidak sedikit yang
terurai nyawa atas nama Kristen dan kebenaran. Bangsa Moor2, Yahudi
dan lainnya, bahkan warga Kristen sendiri menjadi ‘penyicip’ kelamnya masa
inkuisisi.
Inkuisisi
adalah fundamentalis agama. Kristen itu kasih, kasih itu murah hati bukan
seperti binatang yang membunuh spesiesnya sendiri. Bahkan binatang masih
memiliki perhitungan untuk saling membunuh.
Inkuisisi
adalah potret sejarah Kekristenan yang tidak bisa dilupakan. Sejarah menentukan
hari ini, dan hari ini menentukan masa depan.
Tantangan
kekristenan saat ini adalah efektasi masa kegelapan dan Inkusisi dahulu. Hemat
saya, ini adalah pekerjaan oknum yang memakai agama sebagai entry point dalam proses konspirasi dan
adu domba manusia. Proses yang cerdik dan menghasilkan entitas View of long (pandangan jauh).
Lalu
kemudian, bagaimana dewasa ini?
Andai saja masa kekelaman
Inkuisisi kembali terulang, bukan tidak mungkin agama menjadi media paling
strategis untuk memicu peperangan.
Keberagaman
yang ada di Indonesia, merupakan peluang dan kebanggaan sekaligu ancaman yang
paling menakutkan. Jika ditelisik dan dikaji lebih lanjut, Indonesia adalah
salah satu Negara yang paling rentan dengan konflik horizontal. Keberanekaragaman
SARA, menimbulkan keberanekaragaman ego pula. Dan untuk mengontrol itu semua
memang perlu ideology kuat sehingga saling memiliki rasa toleransi tinggi.
Namun
sampai kapan bertahan?
Andai saja masa kekelaman
inkuisisi kembali terulang, Indonesia menjadi salah satu Negara yang pertama
sekali porak – poranda.
Kekristenan
di Indonesia saat ini pun telah cacat. Tidak adanya kesatuan, merapuhkan
Gereja. Salah satu Latar belakangnya
adalah kurangnya mereflektifkan fakta – fakta sejarah tentang kecacatan
Kekristenan. Barangkali tidak banyak warga Kristen yang memahami bagaiamana
dinamika Masa kegelapan (Perang Salib) dan Masa Inkuisisi, yang sebenarnya ini
harus menjadi bahan evaluatif Gereja agar setidaknya mengurangi ego dan
radikalisme dan harus mengakui bahwa gereja dahulu pernah cacat, hari ini dan
ke depan, agar tidak terjadi hal seperti itu atau de javu konflik.
Sulit
namun bisa, seandainya gereja mau belajar dari sejarah, kronologi bagaimana
filosofi awal terbentuknya Kristen dan kecacatan Kristen yang pernah dilakukan,
agar kita bisa mengantisipasi dan tidak terulang kembali.
Manusia
tidak saja tersusun dari kata – kata mutiara. Kebiasan ini telah diterangkan
oleh – Nya. Kekongkretan kemulian – Nya telah ditunjukkan dengan menghadirkan
representasi KRISTEN (bukan agama melainkan pengikut Kristus). Dia datang ke
dunia bukan saja menebus dosa manusia, namun Dia mengisyaratkan bagaimana kita
bisa mengantisipasi agar tidak tergerus dosa. Darah – Nya bukan untuk
memutihkan hitam, namun juga memutihkan abu – abu. Dia Sang human prototype hebat, dan menyederhanakan kemauan Tuhan, agar manusia
itu Lahir – Hidup – Mati – (dan kelak) Bangkit. Sederhana. Dia datang bukan
tanpa permisi, bintang menunduk dan mazmur dunia bergema. Dia mati bukan tanpa
kubur dan tetes air mata, seperti rupa kita, Dia representasi kehidupan
sesungguhnya.
Tuhan
tidak pernah melarang kita untuk ber-dinamis. Justru Dia mengubah segalanya
dalam kedinamisan dunia yang terdeskripsikan dalam Perjanjian Baru.
Oleh
karena itu, mari bersama – sama menghapuskan radikalisme agama. Tuhan tidak
pernah memperhitungkan apa agama kita. Dia tidak pernah memperbincangkan ke
hati kita masing – masing tentang agama mana yang benar. Tetapi dia memberi
kita rasa dalam iman untuk mencerna apa yang di rasakan oleh Indera kita.
Transenden barangkali, namun “berbahagilah kita yang tajam imannya, bukan
agamanya”. Karena orang Lewi pun membiarkan sesamanya yang sedang menderita di
jalanan.
Ajaran-Nya
tidak Fasis dan statis. Tidak ada larangan untuk menerapkan kedinamisan hidup.
Kekuatan sejati timbul bukan karena kata – kata motivasi saja – namun juga
dengan Iman. Selagi agama masih relevan untuk pengasahan iman, marilah kita
beragama. Dan jika agama telah menjelajah jauh dari koridor ajaran-Nya apalagi
kembali ke de-javu Inkuisisi,
barangkali perlu adanya revitalisasi fungsi Gereja dan Agama.
Mari
kita berdiskusi pada cermin Iman dan memperbaiki kecacatan yang pernah
dilakukan gereja. Hidup bukan menguatkan agama saja – lebih dari itu –
keyakinan (iman) esensi hal – hal yang tidak terlihat namun nyata.
Selamat
mengasah iman/keyakinan/Faith
Hendry
Sianturi
Sekretaris
GMKI Bandarlampung
2010
– 2012
1Pengadilan
yang digunakan bangsa Kristen Eropa untuk mengadili orang – orang yang dianggap
lari dari ajaran gereja, kafir, bidah, bidat. Biasanya Inkuisitor (pengadil),
melakukan intimidasi kepada orang yang diadili di Inkuisisi. Gereja dalam hal
ini adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas kebiadaban gereja ketika
itu.
2bangsa
Afrika Utara yang menganut agama Muslim. Solusi yang ditawarkan kepada bangsa
Moor ketika gejolak terjadi adalah, menjadi Marisco
(menjadi Kristen dengan paksaan), keluar dari Eropa (kembali ke Afrika)
atau mati di pengadilan Inkuisisi. Intimadasi terang – terangan dirasakan kaum
Moor, mulai dari pembakaran buku – buku dan kitab – kitab sampai pada
konspirasi pembunuhan tokoh – tokoh pemberontak dari bangsa Moor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.