SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

4.20.2015

Wawancara Dirjen Pajak

Tambah Jaring Raup Pajak

Sigit Priadi Pramudito (sumber: Kemenkeu)

Sejak menjadi Dirjen Pajak Februari silam, Sigit Priadi Pramudito telah merancang cara-cara mencapai target Rp1.493 triliun. Saat diwawancara, Sigit tak sungkan membeberkan percakapannya dengan Presiden. Sebagai pimpinan DJP, Sigit juga mengeluhkan demotivasi anak-anak buahya. Alasannya sederhana, demotivasi.

Pegawai bergaji Rp. 100 juta ini, memaparkan strategi jitu mencapai target pajak dan cara menindak oknum DJP yang nakal. Berikut petikan wawancara dengan sang Dirjen pertengahan Maret lalu di ruang kerjanya:

Saat ini, posisi PNS yang paling sulit adalah Dirjen Pajak?
Yang paling sulit itu target. Ketika Pak Jokowi memanggil semua eselon II, beliau punya hitungan pendapatan pajak Rp. 1.200 triliun. Terus dia minta Rp.600 triliun, bisa masuk tahun ini. Kita godok dalam rapat di Jogja. Kita menghitung potensi dan aturan-aturan yang mendukung. Berdasarkan pertimbangan itu, akhirnya ketemulah angka Rp 400 triliun. Kemudian masuk ke APBN-P, jadi nambahnya Rp. 395 triliun. Tahun 2014 kemarin tercapai Rp 900 triliun, tambah Rp 395 triliun, menjadi Rp 1295 triliun.



Berarti Rp 395 triliun itu memang hasil negosiasi?
Maksimal kita mampu segitu. Dengan catatan ada 5 penguatan, yaitu penguatan SDM, penguatan IT, penguatan organisasi, penguatan anggaran dan penguatan proses bisnis. Contoh, satu AR (Account Representative) mengawal 1.000 WP (wajib pajak), kan nggak mungkin. Paling kuat dia bisa mengawasi 500 WP. 500 lagi mau diapain? Ya nggak diapain, soalnya tangannya nggak sampai. Kalau WP nggak ditunggui, mereka akan ngundur-ngundur. Siapa sih yang suka bayar pajak?

Persis seperti di kelautan. Setiap tahun laut kita bisa menghasilkan ribuan ton ikan. Anggaplah 10.000 ton setahun. Kalau kita mau nambah dua kali lipat bahkan tidak terhingga, gampangkan. Tinggal tambah jaring saja. Jadi alat tangkap kita yang kurang. Potensi, kalau kata Pak Jokowi Rp. 1.200 triliun. Kalau saya malah bilang Rp. 3000 triliun malah. Artinya masih banyak yang belum tergali.

Memang minimnya kantor jadi alasan mendasar selama ini meningkatkan penerimaan pajak?
Sekarang penduduk kita 240 juta dan yang seharusnya ber-NPWP dari hitungan kita, sektiar 46 juta penduduk. Tapi yang sudah ber-NPWP kurang lebih 24 juta. Jadi, masih ada 22 juta lagi yang belum ber-NPWP. Kenapa? Jaringnya aja yang kurang.

Sudah ada berapa penambahan kantor baru sampai sekarang?
Sudah disetujui 10 kantor, tambah 2 Kanwil di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, di Grogol. Mudah-mudahan Juli operasional.

Selain kantor, SDM juga minta ditambah berapa?
WP sekitar 26 juta penduduk dan pegawai hanya 32 ribu. Untuk kapasitas pelaksana, kapasitas AR dan kapasitas fungsional pemeriksa, kita butuh tambahan 26 ribu orang. Dengan jumlah wajib pajak sekarang 26 juta. Orang pirbadi sekitar 24 juta. Perusahaan sektiar 2 jutaan.

Bagaimana rincian penambahan karyawan pajak?
Setiap tahun nambah 4.000 dan kita tingkatkan melalui kapasitas pelatihan. Kita punya namanya Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Itu kapasitasnya setahun 12 ribu orang. Mereka bisa bikin itu, khusus untuk pajak sektiar 4.000 di beberapa balai seluruh indonesia.

Alhamdullilah Kementerian Aparatur Sipil Negara sudah izinin nambah 10 ribu. Nggak masalah itu dalam dua tahun dapat. Mintanya kita 26 ribu. Tapi, dalam beberapa tahap. Nah sekarang kita sudah nambah 4 ribu lagi. Nanti kita didik dulu selama sebulan dua bulan untuk jadi AR atau fungsional pemeriksa.

Soal pegawai pajak yang demotivasi?
Kalau dulu mau lembur gimana. Makanya perlu vitamin. Dengan adanya kenaikan itu, mudah-mudahan semangat. Dan kita lihat juga mereka senang walaupun duitnya belum masuk. Sudah mau kerja lebih keras lagi.

Berapa sih take home pay pegawai pajak sekarang?
Level AR itu kurang lebih, Rp 8 juta sampai Rp. 9 juta golongan 3A. Itu remunerasi. Kalau gaji sekitar 2 hingga 3 jutaan. Ditambah dengan tunjangan kegiatan tambahan. Tapi masih PHP (Pemberi Harapan Palsu). Belum turun. Walaupun sudah dianggarkan di APBN-P 2015.

Yang buat nggak termotivasi juga, karena dulu-dulunya, take home pay nggak naik-naik. Padahal janjinya 2007 hingga 2008, sampai 2014 belum naik-naik. Sementara beban kerja naik terus. Target kan nggak pernah turun.

Berapa target WP yang harus dijaring seorang pegawai golongan 3A?
Tergantung wajib pajak yang dia tangani. Contohnya, saya dulu sebagai Kakanwil di LTO (Large Tax Office/kantor pajak besar), target saya Rp. 350 triliun. Misalnya sekarang ada Kakanwil Banten, Rp 20 triliun. Kan beda. Jadi tergantung wilayah dan wajib pajaknya di LTO. Umumnya, satu AR itu bisa sampai 20 triliun targetnya.

Kapan pemerintah merealisasikan remunerasi?
Bulan ini (Maret) keluar. Mudah-mudahan per satu April sudah mulailah. Dapat gaji baru, kan senang mereka. Nanti dirapel juga. Apalagi kita nambahnya Rp 395 triliun. Kalau kita kerja seperti tahun lalu, kita hanya dapat 140 triliun tambahannya. Jadi masih kurang Rp 255 triliun. Kita punya cara lain untuk mencapainya.

Cara seperti apa?
Dengan menggunakan bantuan data. Jadi nanti kita bekerjsama untuk data ini dengan beberapa institusi, lembaga dan kementerian. Data tersebut, kita kawinkan dengan SPT (Surat Pemberitahuan). Ketahuanlah nanti, bahwa wajib pajak ini setorannya kurang.

Institusi atau kementerian mana saja?
Ya semua. Dari PPATK, BI, BPN, OJK. Jadi kita harapakan data itu sudah dapat dalam dua bulan ini. Kerjasama kita lakukan. Kerjasama data ini tidak dengan MoU sekarang. Langsung diinstruksikan oleh presiden. Beliau yang langsung tunjuk agar lembaga terkait menyiapkan data ke pajak.

Aliran dana bisa dilihat dong nanti?
Yang boleh kita minta hanya data transaksi pembelian. Misalnya kartu kredit. Kita bisa lihat nilai pembeliannya. Lalu kita cek, sudah bayar pajak atau belum. Jadi nanti belanjanya saja kita kumpulin. Minimal penghasilan dia sama dengan belanjanya. Kalau tabungan kita nggak bisa buka. Yang penting pembelian untuk belanja kita tahu.

Efektifkah pendekatan kualitatif seperti ini?
Harus, kalau nggak bagaimana kita bisa menilai apalagi kita nggak punya data. Minimal kita bisa hitung dari pendekatan biaya. Selain itu, kita juga punya cara lain dengan aplikasi AGREGAT. Kita sudah uji coba di Jakarta Barat, bikinan teman-teman sendiri. Semua data bisa dikawinkan.

Sistem kerja aplikasi ini gimana pula?
Sekarang, AR lebih gampang kerjanya. Di-run aplikasi AGREGAT lalu data wajib pajak di-input. Nanti akan keluar nama yang belum lapor. Surat himbauan juga bisa keluar. Jadi AR tinggal kirimin surat itu saja.

Bagaimana penindakan dengan praktek Gijzeling (penyanderaan) pengemplang pajak?
Dari soft sampai hard, kita sudah lakukan. Tetapi di Permenkeu (Peraturan Menteri Keuangan), kalau mereka mau melunasi utang pajak, entah yang tahun berapa, kita akan hapuskan sanksinya. Jadi tahun ini hanya pembinaan.

Misalnya, dari tahun 2010, kamu kurang nih bayarnya. Terus ditunjukan SPT-nya. Kalau nggak kita berikan SKP (Surat Ketetapan Pajak). Kalau kena SKP kan bisa ditagih sampai Gijzeling. Berani nggak mereka Gijzeling? Begitu masuk penjara langsung bayar dia. Kalau data kan nggak bisa dibantah, misalnya beli mobil tapi belum dilaporkan dan kita punya buktinya. Dia harus menunjukan SPT nya dan harus bayar lagi. Kalau nggak kita SKP sampai Gijzeling. Kan sudah ada contohnya.

Berefek nggak?
Luar biasa efeknya. Dibanding tahun lalu sudah naik. Kalau tahun lalu utang pajak dibayar Rp 600-an miliar. Kalau sekarang, Rp 1,8 triliun. Intinya, pembayar pajak itu ingin sama dong. Jangan beda-beda. Jadi nggak boleh ada tebang pilih.

Masih banyak pengemplang pajak yang belum tersentuh hukum. Apalagi melibatkan orang-orang besar. Bagaimana penyelesaiannya?
Yang paling kuat itu data pembanding. Kalau nggak punya data pembanding kita punya data analisa. Bahwa perusahaan ini bayarnya nggak benar. Apalagi perusahaan gede-gede sering juga merekayasa laporan keuangan. Itu kita sudah punya caranya bagaimana mengkoreksi itu.

Misalnya, perusahaan yang jual ke luar negeri, perputaran uangnya di luar negeri. Dan pajaknya kita nggak bisa tarik. Kita bisa mengkoreksi dengan transfer pricing namanya.

Berapa persen peluang penerimaan pajak bisa tercapai?
Ini kan teoritis. Jadi kita hitung teoritis. Bisa kurang, bisa lebih. Saya juga ditanya sama pak presiden. Gimana? Terus saya jawab, saya pengennya maksimal. Tapi ini bisa kurang bisa lebih. Terus ditanya lagi, berapa simpangannya? Ya biasalah, 20% kurang, 10% lebih.

Berarti nggak realistis dong target pajak?
Kalau di laut, jumlah ikan tidak terbatas. Kalau kita punya jaring yang cukup, semua bisa kita ambil. Kalau kita mau dua kali lipat, kita tambah jaringnya dua kali lipat. Ini juga sama, kita lihat potensinya luar biasa. Apalagi masih ada 22 juta, wajib pajak yang belum tersentuh. Itu kan potensi, tinggal kita kejar mereka.

Yang kedua, tax ratio kita, 12%. kalau kita tambah 400, menjadi 14%. Cuma tambah 2%. Sementara negara lain, sudah 16% ke atas. Artinya potensinya sudah ada, cuma kita saja yang kurang jeli menggali, kurang tenaga untuk mendekati dan kurang tangan untuk ngambil. Itu saja kesimpulannya. Cara kita juga kurang bagus mengejar mereka. Makanya cara kita sekarang berbeda.

Stigma terhadap pegawai pajak, apakah menghambat kerja?
Itulah salah satu penghambat kita. Makanya tahun ini kita sebut, tahun kebangkitan DJP. Kita bosan dihujat terus, dianggap kayak Gayus. Capek juga kita dianggap sebagai pegawai koruptif. Makanya tahun ini kita anggap sebagai tahun pembuktian. Teman-teman rindu dong dapat DJP yang bersih dan berwibawa.

Masa keluar kantor ditanya, kerja dimana? Departemen keuangan. Nggak berani bilang pajak. Apalagi zaman Gayus. Wah, kalau ada yang ngaku kerja di pajak, langsung dicap temannya Gayus. Itu sakit sekali kita.

Bagaimana pengawasan DJP sendiri terhadap penyimpangan internal?
Makanya kita sudah ketemu dengan BIN, kejaksaan, kepolisian, KPK. Kalau ada kasus atau orang yang nakal, tolong dilokalisir, jangan institusi yang dirusak. Pajak kan buat kita semua, buat kesejahteraan masyarakat.

Ini kan oknum, jadi kita baca sebagai oknum. Jangan dianggap seolah-olah semua orang pajak itu begitu. Padahal coba hitung, dari Gayus hingga hari ini, berapa orang sih? Diulang bolak-balik Gayus. Itu lagi, itu lagi. Seolah-olah ada yang nambah. Hasim lagi yang dipakai, Gayus lagi. Bosan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.