7.08.2011
Sajak kaum marginal - puisi
Sajak kaum marginal
bangun tidur, mata masih memerah
badan enggan beranjak dari dipan jati berkaki empat
seprai dan selimut timpa menimpa
saling rebut posisi hingga kusut di sudut impian kabut
ikut dalam geliat mimpiku
serta bantal yang semula menjadi alas kepala
tak ragu menjadi alas kedua kaki
teguk bening segelas air
mengalir melewati sisi lapis epidermis tenggorokkan
nikmat rasanya
ya
Air dari sungai yang bersih dan jernih ; katamu
lalu kubuka hitam tirai katun
berharap rasakan pagi cerah
tetapi, tajam bola mata
hentak rontah di hati mengalir ke pikiran
“mengapa bunga bakung tak lagi tumbuh di halaman”
Gerak kaki lalu hampiri ruang tamu
Duduk santai sembari dengarkan irama dentangan jam
Yang tak lebih kuat, dari suara televisi buatan orang barat
Luap air
kikisan tanah
hamburan karbondioksida
menjajah kembali, menjadi biasa di indera-inderaku
Saat peraturan tak lagi bicara
Izinkan alam berkata
Bukan pintaku, tapi izinmu
Bukan harapan, tapi musibah
Bukan kita, tapi alam
bumi ini bulat seperti jeruk purut tak bersudut
namun melingkar; katamu lagi
Dan saat terbangun nanti, jangan salahkan bumi tak berbentuk
hendry tupang
Tanjungkarang, Juni – Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.