SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

2.13.2015

Mewawancara Buron Kasus Korupsi

Di bawah lampu temaram, pengunjung Bar Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan malam itu (Selasa, 27/08/2014) tampak lengang. Hanya ada sepasang pria dan wanita, sedang asyik bergurau sambil menunggu pesanan. Ruangan yang lebih layak disebut tempat bersantai itu memang tidak seperti bar-bar pada umumnya. Lebih sederhana dan lebih mirip seperti restoran. Letaknya pun tidak strategis karena berada di pojok kanan dari ruang lobi hotel.

Di dalamnya, ada beberapa sofa hitam dan tempat duduk memanjang. Ada juga ornamen bajaj dan beberapa ban yang dibentuk menjadi bangku. Di samping pintu masuk, ada dua wanita dan seorang pria bartender sedang meracik minuman dan makanan di balik meja bar. 
 


Di samping meja telah berdiri Budi Siswanto, Humas KONI Jaya. Laki-laki inilah yang membantu untuk mempertemukan saya dengan Winny, tersangka kasus pengadaan pesawat ATR. Tak jauh dari meja bartender, sebuah televisi layar datar tergantung di dinding ruangan. Di bawahnya kami duduk sambil menunggu mantan direktur bank DKI itu datang.

Winny (mantan Ketua Umum Koni Jakarta)
Selang 15 menit, Winny Erwindia datang didampingi sekretarisnya, Mega. Sambil menenteng tas berwarna merah, mereka menghampiri kami. Rambut Winny khas, berwarna emas dan bergelombang. Di kedua telinganya, ada tindikan anting berbentuk bola kecil berwarna merah. Sementara, dari balik blazer hitam berlogo koni yang dikenankannya, masih tetap terlihat kera kemeja merah yang digunakannya.

Gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanannya juga berwarna merah. Tak ketinggalan cincin batu akik yang menghiasi jari manisnya pun berwarna merah. Ternyata, warna favorit perempuan kelahiran Tegal, 11 Januari 1951, adalah merah. Setelah duduk, Winny mulai menyapa saya.

Awalnya percakapan hanya sebatas dinamika internal KONI DKI Jakarta. Seperti,program-program KONI DKI Jakarta hingga rencana delegasi kontingen yang akan dikirim ke Incheon, Korea Selatan untuk mengikuti Asian games. Setelah itu, Winny menceritakan alasan rushaffle dan perampingan pengurus KONI DKI Jakarta, yang terjadi awal Juli lalu. Setelah itu, barulah saya mengkonfirmasi seputar pengadaan pesawat ATR.


Dengan suara lembut dan mendok, mantan Presiden Direktur Bank Bumi Putera itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya. Raut wajahnya tenang. Sesekali bibir Winny yang berlipstik merah, menyembur senyum. Beberapa kali penjelasannya terhenti, mencoba mengingat-ingat tentang peristiwa beberapa tahun silam. Kerut di wajahnya menegaskan usianya yang sudah 63 tahun.

Wawancara dengan Winny terasa akrab. Jarak saya dan dirinya tak sampai satu meter, sehingga meskipun suaranya pelan, namun penjelasannya masih terdengar jelas. Kadang-kadang dia selalu menyisipkan kalimat “begini hen” ketika hendak memulai menjawab pertanyaan dari saya. Begitulah suasana wawancara malam itu.

Jika mengingat itu, upaya mengejar Winny berhari-hari serasa tunai. Mulai dari dibohongi seorang pengacara, beradu mulut dengan sekretaris, sedikit trik mengelebuhi staf KONI, sampai berupaya meyakinkan pegawai Humas. Rentetan peristiwa yang harus dilalui untuk bertemu seorang Winny Erwindia Hassan.

***

Ceritanya dimulai dari penugasan Kamis sore 21 Agustus 2014. Seperti penugasan-penugasan lainnya, saya langsung pelajari konstruksi kasus yang sedang dialami oleh Winny. Seperti mewawancarai tersangka pidana sebelum-sebelumnya, baik di luar maupun di dalam penjara, hal yang dipantangkan adalah pandangan stigma kepada tersangka. Apalagi sampai menjustifikasi.

Setelah itu, saya langsung mencari tahu identitas kuasa hukumnya, seperti alamat kantor dan nomor kontak pribadi. Ini dapat diperoleh dari hasil riset dan jaringan beberapa wartawan lain. Permasalahan muncul saat kuasa hukum tidak terlalu popular seperti kuasa hukum Winny, yaitu Benny Suprihartadi. Sehingga sulit mencari identitas dan nomor kontaknya. Karena urung menemukan nomor teleponnya, pewarta saya mencari nomor telepon kantor pengacara Solicitor, karena Benny menjalin kerjasama dengan kantor pengacara tersebut.

Setelah nomor kantor didapat, saya langsung menghubungi nomor tersebut. Pihak kantor tersebut memberi nomor telepon pribadi Benny. Tanpa menunggu lama, saya menghubungi Benny dan membuat janji wawancara dengannya. Benny langsung mengiyakan. “Besok siang di kantor ya,” katanya kepada saya. Benny menjanjikan bertemu di kantornya, yang berlokasi persis di samping Tugu Proklamasi, Jakarta pusat, jam 1 siang.

Besoknya (Jumat, 22 Agustus 2014) saya mendatangi kantor tersebut. Sempat menunggu selama satu jam, Benny datang mengenakan baju koko berwarna putih. Saat wawancara, Benny ditemani oleh beberapa rekannya yang juga pengacara. Ada pengacara yang menambahkan penjelasan Benny saat diwawancara. Sekitar satu setengah jam, wawancara selesai.

Selanjutnya, saya meminta kepada Benny, agar bisa mempertemukan saya dengan Winny. Saat itu tak ada tanda-tanda, Benny akan menolak permintaan saya. Dengan senang hati, dia berjanji akan mempertemukan saya dengan Winny pada Minggu siang. Setelah itu, saya meninggalkan kantor Solicitor tersebut.

Minggu pagi, saya mencoba berkomunikasi dengan Benny melalui seluler tentang rencana bertemu dengan Winny. Hanya saja, Benny tidak mengangkat telepon. SMS pun tidak dibalas. Selang dua jam, saya kembali menghubunginya, tetap saja tidak diangkat dan sms tidak dibalas-balas. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang.

Karena belum ada kepastian, saya mencoba menelponya. Selulernya aktif, namun Benny tidak mengangkatnya. Lagi-lagi juga sms tidak dibalas. Sampai jam tiga sore, sekali lagi saya mencoba menagih janjinya. Tetap telepon dan SMS yang dilayang kepadanya, tidak ditanggapi. Sebelum adzan maghrib saya masih berharap, hari itu bisa bertemu dengan Winny. Saat dihubungi lagi, teleponnya masih aktif itu, tetapi tidak diangkat.

Besoknya, Senin pagi, saya dapat sms dari Benny menyuruh saya datang jam 11 siang ke kantor Solicitor. Saat itu, sms Benny seperti setetes air di tengah gurun Sahara. Siangnya, saya bergegas menuju kantor Solicitor. Ketika sampai, Benny tidak kelihatan. Setelah menunggu satu jam, orang yang ditunggu tak kunjung muncul.

Saya mencoba menelponnya, tetapi tidak diangkat. SMS pun tidak dibalas. Setelah saya menunggu sampai jam satu siang, Benny tidak datang. Lalu, saya menghubunginya kembali dan tidak diangkat. Bahkan telepon resepsionis kantor tersebut juga tidak diangkatnya. SMS pun tidak terbalas.

Selang setengah jam, telepon kantor tersebut berbunyi. Benny berpesan melalui resepsionis, agar saya datang lagi jam 5 sore hari itu juga ke kantor tersebut karena Benny sedang ada rapat. Jam lima saya kembali datang ke kantonya. Ternyata lagi-lagi Benny tidak kelihatan. Telepon dan sms lagi-lagi tidak dapat tanggapan. Hingga Senin sore, janji Benny hanya angin lalu.

Saya mencoba menghubungi selulernya menggunakan telepon kantor Solicitor. Walaupun selulernya aktif, namun tidak diangkat. Lalu salah satu rekannya di kantor tersebut memberitahu, agar mencoba menemuinya di mesjid Cut Meutia, Menteng, karena dia sering sholat Maghrib di sana. Jam setengah tujuh malam, saya ke sana. Ternyata Benny tidak berada di sana. Malam itu serasa seperti peristiwa gedung WTC runtuh.

Setiba di kantor, saya masih berupaya mencari tahu nomor telepon Humas KONI DKI Jakarta. Tetapi yang ada adalah nomor seluler Humas KONI Pusat. Walaupun sempat ragu, akhirnya Humas KONI Pusat tersebut memberikan nomor kontak Humas KONI DKI Jakarta. Dengan strategi komunikasi, dia mengirimkan nomor seluler Humas KONI DKI Jakarta, Budi SIswanto.

Sesegera mungkin, saya menelpon Budi. Seperti staf atau ajudan pada umumnya, seringkali memperumit wartawan untuk bertemu dengan pimpinannya. Budi menyarankan kepada saya agar menghubungi Mega, sekretaris Winny. Saat dihubungi, Mega kurang korperatif. Dia mengatakan, bahwa Winny tidak bisa diwawancara. Akhirnya besok paginya, Selasa, saya kembali menghubungi Budi.

Dalam komunikasi tersebut, Budi akan mengupayakan pertemuan dengan Winny. Kendati demikian, dia tidak bisa menjamin akan mempertemukan saya dengan Winny. Semacam tanggapan retorika belaka. Karena tidak ingin ditipu kedua kalinya, sekitar jam dua siang, saya meluncur ke kantor KONI DKI Jakarta yang berlokasi di Jalan Tanah Abang I, persis di samping Museum Taman Prasasti.

Ketika masuk, saya ditegur oleh salah seorang staf KONI DKI. “Mau kemana mas?” kata pria bertubuh besar yang mengenakan kaos berkera. Tentunya, saya tidak mengatakan kalau ingin bertemu dengan Winny. “Saya ingin bertemu dengan Pak Budi,” kata saya. Pria tersebut menunjuk ke arah lantai 2. Kebetulan laki-laki tersebut hendak ke lantai 2 juga. Jadi kami jalan berbarengan menaiki tangga.

Ketika sampai di lantai dua, saya kembali bertanya kepadanya, ”kalau ruangan Bu Winny di bawah ya?”Agar tidak terkesan datang ke kantor tersebut untuk pertama kalinya, perlu menggunakan pertanyaan yang tepat. “Iya, itu dia baru datang tadi,” balasnya. Perlahan, pewarta saya ancang-ancang mundur, lalu kembali turun ke lantai satu dan langsung menuju ruangan Winny.

Ruangannya tidak terkunci. Dari luar terdengar suara bolak-balik kertas. Di dalam ruangan tersebut, dia tampak sendiri. Ketika akan masuk, seorang perempuan bertubuh gemuk dan berambut panjang, langsung menghardik pewarta saya. Perempuan tersebut adalah Mega, sekretaris Winny. Dia menanyakan identitas dan keperluan saya.

Lalu, dia masuk untuk berkordinasi dengan Winny. Tak berapa lama Mega keluar. Saya yang sedang berdiri di samping pintu ruangan Winny, berharap bisa mewawancarainya saat itu. Tetapi Mega mengatakan bahwa Winny tidak mau diwawancara. Saya tetap menunggu di depan ruangan Winny sampai perempuan tersebut keluar. Mega berang dan memaksa saya keluar.

Seperti sudah kepalang tanggung, saya mencoba berdiplomasi dengan Mega sekali lagi. Tetapi tetap saja Mega tidak mengizinkan saya masuk ke dalam ruangannya. “Ibu mau rapat,” katanya. Tiba-tiba, seorang laki-laki menyodorkan selulernya yang sedang berdering ke saya. “Ada telepon dari pak Budi ,” kata laki-laki itu.

Karena saat itu Budi sedang tidak ada di kantor, sehingga dia ingin berbicara dengan saya lewat seluler. Sebelumnya memang, dia sempat menghubungi, ketika saya mencoba masuk ke ruangan Winny. Namun saya tidak menjawab teleponnya. Oleh karena itu, dia menelpon salah satu staf KONI DKI, dan staf tersebut meneruskannya ke saya.

Dalam komunkiasi tersebut, dia meminta agar saya meninggalkan kantor KONI DKI Jakarta. “Aduh bang, bisa bahaya kita. Masa abang mau maksa masuk ke ruangan Bu Winny,” katanya dengan nada senduh. Karena dia bertanggung jawab kepada setiap media dan publikasi, dia berjanji akan mempertemukan saya dengan Winny malam itu jam delapan. Sementara untuk lokasi pertemuan, dia akan beritahu sebelum adzan maghrib.

Akhirnya dengan terpaksa, saya meninggalkan KONI Jaya sore itu. Untungnya, tidak seperti Benny, pengacara Winny, Budi konsisten dengan janjinya. Sebelum maghrib dia memberitahu lokasi wawancara. Seperti menanti hujan di kemarau panjang, akhirnya saya bisa wawancara dengan Winny. Awalnya sempat ragu, sehingga tidak mengajak juru photo ke sana. Apalagi dengan status Winny sebagai tersangka, sulit rasanya bisa memfotonya.

Jam delapan malam, sesuai janji, saya ke Hotel Harris Tebet. Langsung menuju ke Bar hotel tersebut. Di tempat itu, akhirnya saya dapat mewawancara tersangka pengadaan pesawat ATR tersebut. Kini, pasca pemberitaan wawancara saya dengan Winny, nahkoda KONI DKI itu dibui di rutan pondok bambu. Sempat berstatus DPO (buron), sebelum akhirnya kejaksaan menjemput Winny di bandara Cengkareng Jumat lalu. Di usianya yang senja, Winny malah merasakan pesakitan di balik jeruji tahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.