SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

1.17.2012

Mahasiswa Kristen Mau kemana..


Mahasiswa Kristen Mau kemana..
Oleh: Alfra Girsang*


Mendengar kata mahasiswa, penulis sagat terusik dengan situasi yang belakangan marak terjadi, kerusuhan antar mahasiswa yang terjadi di medan, makasar, dan bandarlampung sendiri, menunjukkan seakan-akan segala penyelesaian permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik juga harus diselesaikan dengan kekerasan pula. Kalau demikian adanya, masih pantaskan kita, kelompok-kelompok mahasiswa menyatakan diri sebagai agen of change (agen perubahan).
Tanyalah pada diri pribadi kita masing-masing dan janganlah lagi kelompok atau komunitas ini menutup mata, kerusuhan kerap terjadi di kalangan yang menyatakan dirinya mahasiswa terpelajar,  justru sebenarnya aksi-aksi anarkis tersebut hanya akan merugikan pihak yang tidak tahu apa-apa,  tidak sedikit korban yang jatuh, baik secara psikologis ataupun materi.
Sangatlah ironi, ditengah-tengah derasnya gempuran arus globalisasi yang menuntut mahasiswa berposisi sebagai garda terdepan, justru kaum “intelektual” itu sendiri asik dengan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan seakan menjadi heroisme dihadapan komunitasnya. Sadar atau tidak, inilah sebenarnya yang dinginkan oleh oknum-oknum yang selalu merusak tatanan perdamaian negeri ini. Dalam situasi itulah kita seharusnya tidak boleh lupa akan tanggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa ini.
Pertanyaan berikutnya adalah, mampukah kita (pemuda/mahasiswa) menjawab atau memenuhi  permitaan pendiri bangsa ini yang menyatakan “berikan kepadaku 10 (sepuluh) orang pemuda, maka akan kugoncang dunia” pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan reflektif  dalam rangka ulang tahun pemuda yang telah memasuki usia yang sudah cukup ujur.
Jebakan Pragmatisme

Selain sibuk dengan aksi-aksi anarki, sejak era mahasiswa angkatan 66 (eksponen 66), tidak sedikit mahasiswa yang mewakili golongan terpelajar duduk di gedung parlemen, dapatkah dikatakan mahasiswa ini terjebak oleh indahnya rayuan kekuasaan, tidak usahlah kita melihat jauh kebelakang, saat ini saja disekitar kita masih banyak mahasiswa yang mengambil posisi (keuntungan) menjadi agen kekuasaan namun tidak berani mengambil sikap jadi agen perubahan. Entah apa yang salah, sepertinya semakin tidak ada lagi mahasiswa yang memiliki independensi dan keberanian, berani menyatakan salah ketika itu salah, yang ada dan tampak sangat jelas terlihat adalah segerombolan mahasiswa yang “miskin” namun takut dikatakan orang miskin.
Permasalahan ini juga tidak terlepas dri sistem pendidikan kita yang tidak memiliki orientasi yang jelas, negara dalam tanggung jawabnya dalam dunia pendidikan juga tunduk oleh keinginan pasar. Alokasi 20 % APBN dan APBD khusus untuk dunia pendidikan yang menjadi amanat konstitusi sebenarnya tidaklah pernah direalisasikan. Pejabat negara ini juga masih senang dengan topeng-topeng yang mempertontonkan lakon yang mengambarkan seolah anggaran tersebut sudah direalisasikan. Topeng dalam berbagai karakter tersebut diciptakan dalam bentuk biaya perawatan sekolah dll.  Maka mustahil seorang anak yang petani, nelayan miskin yang memiliki cita-cita untuk duduk dalam gemerlapnya dunia pendidikan akan terealisasi, sebab dunia pendidikan ternyata begitu mahal dengan berbagai pungutan-pungutan liar. Pasca putusan mahkamah konstitusi yang mencabut UU BHMN secara keseluruhan, tidak henti-hentinya pendukung yang pro terhadap lieralisasi dunia pendidikan menciptakan berbagai regulasi sebagai dasar hukum mereka untuk menciptakan dunia pendidikan tetap mahal. Salah satunya adalah RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT), bagi kalangan aktivis pro demokrasi, RUU ini dicap sebagai BHPT Jilid II.
Inikah yang menyebabkan mahsiswa menjadi mahasiswa yang berpola pikir pragmatis, silahkan jawab dalam dalam hati kita masing-masing. Peran mahasiswa sebenarnya masih sangatlah dibutuhkan, berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah juga sangat tidak berpihak kepada mereka petani, pedangan usaha kecil menengah. Hadirnya New Zeland-Australia ASEAN Free Trade Area (NAAFTA) Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) sebenarnya akan sangat mempengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi negara indonesia. Siapa sangka negara yang begitu kaya dan subur ini, masih juga ditemukan anak-anak kecil yang menderita busung lapar, para petani yang mau tidak mau harus makan nasi aking. Dari bermacam permasalah yang sedang menimpa negeri ini, masihkah kita pantas berleha-leha dengan kondisi kemapanan dan saling melempar batu-batu dengan mengedepankan ego antar kelompok. Saya pikir tidak.
Tranformasi Mahasiswa Kristen
Tanggungjawab sebagai agen perubahan memanglah sangat berat, tidak seperti membalikkan telapak tangan, seorang mahasiswa yang ingin melakukan perubahan haruslah melalui berbagi proses, pun ketika ia memutuskan untuk melakukan perubahan alangkah lebih baik ia mengenal siapa dirinya yang sebenarnya, sebab ketika keputusan sudah diambil, maka yang dihadapi adalah kerikil-kerikil tajam yang telah siap menghempas dia.
Seperti garam yang rasanya sangat kentara dan jelas, tetapi tidak terlihat oleh mata kebanyakan maka kehadiranya yang penuh misteri itu menjadi “misterius”. Begitulah ungkapan Pater Beek.JR, seorang rohaniawan katholik yang kelahiran  Amsterdam, Belanda. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Soedjadi Djiwandono “Seorang yang mengaku kader Ia tidak akan menuntut jabatan atau kedudukan untuk dirinya, dan oleh karena itu jumlahnya sedikit.
Ungkapan-ungkapan di atas sebenarnya haruslah menjadi perenungan bagi siapa saja, jika diperbandingkan dengan berbagai kondisi diatas, memang rasanya setiap orang tidak dapat berbuat apa-apa lagi (pesimis). Namun sebagai manusia yang masih memeiliki kepercayaan, tidak jugalah kita harus berhenti untuk berharap dan melakukan perubahan. sikap individualisme yang juga semakin merasuki pola pikir serta tanggungjawab ke-mahasiswa-an sebenarya haruslah ditinggalkan dan digantikan dengan rasa sensitifitas sosial yang apik.  
Kemampuan orang muda orang muda itu tidak jatuh dari langit, tetapi hasil usaha keras dan konsisten, seperti ungkapan Ignatius Loyola:
“berguna bagi mereka yang diberi tugas belajar, kalau selesai usaha dan perhatian yang perlu untuk perkembangan intelektual, selama percobaan terahir mereka melatih diri dengan seksama dalam sekolah hati (affectus) dan mengutamakan hal-hal rohani dn pekerjaan jasmani yang membawa kemajuan dalam kerendahan hati dan peningkatan seluruh cinta jasmani, kehendak dan pendapat diri sendiri, dan juga pengertian dan cinta lebih besar kepada Tuhan. Dengan demikian, karena sudah mencapai kemajuan dalam diri pribadinya, mereka akan mampu menolong sesama”

Seperti pepatah romawi “pohon palem tumbuh di tanah yang tandus “sehingga meskipun tidak berbuah seperti pohon ara atau pohon anggur, pohon palem menjadi lambang kemenangan, karena berhasil mengatasi dan mengalahkan badai gurun, panas terik matahari di siang hari, dingin yang menyengat di malam hari, dan ketandusan serta kegersangan gurun”
Bertranformasi dari mahasiswa biasa menjadi mahasiswa memiliki spirituliatas, integeritas dan profesionalis sama halnya kita berbicara tetang kaderisasi. Namun itu juga tidak semudah mengkedipkan kelopak mata. Semuanya pastilah memiliki proses-proses yang sistematis. Perlu satu  sikap konsisten dan meiliki motivasi dasar yang dapat dijadikan sebagai nilai-nilai perjuangan.
Oleh Pater Beek. JR, Kader adalah orang yang “bisa menggetarkan dunia” merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil, menjadi tulang punggung masyarakat; atau menjadi inti dalam suatu golongan masyarakat,. Menjadi kader adalah, sesuatu lain daripada yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral.
Menyimak kata-kata “bisa menggetarkan dunia” adalah tantangan terbesar bagi kaum muda dan mahasiswa, sebenarnya apa yang dapat diperbuat oleh para intelektual generasi penerus bangsa ini. Pertama yang dapat dilakukan untuk dapat siap sedia terlibat dalam masyarakat yaitu, mengenal diri, seperti yang dianjurkan oleh Socrates “gnouti seuton” atau Kenalilah dirimu sendiri. Ini dapat dijadikan sebagai nilai-nilai perjuangan dan motivasi dasar untuk melakukan perubahan. Kedua, panggilan seorang kader adalah menyadari panggilannya sebagai kader, seperti yang saya ungkapkan di atas “menjadi agent perubahan”, apabila para mahasiswa sampai detik ini tidak paham, tidak memaknai apa makna dari agen perubahan itu mustahil juga menggetarkan dunia, tidak usah jauh-jauh sampai menggetarkan dunia, terlebih dahululah memulai dari hal-hal terkecil. Ketiga, menjadi mahasiswa yang mengandalkan basis keilmuan, sudah barang tentu memiliki ilmu berdasarkan keahlian masing-masing. Hendaknya sarjana teknik, ketika melanjutkan studi lanjutan harapannya tidak mengambil studi magister hukum, akuntasi, dan sebaliknya. Tetaplah konsisten berdasarkan basis ilmu kita.

*Seorang salah satu aktivis yang  sampai sekarang aktif di GMKI, lulusan sarjana hukum Universitas Lampung ini sekarang berdomisili di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.