Jika Bahasa Indonesia, Asing di
Negeri Sendiri
![]() |
Fotografer: Agriana Ali (Eva) |
Berbicaralah dengan Bahasa Indonesia yang baku di depan Ivan Lanin,
jika tidak ingin ditegur “Penasehat bahasa” ini. Pengalaman itu aku rasakan
ketika wawancara Ivan di kediamannya, Kebayoran Lama bulan Desember lalu.
Ketika terdengar desingan mesin dari luar rumah Ivan, aku celetuk. “Ada foging
yah Bang.” Dengan spontan Ivan menjawab
, “pengasapan (bukan foging),” katanya
sambil tertawa.
Pria perawakan sederhana itu beranggapan, saat ini masyarakat sering asing
dengan bahasa Indonesia sendiri. Masyarakat memang suka mencampur-campur bahasa
asing dengan Bahasa Indonesia dan menganggap hal tersebut lumrah. “Misalnya, hampir
nggak ada orang bilang, rapat kita batalkan. Pasti bilangnnya meeting di-cancel yah,” katanya sembari
tersenyum.
Perhatiannya pada bahasa Indonesia juga ditunjukkannya dalam media
sosial. Di sela-sela kesibukannya, Ivan sering menjadi “konsultan” Bahasa
Indonesia di akun twitternya @ivanlanin. Kicauan Ivan berisi, pengenalan
kata-kata baku dan kosakata baru, penggunakaan kaidah-kaidah baku dan membuka
konsultasi interaksi mengenai kebahasaan.
Agar tidak terkesan menggurui, Ivan menjalin interaksi yang luwes dan
tak jarang Ivan menggunakan konten-konten multimedia, mengenalkan teori-teori
kebahasaan. Pria lulusan Institut Teknologi Bandung ini, menggunakan layanan jajak
pendapatan di twitter untuk mengedukasi netizen tentang bahasa Indonesia.
Misalnya dalam salah satu jajak pendapat yang ditanyakan kepada netizen
tentang, Tomat termasuk dalam golongan sayur atau buah. Dari 5,822 votes, yang
menjawab buah sebesar 54% dan sayur 46%. “Padahal kan di Biologi, dia buah.
Sering disebut sayur karena sering dicampur dengan sayur lain,” kata Ivan.
Lalu sejak kapan Ivan mencintai dunia kebahasaan? Dan kenapa pula
Alumni Teknik Kimia ITB ini beralih dari dunia teknik? Saya coba paparkan hasil
wawancara saya dengan Ivan:
Lulusan Teknik Kimia ITB, kok banting stir ke dunia bahasa?
Mulanya, saya terjerumus ke bahasa tahun 2006 karena saya masuk ke
Wikipedia Bahasa Indonesia. Dan masuk ke Wikipedia Indonesia, karena mencari
literatur tentang pajak. Waktu tamat kuliah, profesi saya waktu itu pemrograman
komputer. Memang agak berbeda dengan pendidikan. Sejak saya lulus dari Teknik
Kimia, saya jadi pemrograman komputer. Waktu itu mau buat program computer
tentang perhitungan pajak penghasilan. Saya cari-cari info itu, yang biasa
dicari dulu bahasa inggrisnya, tax income. Masuk ke Wikipedia bahasa inggris.
Panjang penjelasannya. Tapi kan tax income di setiap negara berbeda-beda. Terus
saya lihat di Wikipedia bahasa Indonesia, saya ketemu dengan wikikpedia Bahasa
Indonesia. Wikipedia Bahasa Inggris itu bisa kita lihat berhalaman-halaman.
Begitu masuk Wikipedia Bahasa Indonesia, cuma satu paragrap. Terus saya
penasaran, ternyata Wikipedia bisa disunting sama siapapun. Saya tambahkanlah
apa yang saya pelajari dengan rujukan-rujukan yang lain. Lama-lama kecanduan.
Pindah dari artikel satu ke artikel lain.
Anda dari Teknik, bisa menulis di Wikipedia Indonesia, apa memang sudah
sering nulis sejak mahasiswa?
Kemampuan saya menulis dengan ragam formal itu jelek banget. Wikipedia
itu kan formal, lebih formal dari artikel di majalah. Dua kalimat, waktu saya nulis
pajak penghasilan itu saya berhenti. Menulis apa lagi. Tulisan ini benar atau
nggak. Dan awalnya saya heran, kok ini semua orang bisa edit artikel. Terus
nggak berapa lama, saya balik lagi, kok ini berubah. Ternyata ada yang
ngebenarin. Itu ada pengurus-pengurus yang bisa tahu. dari merekalah saya
belajar sedikit-sedikit. Itu lumayan lama, setelah 3 bulan, saya diangkat jadi
pengurus Wikipedia Bahasa Indonesia sampai sekarang. Bagi saya, wikipedia itu
seperti kampung halaman saya. Kadang kalau lama nggak ada, terus nanti ke situ
lagi. Itu yang membuat saya terjerumus ke dalam bahasa Indonesia.
Lalu bagaimana Anda bisa belajar tentang Bahasa Indonesia? Darimana
saja sumbernya?
Saya belajar otodidak, dari buku-buku sejak tahun 2006. Beda sekali degan
buku teknik, rumusnya pasti. Penulis siapapun yang membuat buku, umumnya,
pendapatnya sama. Misalnya, rumus F=m.a setiap buku sama semua. Tapi kalau bahasa,
yang ngarang si A belum tentu sama dengan si B. Karena kebutuhan itu, saya
nyari-nyari sendiri. Saya mulai koleksi buku bahasa. (sambil menunjukkan
bukunya dalam lemarin buku). Sejak tahun 2006, saya punya toko buku favorit,
dari daring. Setiap beli, saya borong beli 4 atau 5, kirim. Sekarang, sekitar
lebih dari 400 judul buku tentang bahasa itu yang cetak. Belum lagi buku yang
dalam bentuk elektronik. Itu terdiri dari kamus, buku-buku teori.
Ada yang bilang, Anda polisi bahasa. Ada yang bilang juga Anda sebagai
dokter bahasa?
Saya lebih cenderung memposisikan diri saya itu sebagai penasehat bahasa.
Karena kalau polisi bahasa, kalau ada yang salah, itu di prrriiiit. Dan kicauan
saya nggak pernah menghakimi, ini salah ini benar. Saya kasih pendapat, yang
baku seperti ini. Saya juga nggak sepakat dibilan dokter bahasa. Hahaha. Saya
pecinta bahsa Indonesia. Saya bukan menyembuhkan, karena dokter menyebuhkan.
Dan saya tidak merasa kita sakit. Saya merasa bahwa, kita kurang paham atau
kurang peduli.
Lalu, apa alasan Anda mau jadi penasehat bahasa?
Sama seperti kenapa saya aktif terus di Wikipedia, karena saya aktif
menulis. Saya merasa dengan menulis itu, warisan saya lebih langgeng. Dulu,
waktu saya mulai lagi belajar bahasa Indonesia, itu saya nggak ada tempat
bertanya. Sehingga itu motivasi saya. Saya ngerasa banyak sebenarnya orang Indonesia
yang ingin belajar, cuma mereka nggak tahu dimana tempat bertanya. Dan
terbukti, banyak yang nanya itu pertanyaan elementer. Dan banyak juga kosakata
yang nggak tahu dan kaidah dasar. Kayak awalan me-. Banyak orang yang belum
tahu kalau digabung jadi berubah seperti, memercayai, memengaruhi. Itu motivasi
saya. Paling nggak, meskipun saya nggak konsisten selalu hadir, minimal
seminggu sekali lah. Orang punya tempat untuk bertanya.
Semua orang yang bertanya dijawab?
Saya menjawab siapapun tidak pandang buluh. Yang sulit kalau ada
pertanyaan menjurus. Misalnya, “mas apa sih defenisi dari putra daerah?” Terus
saya bilang, di KBBI nggak ada defenisi putra daerah. Dia ngejar. “Menurut mas
sendiri apa?” Menurut saya defenisi ini poltiis. Saya coba cari rujukan. Karena
sebagai wikipediawan, saya terbiasa dengan rujukan. Buku suci saya adalah KBBI.
Saat nggak ada, saya harus cari sendiri. Dan apa yang saya sampaikan itu akan
jadi rujukan. Saya terbuka untuk menjawab semua pertayanaan. Paling yang nggak
saya jawab itu pertanyaannya iseng. Dan saya juga nggak jawab kalau yang saya
nggak tahu. Takutnya orang salah rujukan. Itu saya khawatir.
Kok Anda bukan konsultan bahasa pakai medsos twitter, emang apa
keunggulannya?
Saya sebenarnya aktif di twitter, Facebook dan Instagram. Pertama kalau
instagram, itu nggak cocok untuk media diskusi interaksi. Instagram itu lebih
kepada “pamer”. Orang mau komentar juga susah. Kedua, Facebook. Orang bisa
ngomong lebih panjang. Yang menyulitkan di Facebook itu, komentar-komentar yang
muncul itu tidak muncul secara linier lini massa. Jadi saya sulit memeriksa,
mana yang saya sudah balas, mana yang nggak. Kalau twitter kan beruntut,
sehingga saya bisa jawab secara runtut. Kalau facebook, nggak kayak gitu.
Kadang-kadang ada beberapa pertanyaan yang saya lupa balas. Jadi buat saya yang
paling enak itu twitter. Tapi, emang kalau di twitter, sangat interaktif dan
banyak menghabiskan waktu.
Anda ngurus twitter, wikipedia bahasa Indonesia, dan juga memiliki
pekerjaan tetap. Apa semua bisa dilakukan sejalan?
Kadang-kadang saya harus berhenti dari twitter. Kalau dilihat saya
pernah jedah dua minggu sampai satu bulan. Karena menyita waktu dan candu. Saat
mengurus twitter itu, tiap hari harus nengok. Saya merasa harus berkunjung.
Tapi kalalu saya lagi butuh fokus, saya harus berhenti dulu. Karena pekerjaan
kantor itu terbengkalai, kalau saya masih bolak-balik masuk twitter. Jadi nggak
bisa sejalan. Apalagi dengan beban saya. Karena kalau saya jawab, bisa makan satu
sampai dua jam setiap hari. Itukan lumayan. Kalau pekerjaan resmi sasya
sebenarnya konsultan manajemen. Proxis nama persahaan saya. Itu hampir setiap
hari berkunjung ke tempat klien. Saya juga ngajar dan sering rapat. Hampir setiap
hari. Saya sempatnya itu paling malam. Kalau lagi sibuk, saya nggak ngurus
twitter.
Anda memiliki strategi khusus untuk merespon pertanyaan netizen di
twitter?
Kalau saya nggak pernah ngebedain cara saya menyampaikan di dunia
sehari-hari dengan di dunia media sosial. Hanya saja, yang membedakan, ketika
ngobrol langsung, saya tidak sadar pernah juga menggunakan kata-kata nggak
baku. Tapi kalau menulis, saya cenderung menggunakan ragam formal. Di Whatsapp
dan SMS itu juga sama, seperti menulis di media sosial. Yang agak menyulitkan
menjawab di media sosial, karena saya kebiasaan sebagai wikipediawan, saya
harus cari rujukan.
![]() |
Fotografer: Agriana Ali (Eva) |
Semakin ke sini, rupanya kesantunan semakin berkurang. Banyak saltik
(salah ketik), sebenarnya saya agak malas jawabnya. Cuma kasihan juga. Pernah
ada orang yang rajin sekali nanya ke saya, tapi tulisannya ngaco, campur bahasa
inggris dan bahasa indonesia. Dan ternyata dia ngaku guru bahasa Indonesia. Kan
kasihan. Saya tegur, saya bilang coba belajar untuk membuat struktur kalimat
yang baik. Alhamdulillah, dia berubah. Dan ternyata semilenial apapun dia, asal
dinasehati dengan baik, dan diberikan contoh, itu bisa diperbaiki menurut saya.
Kadang, yang sering buat berantem orang di medsos, karena penyampaiannya nggak
baik. Makanya, kesantunan bahasa itu tetap diperlukan. Dan harus mudah
dimengerti jugga.
Punya pengalaman di twitter, yang nanyanya intens?
Biasanya, kalau ditanggapi dan topiknya itu cukup kontroversial seperti
masalah feodalisme. Kesantunan dalam bahasa itu diperlukan. Terus ditanggapi
netizen, “itu warisan orde baru.” Yah, saya harus mengakui, kadang bahasa itu digunakan
sebagai alat politik. Tapi yang tetap saja, norma dasar yang santun itu
universal. Itu ibarat buruk rupa, cermin dibelah. Kalau sudah biasanya debat
begitu, saya nggak panjang-panjang. Saya paling balas, dua sampai tiga kali.
Kalau saya merasa, nggak ada ujungnya.
Tantangan Bahasa Indonesia saat ini?
Ada 3 dari pemangku kepentingan, pertama dari pemerintah. Tantangannya
adalah pembakuan. Bahasa itu konsensus. Kita punya banyak sinonim. Misalnya,
netizen atau warga net. Kalau kita lihat di bahasa inggris yang ilmiah,
biasanya mereka menggunakan kata spesifik. Di dalam bahasa Indonesia, kita
masih terlalu bebas. Asal sinonim, bisa diganti-ganti katanya. Tantangan dari
pemerintah adalah, bagaiamana pemerintah bisa melakukan konsensus nasional
lewat perencanaan bahasa.
Kedua, alih bahasa. Bahasa itu bukan ilmu pasti, yang kita mengamati
fenomena alam. Bahasa itu melihat pola. Memang sering berbeda pendapat para
ahli, walaupun itu kadang ego. Misalnya ada yang nulis petahana ada yang nulis
pejawat. Jadi para ahli, gimana caranya bisa menahan ego untuk sama-sama
membuat konsensus. Kemudian nanti pemerintah akan membakukan konsensus
tersebut. Kan enak kalau alurnya seperti. Kalau alih bahasa dan pemerintah
berbeda, membuat masyarakat jadi bingung. Ketiga, pengguna bahasa. Jadi supaya
pengguna bahasa tidak bingung, pemerintah dan alih bahasa bisa bersepakat
tentang pembakuan bahasa. Untuk itu, sistem bahasa kita harus diubah. Banyak
sekali dasar-dasar bahasa yang sifatnya elementer, nggak sampai ke masyarakat.
Kan banyak sekali yang salah. Saya nggak tahu, kenapa itu bisa terjadi.
Ada UU no.24 tahun 2009? Berbahasa di publik. Pandangan Anda?
Memang regulasi itu, nggak ada klausul
sanksinya. Kekurangannya itu. Sebenarnya saat itu dirancang, saya dengar dari
orang balai bahasa, di naskah aslinya ada. Tapi entah kenapa, waktu masuk ke
dpr itu hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.