SELAMAT DATANG SOBAT !!!! Terimakasih telah berkunjung ke ABADIORKES

12.17.2014

Pro-Kontra Program Blue Carbon

Di ujung era SBY, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), gencar mengkampanyekan, program Blue Carbon, melalui restorasi ekosistem pesisir yaitu mangrove dan padang lamun. Berdasarkan data KKP, Indonesia memiliki ekosistem mangrove 3,1 juta hektar atau 23 % dari mangrove dunia dan padang lamun terbesar di dunia, yaitu 30 juta hektar. Ekosistem ini diharapkan dapat mengurangi 25% emisi karbon secara global dan juga memberikan manfaat langsung pada masyarakat nelayan melalui kelestarian lingkungan sumber daya ikan.

Berdasarkan hasil analisis global yang pertama diterbitkan tentang karbon yang tersimpan di padang lamun melaporkan bahwa ekosistem lamun dapat menyimpan hingga 830 ton karbon per meter kubik per hektar, lima kali lebih banyak karbon jika dibandingkan kemampuan penyimpanan hutan hujan tropis. Mantan menteri KKP, Sharif pernah menyebutkan bahwa hal ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim tidak hanya untuk ekosistem pesisir dan laut tetapi juga untuk lingkunganterestrial/daratan.

Konvensi negosiasi perubahan iklim ke-20 yang berlangsung di Lima, Peru, yang dilaksanakan 12 Desember 2014, tidak menghasilkan apa-apa untuk menyelamatkan penduduk dunia dari ancaman bencana. Acara yang dihadiri delegasi Pemerintah Indonesia tersebut, belum menemukan kata sepakat soal program blue carbon. Pasalnya, pada program yang didukung oleh IUCN dan IOC-UNESCO, berindikasi sarat unsur dagang.

Hasil data dan kajian dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menunjukkan bahwa laju restorasi atau konservasi ekosistem pesisir, khususnya mangrove, tidak dapat mengimbangi laju emisi yang diproduksi oleh negara-negara maju. Ditambah lagi inisiatif Karbon Biru merupakan wahana mentransformasikan ekosistem pesisir dan laut menjadi barang dagangan.

sumber: http://www.mangrove.at

Adapun alasannya, pertama, kalkulasi karbon yang dikampanyekan itu mengabaikan peran dan keberadaan masyarakat pesisir dalam melestarikan dan memanfaatkan "mangrove" (bakau) sebagai bahan utama membuat makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik di hutan bakau seluas 3,2 juta hektare atau 22 persen dari seluruh ekosistem sejenis di dunia.


Kedua, menurut LSM tersebut, dikatakan bahwa salah satu penyebab perubahan iklim adalah rusaknya bakau akibat pengelolaan yang buruk, padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaku perusakan hutan mangrove adalah buah kolaborasi antara oknum pemerintah dan pengusaha. Misalnya, seperti reklamasi pantai untuk pembangunan hotel, apartemen dan kawasan rekreasi berbayar, tambak budidaya, dan perluasan kebun kelapa sawit. Menurut data Ocean and Coastal Policy Program Duke University, Amerika Serikat, menghancurkan 1 hektare (ha) hutan mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 ha hutan tropis

Ketiga, Ketiga, Inisiatif Karbon Biru dinilai tidak mampu mengubah perilaku perusahaan dalam pengelolaan emisi karbonnya, sebaliknya hanya menjadi sarana tukar guling karbon ("carbon offset"). Di Tanah Air, proyek tukar guling karbon ini berlangsung sejak tahun 2011 melalui investasi yang dinamai Livelihoods Fund. Program ini didanai oleh Danone, Schneider Electric, Credit Agricole, Hermès International, Voyageurs du Monde, La Poste Group, CDC Climat and SAP-Germany. Program ini berlangsung selama 20 tahun dan investor (pelaku industri) akan menerima kredit karbon dari mangrove yang ditanam oleh masyarakat pesisir di negara berkembang. Dengan jalan ini, mereka mengklaim telah berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon dunia.

Inisiatif Karbon Biru membuka peluang bagi elite pemerintah untuk menggadaikan dan menerima keuntungan atas nama perubahan iklim. Sementara karena kerentanannya, ekosistem pesisir akan terus rusak akibat pembangunan yang bias daratan dan dampak perubahan iklim. Pada akhirnya, masyarakat pesisir di negara berkembang tetap menjadi korban karbon

Di sisi lain, bulan kemarin (November), pasca kunjungan ke Cilacap, menko kemaritiman berenncana akan menjual oksigen ke dunia internasional. Menurutnya, Mangrove Indonesia harus dilestarikan karena dapat mengurangi emisi CO2. Pak menko ini juga menambahkan kalau buah mangrove dapat digunakan sebagai bahan baku makanan yang memiliki nilai gizi tinggi.

Nah, bagaimana perkembangan implementasi program blue carbon di Indonesia? Bagaimana statusnya pasca pertemuan di Peru? Apakah tetap dilanjutkan atau tidak? Lalu bagaimana tentang adanya praktik carbon offset (tukar guling karbon)? Apakah rencana program penjualan oksigen yang direncanakan oleh kementerian kemaritiman akan berjalan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ingin diskusi atau komunikasi lanjut, silahkan tinggalkan alamat e-mail teman.