sumber gambar: http://www.qo2022.com
Awal bulan Mei
2012, dunia seni sempat dikejutkan dengan terkukuhnya karya seni termahal
se-jagad raya yang terjual dalam suatu lelang. Karya seni itu adalah “The
Scream”, sebuah lukisan unik karya seniman ekspresionis asal Norwegia, Edvard
Munch dengan nominal penjualan mencapai 120 Juta Dolar AS (sekitar 11 triliun
rupiah). Lukisan yang dibuat pada tahun 1893 (seitar 119 tahun lalu), ternyata
mampu menghipnotis seorang pembeli (belum diketahui identitas lengkapnya) dan
sanggup menggelodorkan segepok dolar untuk mendapatkan lukisan “The Scream”
tersebut
Cita seni dan
estetika lukisan tersebut pada dasarnya memang tinggi walaupun jika dilihat
sekilas seperti lukisan tua yang nyentrik dan hanya berupa pusaran-pusaran
warna di setiap sudut kainfas lukisan, namun jika diamati lebih tajam lagi,
maka para penikmat lukisan akan memiliki segudang interpretasi berbeda dari
masing-masing orang tentang lukisan terebut. Berdasarkan inilah, banyak
penikmat seni, khususnya seni lukisan menggadang-gadang lukisan “The Scream”
menjadi competitor “Monalisa” sebagai lukisan terbaik sepanjang masa dan paling
fenomenal hingga saat ini.
Terlepas dari
sebuah nilai lukisan tersebut, semula (119 tahun lalu), pada dasarnya Munch
tidak pernah berpikir kalau lukisannya akan menjadi lukisan termahal dan paling
fenomenal di Abad ke-21 ini, karena hakikat orientasi seorang seniman bukan
pada sebuah apresiasi saja, melainkan pada keunikannya. Untuk menilai karya,
seorang seniman harus berani dan mampu untuk keluar dari karya yang dibuatnya
agar bisa melihat secara objektif, tentang kekurangan sautu karya yang telah
dibuat. “Bagaimana bisa aku menilai sebuah lukisan, jika aku berada di
dalamnya”. Oleh karena itu, setiap karya , sesekali perlu memisahkan diri
dengan pembuatnya.
Konteks
filosofis penilaian sebuah lukisan ternyata berhubungan dengan penilaian
terhadap “aku” dalam kehidupan sehari-hari. “Aku’ di sini bisa saja diri
senidiri, kita, kami, keluarga, organisasi atau masyarakat berada di dalam
“aku”. Salah satu gambarannya seperti pada penilaian suatu organisasi/lembaga.
Jika ingin mengevaluasi atau menilai organisasi, “aku’ harus bisa menjadi
pribadi yang eksternal yang bisa melihat organisasi dari luar sehingga tampak
jelas hal-hal yang perlu diperbaiki. Jika “Aku” masih di internal akan tetap
memiliki ego kuat dan ngotot untuk tidak memberikan penilaian onjektif bagi
organisasi. Atau gambaran lain, untuk menilai diri sendiri, hasilnya akan
tampak onjektif ketika “aku” yang di internal bertransisi menjadi “aku’ yang
eksternal.
Hal seperti ini
memang manusiawi, dimana akan sangat susah untuk lebih objektif kepada pribadi
sendiri. Seseorang tidak mungkin bisa dan mampu melihat bagaian tubuh belakang
jika tidak menggunakan alat bantu seperti cermin atau meminta gambaran orang
lain yang bisa melihat jelas bagian belakang tubuh kita. Manusia sulit
memberikan objektivitas kepada diri sendiri jika “aku” belum bisa keluar dari
diri itu sendiri.
Seperti lukisan
“The Scream”, dimana yang memberikan nilai lukkisan tersebut bukan pelukisnya
Munch melainkan orang lain. Begitu juga dengan kehidupan kita. Jangan pernah
skeptic dengan penilainan yang diberikan orang kepada kita dan jangan terlalu
keukeuh dengan pendapat sendiri, karena orang lain lebih bisa melihat dan menilai
kita secara utuh ketimbang diri sendiri.
Maka dari itu,
kita perlu refleksi atas masukan dan pemikiran yang disampaikan seseorang
kepada kita asalkan ide dan penilaiannya adalah membangun sehingga bisa
memperbaiki karakter yang masih lemah Lagi, kita akan menjadi pribadi yang
lebih menerima penilaian orang lain meskipun itu pahit.
UOUS
Bisa dibaca di kompasiana
tx informasinya.....saya jadi tau ada lukisan tandingan monalisa
BalasHapussama-sama....:)
Hapuskalau gak salah ada juga ya film nya yang judulnya scream
BalasHapusia sob...
Hapuskalau gk salah sudah sampai 4 series...
tx sudah mampir sob