Oleh : Hendry R.P.S.*
“Lalu roda berputar di jalan datar
Gilas akar jadi sampah
Tampar sketsa wajah aspal ulang
berulang
Engkau terlahir dengan panggilan
Hajar
Matang, sebagai tukang ajar
Bagai air hujan, engkau
menghilangkan haus para akar
Di kala kemarau terpapar pembawa
kemelaratan
Kini, engkau terlahir
Tidak ada – sudah tahu
Tiap jengkal tahun sejak ini,
terkumandang mewangi Tut Wuri Handayani
Saat bermandi peluh, engkau hantar
pucuk-pucuk kembang muda
Hingga gapai pintu impian
Dan kau temui gelar di SK No.
305/TK/Th. 1959”
(Sepenggal
dari sajak SK No. 305/TK/Th. 1959)
“Melihat
kegelisahan bangsa ini, semakin caruk maruk saja ya”, setidaknya demikianlah
yang dikatakan kaum yang ter-marginalkan sekarang
ini. Dan sekarang pernyataan di atas akan saya lempar kepada Anda, dan
bagaimana Anda menyikapinya? Tentunya saya tidak akan pernah tahu jawaban Anda
masing – masing secara langsung yang keluar dari sebuah bibir
yang tidak bertabir. Tetapi dari
hati terdalam Anda mungkin, pastilah ‘mengklik like – this’ untuk pernyataan awal itu, khususnya kepada saudara – saudara yang memang
merasakannya hari ini.
Kesenjangan
tetap akan menjadi kesenjangan seperti penyakit tiada ada obatnya. Jika di inventarisir secara men-detail, maka semua jenis masyarakat mulai dari tataran aparatur
instansi negeri dan swasta hingga proletar
(masyarakat biasa), bisa merincikannya dengan deretan – deretan yang
panjang, atau tidak berujung barangkali. Karena memang ‘saking’ banyaknya, semua orang pasti bisa menjabarkannya
dengan luwes dan lancar.
Tapi kali ini,
ada hal yang mau saya sampaikan terkait tentang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Karena permasalah pendidikan
bangsa ini khususnya, sudahlah terlalu pelik. Adakah kita sebagai warga Negara Indonesia mengetahui perasaan
– perasaan para pejuang pendidikan
seperti Ki Hajar Pendidikan yang dulunya yang pernah memperjuangkan ‘berdarah – darah’ pendidikan
Indonesia agar lebih baik? Ada, namun tidak banyak. Apresiasi untuk menjadikan
hari kelahiran beliau sebagai hari Pendidikan Nasional menurut saya bukanlah
apresiasi berlebih. Bahkan sebenarnya tidak menutup
kemungkinan untuk ditetapkan sebagai hari libur se-Nasional . Dan saat ini, perjuangan yang pernah dilakukan oleh tokoh –
tokoh terdahulu, tidak lagi dijumpai.
Pendidikan
Indonesia belumlah mendapat perhatian yang lebih sepertinya. Bahkan secara
frontal saya mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia seperti tidak diperhatikan,
yang dilakukan dengan sengaja.
Tentunya gambaran seperti ini mengindakasikan bahwa adanya ‘proyek’ pembodohan
bangsa. Bukan tidak mampu atau kurang cerdasnya pemerintah untuk menciptakan
resolusi atas permasalahan dunia pendidikan di bangsa ini. Tetapi kembali lagi, ini adalah kesengajaan.
Well, jika
berbicara tanpa referensi sepertinya kurang kuat, dan mari kita
lihat gambarannya, yang pertama adalah, fakta mengatakan bahwa di beberapa daerah,
contohnya adalah daerah papua, hampir diseluruh daerah tersebut sangat minim
didirikan sekolah, khususnya sekolah negeri (sekolah pemerintah). Tentunya
dalam hal ini, timbul pemahaman kita bahwa mengapa tidak didirikan sekolah –
sekolah negeri disana padahal untuk mencerdaskan seseorang, sekolah merupakan
salah satu solusi yang baik. Namun yang menjadi pertanyaan di benak saya
adalah, apakah memang pemerintah masih belum siap untuk mendirikan sekolah – sekolah
negeri disana atau memang sengaja dibuat ‘bodoh’ masyarakat daerah disana?
Alasan saya ini menjadi wajar ketika
realitas masyarakat daerah tersebut memang masih sangat minim tentang
pendidikan. Dan ini sangat mempengaruhi pertumbuhan SDM. Yang Kedua, adalah dimana
perhatian kepada sekolah – sekolah se – Nusantara masih kurang merata. Sekolah
– sekolah yang berada di pedesaan terkadang kurang diperhatikan oleh pemerintah
perkembangannya. Padahal seharunsnya semua bangsa (tidak terkecuali) mendapat
perlakuan yang sama terkait pendidikan. Setidaknya begitu inti yang
termaklumatkan di UUD’45. Berbeda dengan bunyi itu, kenyataannya sangatlah
kotras akan bunyi itu. Dan ini mengapa menjadikan pedesaan cenderung lambat
perkembangannya, yang memicu melahirkan kualitas SDM yang sangat minim. Yang
Ketiga,ialah pendidikan cenderung hanya milik orang kaya saja. Ini
dapat dikaji lewat berdirinya beberapa sekolah – sekolah yang berlabelkan
sekolah internasional. Sebenarnya saya melihat ini hanyalah kedok untuk meraup
keuntungan sepihak. Sehingga orang –orang akan berbondong – bondong ke sekolah
tersebut dan sekolah negeri (pemerintah) nantinya akan ditinggalkan. Sekolah
internasional memang sangat marak di beberapa daerah sekarang ini, namun itu
bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Sehingga yang akan sekolah disana hanyalah dari kalangan yang mampu, sedangkan
yang kurang mampun akan sekolah di sekolah biasa yang notabene kurang
diperhatikan.
Dan Yang keempat, adalah adanya
kecenderungan pelanggaran HAM ketika soal Ujian Nasional harus disamaratakan
bobotnya ke semua siswa di seluruh daerah se-Nusantara. Menjadi pertanyaan
kembali, apakah memang perhatian pemerintah kepada sekolah se-nusantara juga
sudah merata? Tentunya semua kita akan menjawab “belum”. Lalu apakah layak jika
seorang siswa pedesaan yang mutu pendidikannya sangat jauh dari kelayakan
dengan mutu pendidikan di kota, harus menjawab soal ujian yang sama bobotnya
dengan siswa yang ada di kota?
Sangatlah tidak relevan dan tidak
manusiawi jika hal itu dilakukan. Sehingga saya rasa perlu ada pemisahan dan
penyekatan soal – soal yang akan dijawab oleh siswa berdasarkan proses belajar
siswa disekolah dan kelayakan mutu sekolah – sekolah baik di pedesaan maupun di
kota. Dan kalau memang pemerintah hari ini belum bisa untuk menerapakan standar
kelulusan yang ditetapkan secara merata dengan baik, mengapa tidak dihapuskan
saja. Dan saya rasa pemerintah dalam hal ini Kemendiknas, harus kembali
mengkaji kesiapan siswa untuk mengikuti dan menerima kebijakan Ujian Nasional
khususnya standar kelulusan Ujian Nasional.
Sepenggal permasalahan Negara ini
tentang pendidikan yang tergambar seperti diatas, merupakan permasalahan yang
harus segera diantisipasi dan disikapi menurut saya. Karena ini aka ber-impact nantinya kepada peningkatan
kemampuan SDM yang harus siap menatap masa depan. Dan menurut saya inilah yang
menjadi pemasalahan fundamental bangsa ini. Anda akan terkejut, ketika bangsa
ini akan kembali dijajah oleh bangsa lain. Mungkin tidak seperti zaman
penjajahan dulu bentuk penjajahannya. Tetapi kita akan dijadikan budak karena
kebodohan kita sendiri. Pemerintah harus berani menginvestasi besar – besaran
kepada dunia pendidikan seperti yang pernah dilakukan Jepang ketika mereka
pernah di bombardir oleh sekutu di tahun 1945 silam. Dimana yang pertama sekali
dicari pasca peristiwa tersebut adalah tenaga pengajar. Dan saat ini mereka
berhasil menciptakan SDM – SDM yang berkualitas.
Harapannya, pemerintah dapat mengambil
pelajaran tersebut dan bisa menerapkannya terhadap Negara ini.
Istana
dan gubuk
“Ada – ada saja”. Itulah respon pertama
sekali yang bisa dirasakan beberapa orang terkait rencana pembangunan gedung
DPR yang nan – megah itu. Dan saya pikir, isu seperti ini semakin membuat citra
wakil – wakil rakyat semakin memburuk dihadapan bangsa. Begitu banyak bangunan
– bangunan yang sebenarnya tidak layak lagi salah satunya sekolah – sekolah
yang mau ambruk, yang seharusnya diperhatikan dan diperbaiki. Tentu jelas,
rencana pembangunan gedung megah ini tidaklah relevan dengan kekondisian bangsa
ini sekarang. Pemerintah dalam hal ini seharusnya lebih memperhatikan kondisi
gubuk – gubuk Negara daripada berencana membangun istana megah. Padahal jika
melihat esensinya lebih baiklah jika gubuk – gubuk (sekolah – sekolah) lebih
diutamakan daripada mendirikan sebuah istana. Bagaimana mungkin kita melihat
potret sebuah istana dikelilingin oleh gubuk – gubuk mau ambruk?
SDM yang bermutu akan menjadikan bangsa
yang berkualitas. Dan itu sudah menjadi prinsip dasar suatu dalam berbangsa.
Dan Anda bisa mengkomparasikan dengan
Negara lain bagaimana mereka memperlakukan pendidikan, sehingga menghasilkan
SDM yang berkualitas dan berdampak pada perkembangan Negara mereka.
Pendidikan
adalah investasi, dan kaum intelektual adalah adalah sebuah manifestasi yang paling
berharga dari suatu bangsa. Oleh karena itu butuh proses yang berkesinambungan
dan hasilnya tidaklah bisa dicapai secara instan. Butuh usaha dari semua
kalangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi mau kapan lagi, jika tidak sekarang untuk
mentransformasi dunia pendidikan di pertiwi ini.
Tulisan ini
saya hantarkan bukan ingin mengkritik pemerintah atau oknum tertentu, tetapi
inilah sktetsa wajah pendidikan bangsa hari ini. Namun biarlah ini menjadi
‘cubitan kecil’ untuk saya, Anda dan bangsa ini secara kolektif.
Dan saya mengucapkan, Selamat Hari
Pendidikan Nasional. Semoga dunia pendidikan bangsa ini semakin baik dan
mengahsilkan SDM yang bermartabat dan nasionalis.
23.30 WIB
Bandarlampung, 1 Mei 2011
*Mantan
Ketua Humas UKM-Kristen Unila, Mantan Ketua Umum UKM-F Kelompok Studi Seni FKIP
Unila, Sekretaris Cabang GMKI Bandarlampung Masa Bakti 2010 - 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.